Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah studi menunjukkan mayoritas gen Z memprioritaskan work-life balance.
Banyak gen Z tak bertahan lama di sebuah perusahaan setelah mendapatkan pekerjaan.
Dari 7,46 juta pengangguran, sebanyak 5,18 juta berusia 15-29 tahun.
SEJAK masih berkuliah, Khaliffa Prihatna mantap hati tak ingin bekerja kantoran. Kisah viral seorang pemuda yang disangka pesugihan karena tak pernah terlihat keluar rumah untuk bekerja tapi hidup berkecukupan menginspirasi Khaliffa. Padahal, yang tak diketahui Khalliffa, pemuda viral tersebut bekerja keras setiap hari. Hanya saja, ia bekerja dari dalam rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki 26 tahun ini menilai bekerja dari rumah bisa membantunya mencapai keseimbangan antara kebutuhan karier dan pribadi. "Prioritas saya ketika memilih pekerjaan adalah work and life balance," ujar pria yang bekerja sebagai penyunting video tersebut kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keseimbangan ini ia perlukan sebagai pekerja di industri kreatif yang sering mengalami art block atau kebuntuan. Bekerja dari rumah menjadi salah satu caranya menjaga otak tetap segar.
Dari pengalamannya bekerja di satu perusahaan di Jakarta, waktunya tersita 2-3 jam pada pagi hari untuk persiapan dan perjalanan ke kantor. Waktunya kembali terbuang dalam perjalanan pulang. "Dari situ mulai berpikir, masak seumur hidup mau kena macet-macetan," ujarnya. Lagi pula, tutur dia lagi, pandemi sudah membuktikan pekerjaan bisa berjalan efektif dan efisien tanpa tatap muka langsung.
Setelah itu Khaliffa mengincar pekerjaan yang tak mengikatnya di kantor, memungkinkannya bekerja dari mana saja, serta punya jam kerja yang fleksibel. Dia bercerita pernah memutuskan berhenti bekerja di salah satu perusahaan, antara lain, karena beban kerja yang mulai berlebihan dan mengharuskannya bekerja dari kantor. Sekarang ia bekerja untuk perusahaan di luar negeri dengan jam kerja fleksibel dan bisa bekerja dari rumah.
Preferensi work-life balance memang banyak menjadi perhatian pemuda seumur Khaliffa yang termasuk dalam generasi Z. Datanya antara lain terlihat dalam laporan Youthlab Indonesia bertajuk "Life Balance: A Dive Into Emerging Aspirations Across Indonesia's Youth". Firma riset ini mensurvei 512 responden berusia 15-35 tahun di 10 kota di Indonesia dengan metode kuantitatif pada 2024. Hasilnya menunjukkan generasi tersebut sangat menjunjung tinggi work-life balance. Dari skala 1 (sangat tidak penting) hingga 10 (sangat penting), responden rata-rata memilih poin 8 ketika ditanya soal isu tersebut.
Menurut generasi Z dalam laporan tersebut, waktu serta lingkungan kerja yang nyaman menjadi indikator keseimbangan dalam bekerja dan kehidupan. Pekerjaan generasi ini harus memungkinkan mereka punya waktu luang untuk menjalankan hobi ataupun beristirahat. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan lingkungan kerja yang nyaman antara lain perilaku atasan yang seperti mentor, beban kerja yang rasional dan tidak membuat mereka kewalahan, serta hubungan yang sehat antarkolega di perusahaan.
Pengkajian IDN Research Institute bertajuk "Indonesia Millenial and Gen Z Report 2025" juga menunjukkan informasi serupa. Data tersebut merupakan hasil survei terhadap 750 orang dari generasi milenial (berusia 28-43 tahun) dan 750 orang generasi Z (berusia 12-27 tahun) di 12 kota besar di Indonesia selama periode Maret hingga Agustus 2024.
Sebanyak 26 persen responden memprioritaskan work-life balance. Adapun 21 persen responden menyatakan mereka bukan cuma memilih pekerjaan berdasarkan gaji, melainkan juga peran yang bisa memenuhi gairah mereka. Sementara itu, 15 persen responden menyebutkan mereka lebih memilih pekerjaan dengan jam kerja fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja.
Prioritas ini pada akhirnya mempengaruhi pilihan pekerjaan gen Z di dunia kerja dan cara mereka berinteraksi dengan kolega. Laporan tersebut mencontohkan, dampaknya antara lain pertumbuhan permintaan terhadap pekerjaan paruh waktu.
Tim Tempo juga menemukan data serupa. Melalui survei pada 1-7 November 2024 terhadap 57 responden, tercatat sebanyak 72 persen di antaranya menginginkan pekerjaan fleksibel.
Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, mengatakan preferensi gen Z terhadap pekerjaan yang fleksibel ini salah satunya terpengaruh oleh kemampuan mereka. "Gen Z saat ini banyak yang memiliki skill tinggi," ujarnya. Pekerjaan dengan keterampilan teknis tinggi pada umumnya berorientasi pada hasil, minim pekerjaan administrasi, serta, lebih penting lagi, bisa dikerjakan di mana saja.
Shofie mencatat saat ini banyak gen Z dengan skill tinggi bekerja paruh waktu melalui kanal di Internet. Ini membuat peningkatan jumlah pekerja gig. "Peningkatan angka pengangguran juga bisa terjadi mengingat banyak gen Z yang memiliki skill tidak sesuai dengan kebutuhan pasar," katanya.
Shofie juga mencatat, jika lingkungan kerja mereka dianggap tidak memenuhi kriteria work-life balance, seperti budaya perusahaan yang kurang sehat, lingkungan yang tidak mendukung untuk berkembang, dan pekerjaan yang kurang memberikan makna, gen Z tak segan untuk keluar dari perusahaan. Menurut Shofie, perusahaan bisa mengantisipasi risiko ini dengan melibatkan pekerja dalam mengambil keputusan penting.
"Perusahaan juga bisa meminta feedback kepada pekerja tentang apa yang harus diperbaiki dan difasilitasi perbaikannya jika dimungkinkan," ujarnya. Selain itu, perlu ada pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja serta peningkatan jenjang karier yang baik dengan dukungan sekolah lebih lanjut atau mengambil sertifikasi tertentu.
Ilustrasi bekerja dari rumah. Dok. Tempo/Nurdiansah
Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Siti Kustiati mengamini sikap gen Z yang mudah berhenti kerja jika kondisinya tak ideal buat mereka. "Kalau under pressure, tidak kuat, dan bukan passion, dia resign," tuturnya. Masalahnya, keputusan tersebut diambil setelah bekerja dalam waktu singkat, rata-rata di bawah satu tahun. Dia mengaku mendapat laporan dari banyak divisi sumber daya manusia di kawasan industri yang menyatakan tingkat turnover generasi Z cukup tinggi.
Siti mengatakan sikap gen Z ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran. Pasalnya perusahaan menjadi kesulitan mencari pekerja. Investasi untuk melatih pekerja baru pun tak murah.
Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 5,18 juta orang berusia 15-29 tahun berstatus pengangguran dan 4,28 juta orang berstatus setengah pengangguran per Agustus 2024. Jumlah pengangguran kelompok usia ini mendominasi total jumlah pengangguran angkatan kerja Indonesia yang mencapai 7,46 juta orang selama periode tersebut.
Menurut Siti, pemerintah berupaya memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada pengajar di sekolah menengah, perguruan tinggi, serta lembaga-lembaga pelatihan untuk berbicara dengan gen Z. Mereka diharapkan memberikan pengertian kepada para tenaga kerja muda itu untuk bertahan paling tidak tiga tahun di suatu perusahaan. "Jangan tiga bulan keluar. Kalau sering keluar-masuk perusahaan itu bakal jadi referensi yang jelek," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah juga menggandeng perusahaan untuk memperhatikan minat dan potensi calon tenaga kerja mereka ataupun tenaga kerja muda yang sudah masuk. Menurut Siti, perlakuan terhadap gen Z harus berbeda. Orientasi mereka tak seperti generasi sebelumnya yang menganut prinsip "yang penting kerja dulu". Para tenaga kerja muda ini sejak awal mengutamakan manfaat serta fasilitas yang bisa mereka terima dari perusahaan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.