"Saya bosan miskin, Pak," kata Supardi. Ia praktek di Goa Gambir. SARIP menjual rumah dan seekor sapi miliknya. Penduduk di Dusun Sukorejo, Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Malang, itu tergiur melihat Sarmin, tetangganya, menggaet milyaran rupiah lewat SDSB. "Itu uangnya saya simpan," kata Supardi, 40 tahun. Ia adalah dukun yang dipercayai ampuh menebak nomor SDSB. Sarip tidak ragu lagi menyerahkan uang Rp 800.000 dan anak gadisnya, Maria Setyaningsih, 22 tahun, kepada Supardi. Sebab, kata dukun itu, yang boleh minta nomor SDSB harus anak perempuan. Malamnya, setelah minum minyak tanah campur kemenyan, Maria diumpankan kepada keempat "wali" Supardi. Gadis jebolan SMP itu ditidurkan di balai-balai berkelambu kain kafan, di antara dua golok di kanan dan kirinya. Menurut Supardi, itulah syarat memperoleh nomor SDSB. Namun, tunggu punya tunggu, sampai seminggu duit tak juga cair. Dan ada kabar dukun serta walinya pindah ke Goa Gambir, bukit di perbatasan antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. Anaknya ikut pula diboyong. Suatu hari Sarip kedatangan tamu, Sabar. Rupanya, ia ini bekas cantrik Supardi yang kabur, karena ditipu. Barulah Sarip sadar bahwa ia juga kena tipu. Ia melapor ke Pos Polisi Gedangan dan Polsek Bantur. Polisi menggulung komplotan dukun itu Sabtu dua pekan lalu. Sejak Supardi dan walinya, yang terdiri dari Suwarti, Mesran, Agus Kartono, Wagiyo, dan Setyo Suyitno, muncul di dusun itu dua bulan silam, penduduk sebetulnya sudah melihat perilakunya aneh. Namun, Supardi, yang mengaku dirinya keluarga Keraton Yogya dan famili Bupati Malang, berhasil meyakinkan penduduk. Katanya, mereka datang bertapa karena dusun di bukit hutan jati itu cocok untuk menyepi. Mereka membangun lima padepokan. Satu dalam hutan ditempati Supardi serta Suwarti, dan keempat walinya membuat padepokan di pinggir laut. Tiap Senin malam, mereka bertapa bersama. Tidak sampai sebulan "kesaktian" Supardi tersiar ke seluruh penjuru desa. Konon, ia mampu menyembuhkan bermacam penyakit dan menggandakan uang. Ia juga menjual kupon SDSB. Dusun sepi itu berubah riuh karena padepokan Supardi didatangi tamu minta nomor SDSB. Supardi, yang bertubuh tinggi dan bergigi perak, makin disegani. Setiap naik gunung untuk bertapa, ia beserban putih seperti kiai. Jika ke kota, ia yang sering dikawal Agus dengan bayonet itu tampil perlente dengan baju safari. "Persis anggota DPR," kata Sarip. Seminggu sekali anak buahnya, Me sran, naik ojek ke pasar, memborong lima ayam untuk lauk seminggu. Sebetulnya, Supardi tak suka melakukan hubungan badan. Suwarti yang tinggal bersamanya bahkan jarang dijamah. Namun, ia senang menonton anak buahnya bersetubuh. Selain Suwarti dan Maria, juga Misinem (istri Sarmin) ikut melayani kebutuhan seks wali dan para pasiennya. Seperti Sarip tadi, di samping uang Rp 3 juta, Mesran juga menyerahkan istrinya kepada dukun itu, untuk dijadikan gincu seks. Seorang pasien, Takip, mengaku disuruh keramas dengan air kencing berkali-kali dan menggauli perempuan di depan Supardi. Ia dijanjikan hidup makmur. Kini Supardi dan kawan-kawan mendekam di Polsek Bantur, Malang. Ketika digelandang ke kantor polisi, mereka ditimpuki batu dan dimaki penduduk. Namun, setelah mereka ditangkap, baru ada yang berani melapor. Delapan orang, juga Sarmin, mengaku ditipu Supardi. Para cantrik itu sebetulnya korban penipuan juga. Megran dan Setyo, misalnya, mengaku telah mengeluarkan uang Rp 20 juta. Penduduk Sleman itu ikut Supardi karena malu dengan keluarganya di kampung. Dan Suwarti rela meninggalkan suami dan dua anaknya di Baturaden, Purwokerto, setelah uangnya Rp 600 ribu digaet Supardi. Ia dijanjikan kelipatan uang, tapi semua itu gombal. Kepada polisi Supardi mengaku ingin banyak mengumpulkan uang. "Saya bosan miskin, Pak. Dari kecil saya hidup melarat," katanya. Tinggal Sarip yang nelangsa. Setelah hartanya amblas, ia tidur di gereja desa. Sri Pudyastuti R. dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini