DAPATKAH pers terbit hanya dengan SIT (Surat Izin Terbit), tanpa
SIC (Surat Izin Cetak)? Praktis tidak, kecuali kalau para pers
itu dapat berubah ujud dalam bentuk rekaman kaset atau media
"non-cetak" lainnya. Dulu banyak terjadi: sebuah penerbitan
berhenti bernafas karena SIC, yang dikeluarkan oleh Laksusda,
dicabut. Padahal koran itu masih sah memiliki SIT, yang
dikeluarkan oleh Departemen Penerangan.
Itulah sebabnya setelah pemilu ini pers tampak berseri muka
ketika mendengar bahwa Kas Kopkamtib Sudomo sudah menghapuskan
lembaga SIC ter5ebut. Dalam telegram kepada semua Laksusda di
seluruh Indonesia 3 Mei yang lalu, Kopkamtib mengemukakan 3
alasan peniadaan SIC: adanya stabilitas nasional yang mantap dan
dinamis, kesadaran pers nasional semakin meningkat, dan
pembinaan pers secara fungsionil hanya akan dilakukan oleh
Departemen Penerangan. Jauh sebelum pemilu Kas Kopkamtib sudah
mencanangkan niat pemerintah untuk menghapuskan lembaga SIC'
setelah pemilu. Rupanya Sudomo memenuhi betul janjinya.
Menurut Sudomo lembaga SIC timbul akibat peristiwa G 30 S PKI.
Pihak keamanan merasa perlu menjaga agar pers tidak diselusupi.
Juga peristiwa 15 Januari menyebabkan masih dipertahankannya
SIC. Itulah sebabnya dalam pertimbangan Sudomo untuk nenghpuskan
lembaga SIC di atas disebut alasan keamanan.
Undang-Undang Pokok Pers 1966 sendiri tak ada mengatur soal SIC.
Yang disebut Itana SIT. Walaupun begitu SIT tak akan ada artinya
bila tak ada SIC. Karena itu seperti dikatakan Harmoko, Ketua
Pelaksana PWI Pusat kepada TEMPO: "Dengan adanya SIC kita tak
bisa sembarangan pindah percetakan". Dan pekan lalu Djamal Ali
SH, Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) menambahkan bahwa
tiadanya SIC akan memungkunkan perbaikan pers daerah. Bila di
daerah tersehut belum ada rasilitas percetakan modern, maka pers
tersebut dapat mencetak ke kota-kota besar terdekat, tanpa
disibukkan dengan urusan izin lagi.
Sudah Mantap
Pengaruh lain dar hapusnya SIC "bersifat psikis: satu jalur izin
sudah tak ada", kata orang SPS yang saat itu sibuk mengurus
keberangkatanya ke Tokyo untuk Kongres Federasi Penerbit Pers
Internasional ke XXX. Selama ini keberatan SPS akan SIC adalah
adanya dua badan yang membina pers, yang merupakan "penambahan
beban bagi penerbitan pers", lanjut Djarnal. Karena itu dalam
sidang pleno, 12 sampai 15 Januari yang lalu SPS Pusat
menyatakan kegembiraan atas keterangan Sudomo sebelumnya bahwa
SIC akan ditiadakan. Waktu itu SPS mengusulkan 3 Mei sebagai
tanggal dimulainya penghapusan campur tangan badan di luar
Departemen Penerangan tersebut.
Pada umumnya kalangan pers menilai peniadaan SIC sebagai satu
langkah maju bagi perkembangan pers nasional. "Kopkamtib sendiri
sudah menilai bahwa pers Indonesia dalam konstelasi politik
sekarang dianggap sudah mantap", ucap M. Syureich, Wakil
Sekretaris Umum SPS. Harian Sara Kava, 6 Mei, di samping
berpandangan sama dengan orang SPS tersebut juga menambahkan: "
. . . peniadaan SIC ini disambut gembira, karena tidak saja ia
menyederhanakan prosedur penerbitan, akan tetapi juga merupakan
tanda bahwa Pemerintah berusaha untuk memberikan iklim yang
sehat terhadap perkembangan pers".
Sedangkan Merdeka, 6 Mei, mempertanyakan lebih jauh: "Apakah
iklim sesudah Pemilu ini - yang telah memperkokoh kedudukan
Pemerintah dan kekuasaannya - tidak juga merangsang Deppen untuk
merencanakan langkah-langkah dinamis dalam bidang pers untuk
mendukung peningkatan proses demokratisasi yang berdasarkan
Pancasila?" Pun harian Kompas mengkaitkan peristiwa dalam bidang
pers ini dengan kepentingan yang lebih luas. "Sebagai pertanda
akan dikembangkannya iklim yang lebih baik untuk perkembangan
kebebasan dan demokrasi Pancasila bagi masyarakat". kata tajuk
harian itu 5 Mei.
Masa Peralihan
Bagi PWI sendiri, bukan saja SIC tapi juga SIT hendaklah
dihapus. Namun menurut Harmoko semuanya tergantung dari pers
sendiri: "Sekarang ini apakah kita sudah mampu menjadi pers yang
bebas dan bertanggungjawab atau tidak. Kalau sudah SIT pun tak
perlu lagi", ujarnya.
Pada akhirnya, memang, keinginan orang pers adalah juga
dihapusnya SIT sebagai syarat utama penerbitan pers. Sebab
lembaga SIT tidakhanya membujuk pada urusan administratif, tapi
lebih jauh lagi. Benar atau tidak. SIT secara nisbi dirasakan
mengurangi hak mengeluarkan pendapat. SIT tercantum dalam
peraturan peralihan UU Pokok Pers untuk masa transisi atau masa
peralihan. Karena itu masalahnya mungkin bukan kapan pers mampu
menjadi pihak yang bebas dan bertanggungjawab, bak kata Harmoko.
tapi juga kapan masa peralihan itu berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini