Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berhenti Sementara di Miranda

Komisi antikorupsi kesulitan mengungkap jejak sponsor cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Kecewa terhadap putusan Miranda.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tumpukan dokumen setinggi dada teronggok di salah satu sudut lorong utama ruang penyidik di lantai delapan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Puluhan bundel dokumen itu adalah berkas pemeriksaan para tersangka kasus suap traveler's cheque atau cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. ”Kalau ada temuan baru, penyidikan bisa berkembang,” kata seorang petugas KPK yang mengantar Tempo melongok dokumen itu awal pekan lalu.

Dokumen itu dibundel tak lama setelah perkara para tersangka bergulir ke pengadilan. Di tingkat penyidikan, penanganan perkara para tersangka sudah dianggap kelar. Dari 31 tersangka, semuanya sudah dinyatakan bersalah di pengadilan. Sebagian besar putusan untuk mereka sudah berkekuatan hukum tetap atau in kracht. Sebagian terpidana bahkan sudah bebas karena telah usai menjalani masa hukuman. Sebanyak 29 penerima cek itu adalah anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.

Selain menjerat mantan anggota Dewan, Komisi menjerat Nunun Nurbaetie. Istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun ini dituduh sebagai pemberi suap. Setelah hampir dua tahun melarikan diri ke luar negeri, nyonya sosialita ini ditangkap polisi Kerajaan Thailand, selanjutnya diserahkan ke KPK, Desember tahun lalu. Dari pengakuan Nunun, peran Miranda semakin terkuak. Sebelumnya, namanya hanya disebut-sebut sejumlah mantan anggota Dewan yang jadi tersangka kasus itu.

Sebulan berselang setelah penangkapan Nunun, KPK menetapkan Miranda sebagai tersangka kasus itu. Komisi menuduh guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu ikut membantu Nunun membagi-bagikan 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar. Sebagian besar cek mengalir ke 41 anggota Komisi Perbankan DPR periode 1999-2004, dalam pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Cek itu dibeli PT First Mujur Plantation & Industry dari Bank Artha Graha.

Nunun sudah divonis dua tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim pengadilan antikorupsi Jakarta. Ia dinyatakan bersalah menyuap sejumlah anggota Dewan. Kendati Nunun tidak mengajukan perlawanan, kasusnya kini bergulir di tingkat kasasi karena jaksa KPK tak puas atas putusan banding yang menguatkan putusan pengadilan negeri.

Kamis dua pekan lalu, giliran Miranda yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Penyuka musik orkestra ini divonis majelis hakim pengadilan antikorupsi Jakarta pimpinan Gusrizal dengan hukuman tiga tahun penjara. Menurut majelis hakim, Miranda terbukti ikut menyuap sejumlah anggota Dewan supaya terpilih sebagai orang nomor dua di bank sentral.

Miranda mengaku kaget dan tidak menyangka terhadap vonis yang dijatuhkan hakim. Ia langsung menyambut putusan itu dengan banding. Awalnya, ia begitu yakin palu hakim akan berpihak kepadanya. Saking yakinnya, malam hari sebelum putusan dijatuhkan, ia meminta sopirnya, Saleh, mengambil barang-barangnya di rumah tahanan kelas satu Jakarta Timur, ”cabang” KPK, tempat ia ditahan.

Saleh mengaku disuruh Miranda mengeluarkan barang-barang dari rumah tahanan karena majikannya yakin akan bebas dalam pembacaan putusan keesokan harinya. Barang yang dibawa pulang itu antara lain tiga buah bantal, rak sepatu, pot, karpet, peralatan mandi dan rias, serta koper besar berisi pakaian. Tapi putusan hakim menjungkirbalikkan harapan Miranda. ”Saya banding,” katanya.

Kendati vonis Miranda ini hanya beda satu tahun dengan tuntutan jaksa, komisi antikorupsi mengajukan upaya banding terhadap putusan itu. Selain berharap vonis pengadilan tinggi sama dengan tuntutan jaksa, menurut sumber Tempo, KPK juga berharap hakim tingkat banding membuat putusan yang menyinggung soal sponsor cek pelawat itu. Kendati, kata dia, sifat pengadilannya lebih pada pemeriksaan berkas (judex juris).

Awalnya, Komisi berharap, di persidangan pengadilan tingkat pertama Miranda (judex factie), ada petunjuk mengenai sponsor cek pelawat. Sumber Tempo menyebutkan, penyidik sebelumnya sudah mengantongi informasi tentang saksi kunci yang bisa mengungkap penyandang dana suap itu. Saksi itu bernama Indah. Menurut keterangan cash officer Artha Graha, Tutur, Indah adalah perempuan yang menandatangani konfirmasi pemesanan cek pelawat dari Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia. Indah juga, menurut Tutur, yang mengambil 480 cek pelawat itu. ”Dia karyawan First Mujur,” katanya.

PT First Mujur Plantation & Industry adalah nasabah Bank Artha Graha yang memiliki revolving loan di bank milik taipan Tomy Winata itu. First Mujur juga berkantor di lantai dua gedung Bank Artha Graha di bilangan Sudirman. Petinggi First Mujur dan Artha Graha beberapa kali membantah terlibat kasus rasuah itu. Tomy Winata juga mengaku tak tahu soal itu karena tidak ikut campur dalam kegiatan operasional bank miliknya.

Menurut Tutur, Indah juga yang mentransfer uang Rp 24 miliar dari Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia menggunakan fasilitas real time gross settlement. Menurut sumber di KPK, penyidik sudah beberapa kali memanggil Indah, tapi tak pernah datang. Komisi kesulitan mengendus keberadaan perempuan itu. Di persidangan, dua mantan komisaris First Mujur, Yan Eli Siahaan dan Ronaldo Harijanto, mengatakan Indah bukan karyawan First Mujur. ”Dia saksi mahkota, kami yakin dia ada,” kata sumber itu.

Sedangkan soal pengakuan Direktur Keuangan First Mujur Budi Santoso bahwa cek pelawat itu diminta oleh Suhardi Suparman alias Ferry Yen, kata sumber ini, KPK hanya menganggapnya bualan. Dari pengakuan Budi ke KPK, ia pada 8 Juni 2004 diminta Hidayat Lukman—dikenal sebagai Teddy Uban—membayarkan biaya tahap pertama ekspansi perkebunan Rp 24 miliar kepada Ferry Yen. Semula, kata Budi, biaya itu akan dibayar dengan cek tunai. Tapi belakangan Ferry meminta dalam bentuk cek pelawat. ”Cerita Budi ini ditengarai hanya alibi, saksi kuncinya itu Indah,” kata seorang petinggi Komisi.

Mengurai siapa sponsor cek pelawat ini, menurut petinggi itu, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Persidangan Miranda dan Nunun, yang diharapkan bisa memberi petunjuk, kata dia, ternyata mengecewakan. Nunun bahkan sama sekali tak menyinggung soal siapa penyandang dana cek itu. ”Dia hanya terbuka ketika ditanya soal peran Miranda,” katanya.

Petinggi Komisi mengaku juga mendapat informasi tentang adanya audit Bank Indonesia terhadap Artha Graha Medan. Dalam audit itu terdapat aliran dana Rp 24 miliar yang belakangan dikirim ke First Mujur lalu dibelikan cek pelawat. Uang itu, kata dia, dipinjam First Mujur. Anehnya, pimpinan Komisi ini mengatakan dalam jangka sebulan utang itu sudah lunas dan dibayar bukan oleh First Mujur, tapi sejumlah bank swasta. ”Kami sudah meminta audit ini, belum direspons BI,” katanya.

Juru bicara Bank Indonesia, Difi A. Johansyah, mengaku belum tahu soal surat KPK itu. Soal audit, kata Difi, ia tak berkomentar karena menyangkut audit individual bank. Kepala Bagian Umum Bank Artha Graha Medan Diana mengaku tidak mengetahui masalah itu. Ia juga membantah bahwa Bank Indonesia pernah mengaudit kantornya terkait dengan cek pelawat. Kepala Cabang Artha Graha Medan Arifin Djaja tak bersedia ditemui ketika Tempo mendatangi kantornya, Rabu pekan lalu.

Sumber Tempo yang lain menyebutkan, KPK juga tengah berancang-ancang menelusuri sponsor cek pelawat dengan mendata sejumlah bank yang selama ini diuntungkan kebijakan Miranda selama menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Namun, kata dia, langkah untuk menelusuri siapa penyandang dana itu harus ditunda dulu karena ada kisruh penarikan penyidik KPK oleh kepolisian. ”Karena penyidiknya kurang, urusan sponsor ini ditunda sementara,” katanya.

Ketua KPK Abraham Samad berjanji terus menelusuri hulu cek pelawat ini. ”Kasus ini tidak akan berhenti di Miranda. Kami akan terus mencari siapa dalang cek pelawat itu,” katanya. Juru bicara KPK, Johan Budi, menambahkan, pihaknya yakin bisa mengungkap sponsor cek perjalanan itu. ”Sekecil apa pun informasinya akan kami telusuri,” kata Johan.

Anton Aprianto, Tri Suharman, Soetana Monang Hasibuan (Medan)


Dari Disertasi Sampai Cat Rambut

Berolahraga dan mengecat rambut. Itulah dua aktivitas yang tak pernah dilepaskan Miranda Swaray Goeltom, yang hari-harinya kini dilewati dalam ruang tahanan yang terletak di lantai dasar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada empat sel berderet di sana. Sel Miranda berada di ujung paling timur. Di sebelahnya sel Kartini Marpaung, hakim yang ditangkap karena menerima suap, dan sel Siti Hartati Tjakra Murdaya. Agak ke depan, sel Neneng Sri Wahyuni, istri Muhammad Nazaruddin, terpidana kasus Wisma Atlet. Mereka biasa berkumpul menonton televisi di dekat meja petugas keamanan.

Soal mengecat rambut memang jadi kebiasaan Miranda, 63 tahun, jauh sebelum bekas Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini menjadi pesakitan. Tampil dengan dandanan rambut warna-warni hal biasa bagi Miranda. Dia biasa mengecat rambutnya di dekat meja petugas penjagaan yang terletak di dekat selnya. Miranda memanfaatkan lampu di atas meja sebagai cermin. Komisi memang melarang tahanan membawa barang yang terbuat dari kaca atawa besi.

Setidaknya sepekan sekali, bersama kawan-kawannya sesama penghuni tahanan itu, Miranda berolahraga. Lokasinya di lantai sembilan—lantai paling atas dan terbuka—gedung KPK. Dari tempat olahraga yang dikelilingi pagar kawat setinggi sekitar lima meter, para tahanan itu, sembari berolahraga, bisa menikmati pemandangan di sekeliling atau di bawah mereka. Miranda selalu tampil rapi jika berolahraga: memakai sepatu kets warna putih serta kaus dan training abu-abu dengan strip putih di sampingnya.

Olahraga yang dilakukannya: berlari-lari kecil sekitar 60 putaran sembari menggenggam barbel mungil dan melakukan sejumlah gerakan peregangan. ”Di antara keempat temannya, dia biasanya yang paling lama berolahraga,” ujar sumber Tempo di KPK. Setelah berolahraga, ia mandi, makan malam, dan, biasanya, membaca buku. ”Kadang sampai pukul dua dinihari,” sumber itu menambahkan.

Miranda juga membuka jadwal konsultasi bimbingan untuk mahasiswanya yang tengah mengambil gelar doktor. Menurut pengacara Miranda, Dodi Abdul Kadir, setidaknya ada empat calon doktor yang rutin mendatangi Miranda di selnya. Bangun rutin setiap pukul 05.00, setelah mandi dan makan, biasanya Miranda duduk santai di kursi membaca tulisan-tulisan mahasiswanya.

Sabtu dan Minggu merupakan hari tersibuk Miranda. Hari itu biasanya dia dikunjungi sahabat, anak, dan cucunya. Hari-hari seperti ini dia juga bangun lebih pagi. Biasanya, setelah berdoa, Miranda akan luluran dan, itu tadi, mengecat rambutnya. Setelah itu, ia mandi dan muncul dengan wajah segar.

Kepada semua yang mengunjungi, hingga dua pekan lalu, Miranda menyatakan yakin akan bebas. Karena itulah ia memerintahkan agar sejumlah perlengkapan pribadinya di dalam sel, seperti rak sepatu, sejumlah bantal dan guling, pot bunga, serta beberapa baju, dibawa pulang. Sesuatu yang ternyata keliru.

Rusman Paraqbueq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus