Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Menjelang Revolusi di Panen

Film ketiga dari trilogi Hunger Games yang dibelah menjadi dua. Jennifer Lawrence semakin memukau. Musik dan dialog sangat kuat.

1 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Hunger Games: Mockingjay-Part I
Sutradara: Francis Lawrence
Skenario: Peter Craig dan Danny Strong Berdasarkan novel trilogi karya Suzanne Collins
Pemain: Jennifer Lawrence (Katniss Everdeen), Josh Hutcherson (Peeta Mellark), Liam Hemsworth (Gale Hawthorne), Woody Harrelson (Haymitch Abernathy), Elizabeth Banks (Effie Trinket), Julianne Moore (President Coin), Philip Seymour Hoffman (Plutarch Heavensbee), Jeffrey Wright (Beetee), Sam Claflin (Finnick Odair), Jena Malone (Johanna Mason), Stanley Tucci (Caesar Flickerman), Donald Sutherland (President Snow).

"Are you are you coming to the tree
where they strung a man they said who murdered three
Strange things have happened here no stranger would it been
If we met at midnight in the hanging tree...

Suara Katniss Everdeen yang bergetar menembus sungai, pepohonan, dan bukit-bukit yang mengelilingi reruntuhan Distrik 12. Mereka, Katniss dan tim Propo (demikian tim videografer propaganda revolusi), semua tengah duduk di tepi sungai terdiam menumpu rasa putus asa dan kelam. Lantas saja Pollux (Elden Henson), salah satu kru Propo, kehilangan lidah memberi isyarat agar Katniss mengisi kekosongan dan kepedihan itu dengan sebuah lagu. Maka Katniss menyanyikan lagu The Hanging Tree sendirian. Lagu komposisi James Newton dan band The Lumineers, dan lirik oleh penulis novel Suzanne Collins lantas disusul dengan sebuah kor para pemberontak yang kemudian memanjat pohon-pohon tinggi yang menggapai langit. Dari pucuk, mereka lantas saja mengebom tentara "perdamaian" antek Presiden Snow.

Ini adegan paling memukau sekaligus menegangkan dari seluruh film berdurasi dua jam itu. Bagian inilah yang kemudian melekat di benak penonton dan musik yang mencekam itu terus-menerus didengungkan oleh mereka yang sudah menyaksikan, yang percaya dengan mengacungkan tiga jari ke udara adalah lambang kemerdekaan dan kebebasan.

Film ketiga serial Hunger Games berjudul Mockingjay ini dibelah dua—seperti juga film franchise yang meledak sebelumnya, seperti Harry Potter dan Twilight Saga—untuk semakin menggemukkan pundi studio dan investor (dan tentu saja menggemukkan rekening bank sutradara dan para pemain); tapi itu juga mempunyai risiko yang sudah diduga. Pembelahan sebuah cerita yang seharusnya berlangsung selama satu episode akan membuat bagian pertama menjadi bagian yang ritmenya tertahan-tahan seperti yang terjadi pada Harry Potter and the Deathly Hallows Part 1 dan Twilight Saga: Breaking Dawn Part 1.

Tapi, tunggu. Sebelum kita mulai sinis dan jengkel pada kebiasaan Hollywood memeras-meras dompet kita, mari kita saksikan dulu. Permainan Hunger Games kini sudah tidak menjadi persoalan. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Snow (Donald Sutherland) di antara senyumnya yang keji, mereka sudah memasuki kehidupan nyata. Perang! Siapa pun yang berani melawan, bahkan sekadar mengacungkan tiga jari, akan selesai hidupnya. Distrik 12 hancur lebur dibom. Para pemberontak yang semula berbungkus "topeng" pendukung negara Panem dan rezim Presiden Snow, seperti Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), dan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), kini sudah membuka samarannya. Bersama Presiden Coin (Julianne Moore), Haymitch Abernathy (Woody Harrelson), Effie Trinket (Elizabeth Banks), dan Beetee (Jeffrey Wright), mereka bergerak, secara harfiah dan metaforikal, dari bawah tanah. Dari ruang tertutup di Distrik 13 yang dilindungi tembok antipeluru dan bergudang persenjataan yang luar biasa.

Katniss masih dalam keadaan bimbang dan marah karena Peeta Mellark (Josh Hutcherson) masih disekap oleh Capitol. Apalagi setelah menyadari beberapa kali Peeta tampil di televisi seolah-olah sudah "diprogram" dan menjadi bagian dari mesin rezim Capitol. Katniss tidak hanya galau, dia sangat yakin Peeta tengah dipaksa atau disiksa agar mengucapkan semua itu.

Film The Hunger Games: Mockingjay-Part I ini, sesuai dengan judulnya, masih bagian pertama dari pecahnya sebuah revolusi. Maka adegan laga, rentetan tembakan, hancur leburnya gedung, dan tentara yang jahat tentu sudah dimulai, tapi masih secara sporadis dan hanya terjadi setiap kali kedua belah pihak saling mengancam. Pihak pemberontak yang dipimpin Presiden Coin masih dalam tahap menyusun strategi dan setengah mati membujuk Katniss untuk menjadi lambang perjuangan melawan rezim totalitarian Presiden Snow. Bagi yang sudah membaca novel legendaris 1984 karya George Orwell yang sudah diadaptasi ke dalam film oleh Michael Radford (1984) pasti akan merasakan juga suasana serba kelabu dari kostum para pemberontak Distrik 13, warna tembok persembunyian, bahkan suara dan musik menyarankan betapa suram dan tak menentunya hidup sepanjang film. Hanya kekuatan dan karisma Katniss yang akan mampu menghimpun rasa percaya dan pengorbanan rakyat di semua distrik untuk ikut memberontak melawan kezaliman, meski itu akan (hampir selalu) berarti: mati terbunuh.

Namun saya juga mengartikan seragam kelabu para pemberontak di bawah pimpinan Presiden Coin (yang tak selalu harus kita percaya motivasinya—terutama bagi mereka yang belum atau tidak membaca buku karya Suzanne Collins ini) adalah tanda bahwa sebuah kezaliman dari Presiden Snow bisa jadi kelak digantikan oleh kezaliman baru versi Coin. Ini sebuah kecurigaan semata. Pakaian seragam, bagi saya, tak pernah berarti sebuah berita baik. Demikian kata George Orwell. Dan trilogi Hunger Games jelas memiliki elemen Orwellian.

Tapi pemberontakan ini—maklum, diangkat dari novel YA (Young Adult)—harus berbau fisik dan darah. Dan itu baru akan kita temui pada Mockingjay Finale tahun depan. Pada bagian ini kita menemukan Katniss yang marah, galau, dikepung mimpi buruk, khawatir terhadap nasib adiknya dan Peeta, bikin film propaganda, mengangkat tiga jari, dan ah... tentu saja dia harus menjadi Srikandi sejati yang mengarahkan anak panahnya ke pesawat jahanam dari Capitol (Beetee, seperti Q dalam James Bond, kini menjadi ahli membuat senjata dari yang konvensional hingga yang unik). Pada saat Katniss mengarahkan panahnya itulah darah kita ikut berdesir. Boom! Pesawat kena panah dan jatuh berantakan.

Jennifer Lawrence, remaja ajaib yang kini menjadi aktris muda terkemuka di dunia, dengan layar yang kelabu itu kembali mengingatkan kita pada peran utama pertamanya sebagai Ree Dolly dalam film Winter's Bone (Debra Granik, 2010), yang membuat dia dinominasikan sebagai Aktris Terbaik Academy Awards. Seorang remaja yang dipaksa menyangga tanggung jawab orang tua. Dalam film ini, lebih masif dan gigantik, Katniss diberi tanggung jawab satu republik. Di usianya yang begitu belia, Katniss kemudian harus segera saja berkenalan dengan kekejian, pengkhianatan (orang yang dicintainya), hingga kelak kematian demi kematian yang tak berkesudahan.

Di luar seni peran Liam Hemsworth yang masih saja bertahan untuk tidak berekspresi; atau wig Jennifer Lawrence yang tidak konsisten (kadang berwarna hitam, kadang brunette, kadang agak berombak, kadang lurus seperti sapu ijuk), film ini adalah sebuah lagu pengantar pada peperangan besar yang sesungguhnya. Yang paling mengesankan dari sebuah serial franchise adalah jika menjelang titik akhir film ini tahun depan, kita menanti penuh debar seperti yang terjadi pada serial Harry Potter. Kita berdebar karena ingin menyaksikan peperangan yang dahsyat dan kita juga berdebar karena akan berpisah dengan dunia Katniss yang sudah menjadi bagian dari hidup kita selama beberapa tahun.

Karena itu, nikmatilah saat-saat ini, selagi kita masih merasa berada dalam dunia rekaan Katniss yang penuh daya dan semburan anak panah.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus