Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANEKA botol minuman keras itu tersusun rapi hingga menyentuh langit-langit ruangan toko seluas 3 x 4 meter di lantai dasar Mal Pacific Place. Toko ini khusus menjual berbagai jenis minuman alkohol impor, seperti wine, wiski, dan vodka. Selasa pekan lalu, sejumlah promo digelar di toko tersebut. Ada buy 1 get 1 atau membeli satu botol Jack Daniel's seharga Rp 1,47 juta mendapat bonus satu botol Jack Daniel's Honey senilai Rp 590 ribu.
Selain menjual Jack Daniel's, toko menjual berbagai macam merek minuman keras lain, seperti Johnnie Walker dan Smirnoff. Di antara deretan botol minuman keras di toko tersebut, tidak sulit menemukan botol minuman yang tak dilengkapi nomor registrasi minuman luar (ML) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Salah satunya wiski merek Black Velvet asal Kanada.
Berdasarkan aturan, setiap produk minuman dan makanan wajib didaftarkan ke BPOM. Kepala Subdirektorat Barang Konsumsi Kementerian Perdagangan Sunarto mengatakan ketentuan itu berlaku baik untuk barang yang diimpor dari luar negeri maupun produk dalam negeri. Untuk mengeceknya, bisa dilihat dari nomor MD untuk makanan dalam dan nomor ML untuk makanan luar yang tertera di botol minuman. "Kalau tidak diregister, minumannya bisa ditarik," kata Sunarto.
Bagi importir, nomor pendaftaran dari BPOM ini penting karena menjadi syarat agar produk minuman yang akan diimpor bisa masuk ke Indonesia. "Kalau tidak ada nomornya, Bea-Cukai tidak mau mengizinkan keluar," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Distributor Minuman Indonesia Agoes Silaban.
Untuk memperoleh nomor registrasi dari BPOM, perusahaan harus sudah tercatat sebagai importir terdaftar minuman beralkohol di Kementerian Perdagangan. Importir harus membawa contoh produk untuk diuji di laboratorium yang ditunjuk BPOM. Selain itu, harus ada pengesahan dari notaris dan atase di negara asal. Aturannya dalam jangka waktu enam bulan izin akan keluar. "Nomor izin itulah yang nantinya ditempelkan di botol minuman," katanya.
Anehnya, dari pantauan Tempo, sejumlah botol yang tidak dilengkapi nomor registrasi dari BPOM justru sudah tersegel dengan pita cukai. Lalu mengapa masih bisa lolos? Agoes dengan cepat menjawab, "Produk minuman itu ilegal. Kalau tidak ada registrasi, ada kemungkinan cukainya palsu." Semestinya produk yang tidak disertai nomor ML itu bisa ditangkap oleh BPOM.
Bagi Agoes, masih banyaknya penjualan minuman keras ilegal di pasar tidaklah mengherankan. Ia bahkan menyebutkan minuman alkohol golongan C yang dijual di pasar hampir 90 persen adalah ilegal. Hal itu, kata dia, mudah dibuktikan. "Datang saja ke tempat karaoke, hotel, atau toko-toko yang menjual wine." Untuk mengetahui apakah minuman impor itu selundupan atau tidak, cukup dilihat dari ada-tidaknya nomor ML.
Menurut dia, besarnya jumlah penyelundupan itu banyak didorong oleh tingginya bea masuk dan cukai yang dikenakan pada minuman golongan C. Minuman masuk golongan C jika mempunyai kandungan alkohol lebih dari 20 persen.
Dia mencontohkan minuman jenis vodka dengan harga US$ 50 per karton. Bila satu karton sama dengan 9 liter serta bea masuk dan cukai sebesar Rp 264 ribu per liter, artinya importir harus membayar Rp 2,37 juta. Padahal harga per karton US$ 50 atau sekitar Rp 600 ribu. Bayangkan, kata dia, harga beli sebesar US$ 50 sampai di sini melonjak jadi US$ 300. "Itu jadi enggak menarik. Makanya orang memilih menyelundupkan. Kalaupun ketangkap sekali, mereka masih untung," ucapnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan mengatakan pemerintah memang sengaja menerapkan bea masuk yang besar untuk impor minuman alkohol. "Negara kita kan mayoritas muslim. Kita juga harus mempertimbangkan kondisi sosial yang ada," katanya.
Dengan pertimbangan itu, di samping tarif bea masuk dan cukai yang tinggi, pemerintah memperketat syarat untuk menjadi importir terdaftar minuman beralkohol. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014 disebutkan, untuk menjadi importir terdaftar minuman beralkohol setidaknya berpengalaman sebagai distributor minuman beralkohol selama tiga tahun berturut-turut.
Surat penunjukan oleh 20 principal pemegang merek atau pabrik di luar negeri itu harus disahkan dengan notaris dan atase perdagangan di negara setempat. "Baru-baru ini syarat itu juga kami tambah dengan telah mempunyai jaringan distribusi penjualan langsung paling sedikit di enam provinsi," ujarnya.
Semula impor minuman alkohol dimonopoli badan usaha milik negara, Sarinah. Namun, pada 2009, keran impor mulai dibuka untuk keterlibatan pihak swasta. Meskipun sudah dibuka, dengan syarat yang ketat, ketika itu tidak banyak yang mendaftar menjadi importir. "Awalnya hanya ada lima importir," kata Agoes.
Belakangan, jumlah importir bertambah menjadi 18 importir. Ketika Gita Wirjawan menjadi Menteri Perdagangan, izin empat importir dicabut. Bukan karena mereka melakukan impor ilegal, "Tapi karena mereka tidak memenuhi kuota yang sudah diberikan," ujar Partogi. Karena syarat yang ketat itu, pemerintah tidak pernah lagi menerbitkan izin importir minuman alkohol sejak 2011. "Yang ada malah kami cabut izinnya," katanya.
Tidak sepakat dengan tingginya bea masuk dan cukai, Agoes setuju dengan pengenaan syarat yang ketat bagi perusahaan yang ingin menjadi importir. Menurut dia, dengan ketatnya persyaratan tersebut, mereka bisa lebih mudah dikontrol. "Ini juga usul kami dari asosiasi," ucapnya. Bahkan, menurut dia, jumlah 14 importir itu sudah terlalu banyak.
Seorang pengusaha importir minuman beralkohol mengungkapkan, dari 14 importir terdaftar, hanya lima importir yang benar-benar melakukan importasi minuman keras dengan benar. Sisanya hanya memanfaatkan izin untuk kemudian melakukan penyelundupan. "Banyak yang 'spanyol', separuh nyolong," katanya.
Partogi tak ingin menduga-duga. Dia berjanji akan meneliti lebih jauh kemungkinan keterlibatan importir dalam penyelundupan minuman keras yang dimuat dalam 24 truk pada akhir Oktober lalu. Ia menyatakan akan terus memantau penyelidikan kasus ini hingga tuntas. "Kalau memang ada yang terlibat, akan saya cabut izinnya," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Franky Sibarani, yang dihubungi dua pekan lalu, mengatakan kuota impor minuman alkohol sebaiknya dinaikkan dengan mempertimbangkan kebutuhan riil di masyarakat. Selama ini kuota impor hanya mempertimbangkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Padahal minuman alkohol juga dikonsumsi oleh ekspatriat yang bertugas di Indonesia. "Dan ada juga orang Indonesia sendiri," katanya.
Menurut Franky, salah satu cara memberantas penyelundupan ini adalah penyesuaian tarif cukai sehingga orang tak tertarik lagi melakukan penyelundupan. Menurut dia, minuman alkohol golongan C sebagian besar memang ilegal. "Saya sulit membayangkan bagaimana cara menyelesaikannya kalau cukainya terlalu tinggi," ujar Franky, yang kini ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo