Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larut malam Rabu dua pekan lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo kedatangan rombongan tamu dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) di rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Para tamu itu melaporkan PT Tuban Petrochemical Industries hanya bersedia membayar utang Rp 61 miliar dari seharusnya Rp 734 miliar. Satu jam lagi hari berganti, genap sebulan sudah Tuban Petro harus mencicil utang yang jatuh tempo.
Lantaran tak mampu membayar utang secara tunai, sesuai dengan perjanjian, induk pabrik aromatik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) itu harus dinyatakan default alias gagal bayar. Berbekal restu dari Agus, PPA menerbitkan notice of default terhadap utang yang dijamin pribadi oleh Honggo Wendratno, pendiri dan Direktur Utama TPPI, keesokan harinya. "Kami tidak bisa apa-apa lagi. Kalau tidak, nanti kami yang dipertanyakan karena mereka telah lalai," kata Direktur Utama PPA Boyke Eko Wibowo Mukijat kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Duit Rp 734 miliar tersebut seharusnya menjadi pembayaran seri ketujuh dari sepuluh seri multiyear bond Grup Tuban Petro. Ketika diterbitkan sewindu lalu, surat utang tahun jamak ini mencapai Rp 3,26 triliun. Kini tersisa Rp 2,82 triliun.
Utang tersebut bermula dari restrukturisasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap kredit macet Bank Pelita dan Bank Istimarat senilai Rp 4,2 triliun. Keduanya berada di bawah payung bisnis Grup Tirtamas Majutama, yang dimiliki bersama Honggo, Hashim Djojohadikusumo, dan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo.
Dalam proses restrukturisasi, Hashim dan Njoo Kok Kiong hengkang, menyisakan Honggo. Berdirilah Grup Tuban Petro sebagai induk baru aset-aset eks Tirtamas. Pemerintah lewat BPPN-setelah dibubarkan dilimpahkan kepada PPA-menguasai 70 persen saham, sedangkan sisanya menjadi kepunyaan Honggo melalui PT Silakencana Tirtalestari.
Lewat Tuban Petro, PPA secara tidak langsung menguasai anak perusahaan eks Tirtamas, yakni TPPI (59,5 persen), PT Polytama Propindo (80 persen), dan PT Petro Oxo Nusantara (50 persen). Pabrik aromatik TPPI berada di Tuban, Jawa Timur. Sedangkan pabrik polypropylene Polytama dan produsen alkohol Petro Oxo masing-masing terletak di Balongan, Jawa Barat, dan Gresik, Jawa Timur. Semuanya menjadi jaminan utang.
Awalnya Grup Tuban Petro diharapkan mampu mendulang fulus sehingga dapat melunasi utang pada 2014. Setelah lunas, PPA akan mengembalikan jaminan saham kepada Honggo. Celakanya, utang grup, terutama dari TPPI, malah membengkak. Hingga akhir Agustus lalu, total utang mencapai US$ 1,74 miliar atau sekitar Rp 16,5 triliun (kurs Rp 9.500 per dolar). Sebagian besar, yakni US$ 649 juta, merupakan utang dari Pertamina.
Pada Desember tahun lalu, Honggo, Grup Tuban Petro, dan kreditor pemerintah meneken master of restructuring agreement (MRA) sebagai skema baru penyelesaian utang. Honggo, yang mengklaim mengantongi pembiayaan US$ 1 miliar dari Deutsche Bank, Jerman, berjanji membayar US$ 1,07 miliar kepada PPA. Begitu pula kepada Pertamina dan BP Migas. Syaratnya: Pertamina harus membeli produk mogas dan elpiji TPPI.
Kenyataannya, MRA kolaps pada akhir masa perpanjangan pelaksanaannya, 18 Agustus lalu. Kreditor nonpemerintah menolak skema restrukturisasi dan menuntut diperlakukan sama dengan kreditor pemerintah. Upaya Honggo menyurati kreditor pemerintah-ditembuskan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa-agar MRA diperpanjang pun ditolak mentah-mentah.
Walhasil, PPA terpaksa mengacu lagi ke jadwal pembayaran multiyear bond sesuai dengan perjanjian awal. Inilah yang akhirnya tak sanggup dibayar Grup Tuban Petro akhir bulan lalu. Dengan status default, Honggo kini cuma punya waktu 180 hari melunasi seluruh utangnya. Jika ia tidak mampu, PPA secara permanen akan menguasai semua jaminan utang, termasuk saham Silakencana di Tuban Petro.
Menurut sumber Tempo, Kamis tiga pekan lalu atau sepekan sebelum dinyatakan default, Honggo dan Tuban Petro menawarkan penyelesaian utang lewat asset settlement alias menjual jaminan utang di kantong PPA. Mereka mendatangkan dua calon investor yang siap membeli saham Tuban Petro di Polytama Propindo dan Petro Oxo Nusantara.
Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries Amir Sambodo membenarkan. Dia mengatakan perusahaannya hanya punya duit Rp 66 miliar untuk membayar utang pokok kepada PPA dan Rp 14 miliar untuk bunganya. Itulah sebabnya, perseroan menawarkan pembayaran lewat saham dan aset. "Tapi PPA menolak karena dalam perjanjian harus tunai," ujarnya Kamis pekan lalu.
Keputusan PPA itu menjadi angin segar bagi Pertamina, yang sejak Juni 2009 telah empat kali menyatakan TPPI default. Penetapan gagal bayar Grup Tuban Petro secara otomatis berlaku pula terhadap anak perusahaan. Artinya, Pertamina makin berniat mengeksekusi aset TPPI.
Kamis dua pekan lalu, mereka mendaftarkan rencana eksekusi tersebut ke Kantor Pelayanan Keuangan dan Lelang Negara Surabaya, Jawa Timur. "Sesuai dengan perjanjian, Pertamina bisa mengeksekusi langsung obyek tanggungan tanpa proses pengadilan jika TPPI dinyatakan default," kata Vice President Communication PT Pertamina Ali Mundakir.
BERBULAN-bulan sudah gemuruh mesin dan raungan klakson kapal tak lagi terdengar dari kompleks kilang TPPI di Desa Tasikharjo, Tuban, Jawa Timur. Rabu pekan lalu, deretan cerobong tak lagi mengepulkan asap. Mobil dan bus terparkir di lahan bagian depan pabrik yang tampak tak terawat tertutup semak belukar.
Di bagian belakang, area pelabuhan sepanjang lebih-kurang 100 meter juga kosong melompong. "Sudah sejak akhir tahun lalu pabrik tak beroperasi," ujar juru bicara TPPI Tuban, Hilal, kepada Tempo. Menurut dia, banyak rekan kerjanya telah mengundurkan diri.
Amir Sambodo tak menampik bila kilang TPPI kini disebut mati suri. Berlarutnya pelaksanaan MRA menyebabkan perseroan tak mendapat pasokan kondensat dari BP Migas dan pemasok bahan baku lainnya. "Karena TPPI tak bisa membuka letter of credit," katanya.
Pertamina, sebagai kreditor senior, mungkin akan leluasa mengeksekusi aset-aset di Tuban. Jika TPPI dilego, pembayaran piutang mereka diprioritaskan karena status jaminannya di peringkat pertama atas aset fisik. Masalahnya, posisi piutang PPA berada di peringkat ketiga setelah kreditor mezzanine, seperti JGC Corporation dan Argo. Bahkan utang kepada BP Migas sama sekali tanpa jaminan. Kondisi itulah yang kini membebani kreditor pemerintah. "Eksekusi aset tak akan mudah," ujar sumber Tempo.
Tahun lalu, sebagai persiapan MRA, PPA pernah menilai perusahaan di bawah payung Grup Tuban Petro. Polytama dan Petro Oxo masing-masing diperkirakan bernilai US$ 70 juta dan US$ 130 juta. Adapun TPPI minimal harus menutup Rp 1,07 triliun bagian multiyear bond. "Dengan kondisi tak beroperasi, nilai TPPI tak akan menutup piutang pemerintah."
Itu sebabnya, Menteri Agus meminta ketiga kreditor pemerintah menyusun proposal untuk memastikan semua piutang terbayar. Pemerintah ingin TPPI beroperasi lagi. Maklum, membangun pabrik aromatik baru membutuhkan dana sedikitnya US$ 2 miliar. Belum lagi empat tahun masa konstruksi.
PPA dan Pertamina enggan mengungkapkan strategi mereka setelah Tuban Petro gagal bayar. "Yang jelas, kami mendukung agar TPPI segera beroperasi," ucap Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina M. Afdal Bahaudin, Kamis pekan lalu.
Sepertinya kreditor pemerintah harus bergerak cepat. Soalnya, pekan lalu terbetik kabar bahwa dua kreditor asing, Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV, menggugat pailit TPPI. Jika TPPI bisa mereka pailitkan, rencana pemerintah bakal berantakan (baca "Penolong Bernama Argo").
Sumber Tempo di Pertamina mengatakan pihaknya bersama PPA dan BP Migas sedang mengutak-atik berbagai opsi. Mulai mengambil alih semua saham di Tuban Petro, menyerahkan pengelolaan TPPI kepada Pertamina, mengkonversi utang menjadi saham, sampai mengundang investor strategis sebagai operator. Yang jelas, apa pun pilihannya, kreditor pemerintah segera menilai aset Grup Tuban Petro dan memastikan Honggo lempar handuk. "Ibaratnya, default ini menabuh genderang perang," katanya.
Sebagai langkah cepat, Pertamina, yang mengantongi 15 persen saham, akan berupaya merangkul pemegang saham lainnya dalam rapat umum pemegang saham TPPI, Kamis pekan ini. Sambil menunggu valuasi aset, Pertamina berencana menawarkan pengambil alihan manajemen TPPI dari tangan Honggo. "Ujung-ujungnya, Honggo harus angkat kaki."
Agoeng Wijaya, Retno Sulistyowati, Sujatmiko (Tuban)
Gunung Utang TPPI
KREDITOR | JAMINAN | JUMLAH |
UOB (trade finance facility) | Peringkat pertama atas kas dan bank | US$ 94 juta |
Pertamina** | ||
Product delivery instrument | Tidak ada | US$ 406,2 juta |
Open account receivable | Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 232,9 juta |
JGC Corporation | ||
Mezzanine loan | Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 17,5 juta |
Deferred EPC payment | Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 186,4 juta |
Argo | ||
Mezzanine loan | Peringkat kedua atas aset fisik | US$ 20,9 juta |
Tranche B working capital loan | Tidak ada | US$ 30 juta |
Unsecured liquidity support loan | Tidak ada | US$ 110,2 juta |
BP Migas | Tidak ada | US$ 183 juta |
Vitol | ||
Tranche B working capital loan | Tidak ada | US$ 47,9 juta |
Unsecured liquidity support loan | Tidak ada | US$ 26,9 juta |
Mezzanine loan | Tidak ada | US$ 22,3 juta |
Lain-lain | Utang berjaminan | US$ 83,8 juta |
Utang tanpa jaminan | US$ 265,7 juta | |
TOTAL | US$ 1,73 miliar | |
* Belum termasuk sisa utang multiyear bond Rp 2,82 triliun Tuban Petro kepada PPA
** Versi Pertamina per 30 September 2011
Sumber: Laporan Keuangan TPPI per 30 April 2011
Penolong Bernama Argo
Kisah setahun lalu kembali terulang. Status default Grup Tuban Petro membuat Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV menggugat pailit PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. "Klien kami ingin diperlakukan sama dalam urusan pelunasan utang ini," kata kuasa hukum Argo, Stefanus Haryanto, Kamis pekan lalu.
Situasi tahun ini mirip. Dua kreditor asing itu muncul ketika Honggo dalam tekanan. Dampaknya pun persis: kreditor pemerintah, terutama Pertamina, ketar-ketir.
Bagaimana tidak gelagapan. Jika TPPI diputus pailit, rencana penyelesaian utang pemerintah bisa kacau-balau. Niat Pertamina menyita aset jaminan utang terancam berantakan. Pengadilan akan mengumpulkan semua kreditor dan debitor berembuk untuk berdamai, menyepakati penundaan kewajiban pembayaran utang, atau menunjuk kurator untuk melego aset dan dibagi sesuai dengan daftar peringkat utang.
Kalau ini terjadi, bisa jadi tak semua utang TPPI kepada pemerintah terbayar. Utang TPPI kepada Pertamina berupa open account receivable senilai lebih dari US$ 232,2 juta dan kepada BP Migas senilai US$ 183 juta berstatus tanpa agunan. Artinya tak diprioritaskan pembayarannya.
Sumber Tempo di kubu pemerintah mengatakan gugatan Argo tahun lalu melemahkan posisi pemerintah menghadapi Honggo dalam pembahasan restrukturisasi. Dia menduga Honggo berada di balik gugatan ini. "Dengan gugatan ini, untuk sementara pemerintah tak bisa asal-asalan mengambil alih TPPI," ujarnya.
Stefanus tak mau mengomentari dugaan tersebut. Yang terpenting, bagi dia, Argo mampu membuktikan mereka juga mengantongi piutang kepada TPPI. "Kami ingin tindakan terhadap urusan utang ini harus dilakukan bersama-sama," katanya.
Agaknya semua harus menunggu hingga sidang pertama gugatan Argo digelar Rabu pekan ini. Uniknya, tahun lalu Argo mencabut gugatannya satu jam sebelum majelis hakim membuka persidangan, setelah pemerintah dan Pertamina kembali memberi kelonggaran kepada TPPI.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo