Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah dana makin seret

Keppres no. 39/ 1991 akan mengerem sejumlah proyek besar bumn yang dananya dari pinjaman komersial luar negeri. gunanya untuk mengurangi tekanan ter- hadap neraca pembayaran.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Pelita IV, Pemerintah mengundang swasta ikut membangun proyek padat modal. Setelah proyek mulai mencuat, kini perlu dikendalikan. Mengapa? MASA panen pengusaha mencari dana di dalam negeri lewat sudah. Soalnya, pasar modal dan perbankan di Indonesia sedang kemarau panjang yang akan berlangsung entah sampai kapan. Dalam suasana paceklik itu, Rabu pekan lalu, dari sidang kabinet bidang Ekuin keluar sebuah beleid baru: perusahaan yang ingin meminjam dana dari luar negeri terlebih dahulu harus melewati tim skrining. Tim yang terdiri 11 orang itu diketuai Menko Ekuin. Anggotanya: Menteri Sekretaris Negara, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Menteri Perhubungan, Menteri Riset Teknologi, Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perindustrian, dan Gubernur Bank Indonesia. Tugas mereka: mengkoordinasikan pengelolaan pinjaman komersial luar negeri, menetapkan jumlah keseluruhan pinjaman untuk setiap tahun anggaran, menetapkan urutan prioritas untuk perolehan pinjaman, dan sekaligus menetapkan urutan waktu pencairan. Pinjaman yang akan dikoordinasikan meliputi pinjaman resmi dalam bentuk non-recourse (utang akan dibayar dari hasil proyek), limited recourse (pinjaman yang pembayarannya sebagian dari hasil proyek, sebagian dari sumber lain), advance payment (pinjaman di muka), trustee (pinjaman dari satu sindikat yang diatur bank), leasing (sewa beli), sampai dengan pinjaman bersifat build operation transfer (bangun dengan modal sendiri, operasikan sampai untung, akhirnya transfer kepada pemerintah). Adanya Keppres 4 September ini jelas akan mengerem sejumlah proyek besar BUMN, seperti Pertamina, PLN, Garuda, Perum Angkasa Pura. Perusahaan swasta yang akan menangani proyek -proyek BUMN dengan sistem BOT harus tunduk pada tim tersebut. Proyek-proyek itu, antara lain, pembangunan jalan tol, pemasangan jaringan telepon, dan sistem pembangkit tenaga listrik. Pinjaman yang tidak masuk kategori pengawasan tim adalah pinjaman resmi pemerintah melalui IGGI, pinjaman swasta murni, dan pinjaman BUMN yang dibiayai dengan kredit ekspor dari luar negeri. Maklum, kredit ekspor biasanya diberikan pemerintah pada perusahaan yang mengekspor produknya. Kalau PT Pelni, misalnya, membeli kapal dari Jerman dengan pembiayaan memakai kredit ekspor pemerintah Jerman, tak perlu koordinasi. Mereka hanya harus lapor kepada Menko Ekuin. Namun, kalau PT Garuda Indonesia ingin membeli pesawat baru dengan cara sewa beli, mereka wajib lapor kepada tim koordinasi. Dengan keluarnya Keppres No. 39 itu, Garuda terpaksa meninjau kembali sejumlah proyek, antara lain pembelian pesawat, yang sudah mereka rencanakan. Investasi ini, menurut Direktur Niaga Garuda, Sunarjo, bakal menelan modal US$ 4 milyar. "Kalau dilihat dari kepentingan Garuda, proyek-proyek itu memang penting. Apalagi dalam rangka tahun kunjungan wisata. Karena Garuda termasuk dalam konteks nasional, ya semuanya kita serahkan kepada Pemerintah," kata Sunarjo. Rencana Garuda yang tak mungkin ditinjau adalah sewa beli 10 pesawat Airbus 300/600 (akan tiba September) serta enam pesawat MD 11 (Desember). "Meski leasing-nya dimulai begitu pesawat tiba, kontraknya sudah diteken tiga tahun lalu," tambah Sunarjo. Bagi Pertamina, kata Direktur Utama Faisal Abda'oe, pembentukan tim pengelolaan pinjaman luar negeri itu tidak menimbulkan masalah. "Saya malah menyambut baik," katanya dengan nada gembira. Sudah rahasia umum bahwa Pertamina jadi incaran pengusaha-pengusaha swasta yang ingin mendapat kue raksasa dengan usulan kerja sama dalam pembangunan proyek-proyek raksasa, seperti pembangunan industri pengilangan minyak, olefin, dan pabrik bahan baku industri plastik. Setidaknya ada sembilan proyek yang akan dibangun Pertamina bersama swasta dengan izin tim Ekuin. Empat proyek di antaranya bahkan sudah diteken kontrak pembiayaannya, yaitu Musi Upgrading (US$ 250 juta), pabrik pengilangan minyak untuk e kspor alias EXOR I (US$ 1,9 milyar), Arun Aromatic Complex (US$ 1,24 milyar), dan LNG Train F (US$ 750 juta). Lima proyek lagi sudah disetujui Pemerintah, tetapi untuk modalnya masih harus menunggu petunjuk tim. Proyek apa saja itu? "Saya lupa," jawab Abda'oe diplomatis. Sumber lain mengatakan, proyek yang tinggal menunggu kontrak pembiayaan itu, antara lain, proyek Balikpapan Upgrading I & II, Residual Catalytic Cracking Unit di Cilacap, dan EXOR IV. Selain Pertamina, belakangan PLN juga mulai dilirik investor swasta. Mereka, antara lain, Grup Bimantara serta perusahaan Intercontinental Power dari Amerika Serikat, dan keduanya telah mendapat kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap unit VII dan VIII di Paiton, Jawa Timur. Proyek bernilai US$ 300 juta itu akan dibangun dan dikelola perusahaan swasta yang bersangkutan sampai dapat untung, sampai akhirnya nanti di serahkan kepada PLN. Tapi, kata Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita, proyek tersebut terkena peninjauan kembali sesuai Keppres 39/1991. Munculnya perusahaan-perusahaan swasta dalam proyek-proyek raksasa sebenarnya anjuran pemerintah juga. Sasaran mereka adalah proyek-proyek di lingkungan Pertamina, PLN, sampai pembuatan jalan tol dan pemasangan jaringan telepon. Pada Juni 1991 seorang konsultan pemerintah dari Amerika menyusun daftar proyek raksasa -- sebagian dari BUMN dan sebagian lagi milik swasta -- yang akan menelan investasi sekitar Rp 156 trilyun. Sebagian besar investasi dalam daftar itu (senilai US$ 22.876 juta) akan ditelan 19 proyek Pertamina, yang meliputi pembangunan tujuh proyek EXOR (industri pengilangan minyak untuk ekspor), tiga proyek LNG train, empat proyek jaringan pipa gas alam untuk Jawa dan Bali, dan empat proyek modernisasi pengilangan minyak di Musi, Cilacap, serta Balikpapan. Kemudian ada 16 proyek petrokimia bernilai US$ 10.390 juta, yang meliputi pembangunan tiga pabrik olefin, dua proyek aromatik di Arun, PT Tri Polyta Indonesia, PT Mega Polymer Industry, PT Petrokimia Nusantara Interindo, tiga pabrik bahan baku industri plastik baru, Petrochemical Complex, dan dua pabrik metanol. Masih di lingkungan pertambangan, terlihat empat rencana proyek perluasan dari PT Tambang Timah (US$ 500 juta), Freeport Indonesia (US$ 700 juta), Kaltim Prima Coal (US$ 600 juta), dan Kelian Gold Project (US$ 185 juta). Di lingkungan Departemen Perindustrian ada rencana perluasan pabrik pupuk Kujang, pabrik pupuk Kaltim, pabrik pupuk Sriwijaya, dan PT Petrokimia Gresik yang akan menelan investasi US$ 1.559 juta. Ada pula PT Koneba yang belum terungkap berapa rencana investasinya. Kemudian ada pabrik semen baru (Wonogiri dan Gombong) serta rencana perluasan PT Semen Gresik dan PT Semen Padang yang membutuhkan modal US$ 940 juta. Selain itu, ada lima proyek pembangunan industri metal yang akan menelan investasi US$ 3.952 juta. Antara lain dari PT Krakatau Steel (US$ 1.242 juta), Sponge Iron Plant, PT Ispat Indo, Bintan Alumina (masing-masing US$ 700 juta), dan PT Seamless Pipe Plant (US$ 610 juta). Di kalangan swasta tercatat 23 perusahaan yang ingin membangun industri pulp, kertas, dan serat. Tujuh belas perusahaan sudah menganggarkan investasi US$ 9.922 juta -- di antaranya PT Astra Scott Cellulosa, PT Indah Kiat Paper Pulp & Paper Company, PT Sumalindo Lestari, PT Riau Pulp and Paper, PT Barito Pulp Project. Selain itu, ada rencana investasi industri elektronik Sumitomo, pabrik perakitan televisi, serta PT Be rlian Mina Sejahtera yang akan menghabiskan US$ 603 juta. Di lingkungan Departemen Perhubungan ada rencana pembangunan bandara Cengkareng II, bandara Padang, pembangunan terminal peti kemas Tanjungpriok, program akuisisi Garuda, jaringan kereta api Jabotabek, pembangunan empat jalan tol, perbaikan jalan kampung, jembatan Surabaya-Madura, dan PT PAL. Semua proyek tersebut perlu US$ 9.616 juta. Konsultan Amerika tadi juga mencatat ada enam proyek pembangunan kawasan industri yang akan menelan modal US$ 1.320 juta. Itu terdiri dari proyek Jakarta Fair, kota baru Bekasi, Taman Industri Batam 1 dan 2, serta Madura industrial estate. Kemudian proyek air minum Bintan yang menelan US$ 800 juta. Di bidang telekomunikasi, ada enam proyek yang sudah tercatat dalam buku biru Bappenas. Namun, baru dua proyek yang sudah terungkap rencana anggarannya, yakni STD II (US$ 220 juta), dan Telekom III (US$ 1.800 juta). Di bidang pariwisata, ada rencana pembangunan hotel internasional di Jakarta, Pantai Indah Kapuk, PT Royal Bali resort & country club dengan anggaran US$ 3.307 juta. Menko Ekuin Radius Prawiro tidak menolak bahwa proyek-proyek tersebut merupakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, dampak laju pembangunan serta cepatnya pertumbuhan itu, ekonomi Indonesia menjadi global dan kompleks. "Karena itu, perlu koordinasi," tambahnya. Soalnya, setelah dana dalam negeri seret, bisa dipastikan pemilik proyek-proyek tersebut akan mencari pinjaman luar negeri. Nah, di sini perlu koordinasi tadi. Jika Indonesia tidak hati-hati mengambil pinjaman luar negeri, bisa-bisa malapetaka bayar utang seret seperti terjadi pada negara-negara di Amerika Latin terjadi pula di sini. Jika proyek-proyek swasta itu dibiayai dengan pinjaman komersial -- bunganya tinggi dan masa kreditnya pendek -- bisa-bisa proyek itu belum berproduksi sudah harus bayar utang. Itu bukan hanya akan merepotkan perusahaan-perusahaan tersebut, tapi juga membahayakan ekonomi negara. Masalahnya, apakah negara cukup punya devisa untuk membayar cicilan dan utang tersebut. Maka, ketika Prof. Sumitro Djojohadikusumo ini melontarkan saran untuk menjadwalkan kembali proyek-proyek itu guna mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran, saran tersebut langsung dijawab Pemerintah dengan mengeluarkan Keppres Nomor 39. Masalah berapa banyak proyek yang dijadwalkan kembali dan berapa maksimum pinjaman setiap tahun anggaran masih akan diatur belakangan. "Keppres Nomor 39 tahun 1991 itu tak bisa dianggap enteng," kata seorang eksekutif bank pemerintah. Ia menambahkan bahwa dampaknya akan dirasakan bank-bank pemerintah dan pengusaha. Jika pinjaman luar negeri itu dibatasi, katanya, bank-bank pemerintah yang telah menyalurkan kredit valuta asing dengan modal pinjaman luar negeri akan kelabakan. Soalnya, bank-bank pemerintah biasanya mendapat kredit luar negeri dengan jangka waktu pengembalian lima tahun. Selama ini, jika jatuh tempo, bank minta roll over (kredit baru). "Kalau pada saat jatuh tempo kami dilarang mengambil kredit baru, apakah harus diganti dari dana rupiah yang bunganya lebih tinggi?" kata sumber TEMPO tadi. Kendati beleid itu ditujukan terutama untuk BUMN-BUMN, dalam prakteknya nanti bisa dipastikan kebijaksanaan tersebut akan banyak mengerem nafsu pengusaha swasta melakukan investasi yang membutuhkan banyak valuta asing. Bukan rahasia lagi perusahaan swasta yang mengambil pinjaman luar negeri harus diperkuat pinjaman dari bank pemerintah atau LKBB (lembaga keuangan bukan bank) milik pemerintah. Kalaupun ada pintu bagi perusahaan swasta menembus pasar modal internasional melalui bank-bank devisa swasta, peluangnya sudah sangat tipis. "Saya rasa itu tak mungkin lagi karena bank-bank sekarang terikat pada batas maksimal kredit valuta asing sebesar 20% dari modal bank," kata Vice President BII, Hidajat Tjandradjaja. Ia menambahkan dengan modal BII sekarang yang sekitar Rp 330 milyar, batasan kredit valasnya Rp 66 milyar. Proyek-proyek itu bernilai ratusan juta dolar. Kalaupun semua bank devisa nasional swasta bersindikat, Hidajat tak yakin akan terkumpul cukup dana untuk membiayai proyek-proyek raksasa tersebut. Lebih mencemaskan lagi bila pinjaman luar negeri yang umum bersifat jangka pendek itu digunakan untuk pembiayaan proyekproyek jangka panjang yang tidak menghasilkan devisa. Sejarah PT Indocement, setelah bertahun-tahun rugi, akhirnya harus ditolong Pemerintah tentu tak perlu berulang. Max Wangkar, Bambang Harymurti, Bambang Aji, Linda Jalil, Iwan Qodar Himawan . TABEL . DAFTAR PROYEK YANG PENCAIRAN DANANYA SUDAH DISETUJUI -------------------------------------------------------------- Nama Proyek Nilai Investasi Kategori -------------------------------------------------------------- LNG Train F US$ 750 juta Migas Exor I US$ 2.700 juta Migas Exor IV US$ 2.100 juta Migas Cilacap Central RCC Unit US$ 1.700 juta Migas Cilacap Refinery (RCCII)+Steam Cracker Arun Aromatics Center No.1 (upstream) US$ 1.100 juta Petrokimia Arun Aromatics Center No.1 (downstream) US$ 200 juta Petrokimia PT Krakatau Steel Extention US$ 1.242 juta Logam- . Dasar Tanjungpriok Port Container US$ 825juta Transportasi -------------------------------------------------------------- Total US$ 10.617 juta --------------------------------------------------------------

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus