Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Setelah ibu tiri bakar rumah

Aisah boru regar,22, tewas di tangan anak tirinya amir hot harahap,17, di desa sinyior, tapanuli se- latan. gara-gara aisah membakar gubuk di ladangnya serta menyembunyikan tv.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drama rumah tangga yang berkesudahan dengan tewasnya sang ibu di tangan anak tirinya. SETAJAM-TAJAMNYA kata, ternyata lebih tajam parang di tangan Amir Hot Harahap, 17 tahun. Warga Desa Sinyior, Simarpinggan, Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, ini kemudian menyudahi hidup Nur Aisah Boru Regar, 22 tahun, akhir Agustus lalu. Kisahnya begini. Amir adalah anak keenam dari delapan anak Raso Harahap, 50 tahun. Anak keluarga petani kebun salak ini tiga tahun silam kematian ibunya. Raso kemudian menyunting dara dari desa lain, Nur Aisah, yang berkulit kuning langsat, tiga bulan setelah istrinya meninggal. Mereka masih ada hubungan famili meski agak jauh. Dari Aisah diperoleh dua anak lagi tapi yang tua meninggal. Hari-hari awal kehadiran Aisah di tengah keluarga Raso serba aman-aman saja adanya. Baru ketika lahir anak pertama, sikapnya berubah terhadap anak tirinya. "Kalau di depan Ayah dia baik, tapi kalau Ayah sedang tidak ada kami dimarahi," cerita Amir kepada Irwan E. Siregar dari TEMPO. Belakangan Aisah juga sering cekcok terbuka dengan Raso. Beberapa bulan sebelum peristiwa itu, Raso sempat menjatuhkan talak satu. Sebulan mereka pisah rumah. Namun, atas nasihat keluarga kedua pihak, kemudian Raso-Aisah rujuk. Toh, leguh-legah kian bertambah. Pernah Aisah menyembunyikan surat rumah yang mereka tempati sehingga Raso sibuk mengurus lagi surat rumahnya. Itu pula sebabnya uang Rp 3 juta sengaja disembunyikan Raso di rumah di ladangnya, agar tidak diambil Aisah. Raso belakangan malah sering tidur di ladangnya itu. Dalam suasana serba runyam inilah Aisah, kata Amir, menyulut rumah yang di ladang. Juga dalam keadaan uring-uringan ia pernah melepas ucapan pada anak-anaknya, "Satu kali kalian tidak mau punya ibu tiri, maka seratus kali aku tak mau punya anak tiri." Walau nyaris patah tebu, seingat Amir, tindakan ibu tirinya itu baru sebatas nyap-nyap, alias mengomel saja. Jadi, belum separah kelakuan ibu tiri yang sering dijadikan bahan cerita dalam film Indonesia. Namun, salah paham telanjur meruncing. Amir pulang dari ladang ketika TVRI menyiarkan "Dunia Dalam Berita", akhir Agustus lalu. Ladangnya di Desa Sibombang, 6 km dari rumahnya. Sesampai di rumah, Amir melihat dua adiknya hanya duduk tidak tahu berbuat apa. Padahal, biasanya mereka menonton siaran TV. Kemudian dari adiknya paling bungsu yang masih kelas VI SD, ia dengar cerita bahwa pesawat TV disembunyikan ibu tiri mereka. Amir menemui Aisah. "Pergi kalian dari rumah ini, semua harta ini bukan punya kalian," sembur Aisah, seperti diulangi Amir. Beroleh jawaban itu, Amir merasa daun telinganya naik. Apalagi baru sorenya ia melihat sendiri rumah mereka di ladang dibakar sang ibu tiri. Jadi, menurut Amir, uang Rp 3 juta ikut pula menjadi abu. "Rumah ini pun nanti kubakar seperti gubuk itu," ujar Aisah. Mendengar ancaman itu Amir jadi kalap. Ia bergegas ke dapur dan mengambil parang pandak yang tertancap di dinding. Kemudian ia balik menemui Aisah. Sreset, set, dua tebasan diayunkan Amir ke arah leher Aisah. Si ibu tiri mencoba menangkis dengan kedua tangannya. Tiga jari tangannya putus. Sekali lagi, Amir mengayunkan serangan. Kali ini mata parang mengenai kepala Aisah. Tak ada secuil jeritan pun keluar dari bibir perempuan ini. Amir lalu masuk kamar adiknya. "Ibu sudah kubunuh," serunya. Ia lalu bergegas keluar menghadang minibus dan minta diantar ke kantor polisi di Padangsidempuan, 12 km dari rumahnya. Sementara itu, Aisah dilarikan ke rumah sakit. Namun, di tengah perjalanan perempuan ini mengembuskan napas terakhir. Sepeninggal Aisah, Raso yang sangat marah atas kejadian itu kemudian meninggalkan rumah. Kini belum diketahui di mana ia bersembunyi. Dari ladang salaknya, selama ini ia memetik hasil enam karung per hari. Tiap dua karung (segandeng) dijualnya Rp 11 ribu. Ia juga memiliki sepetak sawah di sebelah rumahnya. Akan halnya Amir, yang jebolan kelas 2 SMP itu, menyesal. "Biarpun kami ingin punya ibu pengganti, kalau tingkahnya begini kami tak suka," kata Amir, yang berperawakan kurus pendek itu, seraya mengaku akan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus