Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Setelah pelita tambah minyak

Koran pelita tampil dengan logo dan perwajahan baru didukung dana rp 4,5 milyar dari kelompok bakrie brothers dan fadel muhammad. kini oplahnya mencapai 90.000 eks. tetap bernafaskan islam.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Setelah pelita tambah minyak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUDAH tiga pekan koran Pelita berganti wajah dan pengasuh. Tampil dengan logo dan perwajahan baru, sekalipun sekilas terkesan mirip Kompas, kini surat kabar yang disebut-sebut sebagai "koran Islam" itu seperti menjanjikan sesuatu buat pembaca. Pilihan beritanya tampak lebih beragam, lebih aktual, dan ditulis dengan bahasa yang jernih. Tak percuma, memang, empat wartawan senior Kompas "dibajak" Pelita. Mereka: Azkarmin Zaini, Purnama Kusumaningrat, Zaili Asril, dan Sudirman Tebba -- masing-masing menjabat sebagai pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan wakil redaktur pelaksana. Tanpa kuartet ini, hampir dapat dipastikan Pelita tak bakal berubah banyak. "Ide-ide perbaikan sebetulnya sudah sejak dulu sering kami lontarkan, tapi tak pernah mendapat tanggapan serius dari orang-orang tua yang pegang pimpinan," kata seorang wartawan yang tak mau ditulis namanya. Ikut memberi warna baru pada Pelita adalah bekas redaktur pelaksana TEMPO, Syu'bah Asa, dan 40 wartawan muda yang menggantikan hampir semua wartawan lama di lapanan. Hijrahnya kuartet Azkarmin ke Pelita dimungkinkan dengan adanya penambahan dana dari kelompok Bakrie Brothers dan Fadel Muhammad bagi perusahaan koran itu. Tanpa suntikan dana sebesar Rp 4,5 milyar, yang memberi kongsi tersebut 49% saham, sulit bagi Pelita untuk merekrut tenaga-tenaga wartawan yang baik. Terjunnya kelompok Bakrie Brothers dan Fadel ke bisnis koran bukan tanpa sebab. "Bisnis pers saya lihat akan maju di masa datang," kata Presiden Direktur Bakrie Brothers, Aburizal Bakrie, kepada wartawan TEMPO Andy Reza Rohadian. "Kalau dikelola dengan baik, akan menghasilkan untung besar." Dalam manajemen baru Pelita, Aburizal menjabat sebagai wakil pemimpin umum, sementara Fadel menduduki kursi pemimpin perusahaan. Kiat yang dipakai menjaring pelanggan, menurut Azkarmin, tetap menjadikan Pelita sebagai koran yang bernapaskan Islam. "Yang berubah hanya resepnya," katanya. Azkarmin menambahkan bahwa citra keislaman Pelita tidak akan ditampilkannya dengan memperbanyak rubrik mengenai Islam, tetapi melalui isi rubrik itu sendiri. Meski Pelita menyediakan kolom mengenai pemikiran Islam yang diisi oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, porsi berita umum tetap lebih banyak -- separuh lebih dari 12 halaman yang tersedia. Berita ekonomi dan keuangan saja, misalnya, dapat jatah dua halaman. "Yang kami pentingkan adalah substansi dan angle beritanya," ujar Wakil Redaktur Pelaksana Sudirman Tebba. Ia memberi contoh ketika Pelita menulis profil ketua baru KNPI, Tjahjo Kumolo. Segi yang dipilih adalah sosok tokoh pemuda tersebut sebagai seorang muslim, dan bukan sebagai organisatoris. Sejarah Pelita sebagai "koran Islam" cukup panjang. Terbit pada 1 April 1974 untuk menggantikan koran Islam Abadi, yang dibredel bersama delapan media cetak lainnya setelah Peristiwa Malari, ketika itu Pelita dikemudikan trio politikus Islam: Syah Manaf (NU), Barlianta Harahap (Syarikat Islam), dan Darussamin (Muslimin Indonesia) -- masing-masing menjabat sebagai pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan wakil pemimpin redaksi. Sedangkan penyandang dananya juga tokoh Islam seperti Idham Chalid, K.H. Masykur, Gobel, dan Mintareja, yang tergabung dalam PT Pelita Persatuan. Terbit pertama dengan oplah 30.000 eksemplar, Pelita sempat melambung empat kali lipat pada masa kampanye Pemilu 1982. Soalnya, massa pemilih ingin memantau sepak terjang PPP. "Masa itu Pelita boleh dibilang sebagai harian PPP," ujar Baidhowi Adnan, wartawan yang sudah mengabdi di Pelita selama 16 tahun. Selang beberapa waktu sebelum hari "H" pemilu, Pelita dibredel, dan baru diizinkan terbit lagi empat bulan kemudian. Ketika Pelita terbit lagi, sejumlah nama dari kalangan pemerintah dan ABRI ikut duduk dalam sidang redaksi. Perubahan itu ternyata tak mengatrol oplah. Malah, mulai sekitar enam tahun lalu, Pelita berangsur kembang kempis. Lalu masuk sejumlah pribadi fungsionaris Golkar seperti Akbar Tandjung, Sukarton Marmosudjono (almarhum), bersama pemodal Aburizal dan Fadel. Kehadiran mereka ternyata belum mengubah banyak Pelita. Ketika Akbar yang menjabat sebagai pemimpin umum itu menjadi menpora, kedudukannya digantikan oleh bekas Menpora Abdul Gafur. Bagaimana setelah kuartet Azkarmin masuk dan sejumlah dana disuntikkan lagi? Dalam tempo kurang sebulan oplah Pelita melompat ke angka 90.000 eksemplar, tiga kali lipat oplah September lalu. Semula Azkarmin memperkirakan, angka 90.000 baru tercapai pada tahun kedua atau ketiga. Penampilan Pelita mulai akhir Oktober lalu juga dinilai kalangan periklanan sebagai suatu kemajuan, dan bisa mengundang pemasang iklan. "Sebagai koran muslim, Pelita merupakan kekuatan tersendiri," kata Media Manager Indo Ad., Herdianto. Bunga Surawijaya dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus