Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 50 pemuda menenteng kelewang dan sejumlah bom rakitan. Terburu-buru, mereka angkat kaki dari Kota Ambon menuju tempat kelahiran di Desa Aboru, Kecamatan Saparua, Maluku Tengah. Tekad anak-anak muda itu bulat sudah: membalas kematian Andre Saiya dan rekannya. Dua penduduk Aboru itu dilibas warga Desa Pelau, pertengahan Agustus lalu, tatkala keduanya menengok perangkap babi (dadeso) di hutan. Eh, alih-alih menginjak medan pertempuran, 50 pemuda di atas menemukan warga Aboru sedang asyik melaut dan berladang. Jadi, ini lelucon siapa?
Kedatangan mereka ke Aboru rupanya dipicu berita harian Siwalima berjudul Kesakralan Cakalele Ternoda, Aboru Bergejolak, pertengahan Agustus lalu, mengenai pembunuhan Andre. Artikel inilah yang membuat Staf Penerangan Darurat Sipil Maluku Mayor Marthen Luther Djari melayangkan surat peringatan terakhir kepada Siwalima, pekan lalu. Harian lain, Suara Maluku, mendapat peringatan serupa. Alasan Marthen, kedua koran ini gemar meluncurkan berita berbau provokasi.
Para pejabat Penguasa Darurat Sipil Maluku sepakat, jika berita yang memancing kerusuhan tidak diredam, kedua media ini bisa dibredelsesuatu yang diharamkan Undang-Undang Pers 1999. ''Mereka sudah sering menurunkan berita yang tidak obyektif dan tak berimbang," ujar Staf Ahli Bidang Penerangan Penguasa Darurat Sipil Maluku, Jhon Tomassoa. Soal Aboru, misalnya. Menurut investigasi wartawan Antara Ambon, Daniel Leonard, berita itu bohong belaka. ''Tak ada insiden di sana," ujar Leonard kepada TEMPO.
Di mata bos-bos darurat sipil, di antara sejumlah media yang dicap ''provokator", Siwalima punya rapor paling merah. Pada 7 Agustus 2000, misalnya, harian ini menurunkan wawancara berjudul I>Ja'far Umar Thalib: Kudamati-Passo Tunggu Waktunya. Wawancara dengan Panglima Laskar Jihad itu dianggap kian mendidihkan perseteruan kelompok putih (Islam) dan kelompok merah (Kristen).
Benarkan semua tuduhan provokasi itu? Kepada TEMPO, Pemimpin Redaksi Siwalima Darmona Sosebeko menjawab singkat, ''Kalau mau tutup koran di daerah, ya, tutup saja."
Siwalima bukan satu-satunya media yang mendapat rapor bernilai merah. Pihak Islam tak kalah garang membalas provokasi ''media Kristen". Ambon Ekspres pernah menulis 13 Desa di Pelau Saparua Bombardir Teritori Islam. Alhasil, berita semacam inilah yang menjadi santapan sehari-hari masyarakat kepulauan itu. Celakanya, menu media massa semacam ini ibarat jentikan aba-aba menggali kapak peperangan.
Fenomena kekerasan dalam media lokal Maluku sebetulnya tak bisa dipisahkan dari gejolak kerusuhan yang melanda kawasan itu selama hampir dua tahun terakhir. Akar masalahnya harus dirunut jauh ke belakang: konflik agama yang terus berkobar. Pertikaian agama kemudian melebar ke semua aspek kehidupan, termasuk ke para pekerja pers.
Nong Mahmadi, peneliti Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang pernah meneliti kerusuhan di Ambon, mengatakan, sejak pecah kerusuhan agama di Ambon, pemisahan wartawan Kristen dan Islam tak terhindarkan lagi. ''Berita yang ditulis praktis tidak obyektif dan tidak seimbang," ujarnya. Ia mencontohkan berita-berita Ambon Ekspres (tabloid ini didirikan sejumlah wartawan Islam yang hengkang dari harian Suara Maluku, yang berbau Kristen).
''Kalau ada konflik, mereka hanya menghitung korban dari pihak Islam karena konfirmasi ke pihak Kristen tidak pernah dijawab. Begitu pula sebaliknya," ujar Nong kepada TEMPO. Pemisahan wartawan sudah berawal di lapangan. 'Sumber berita mereka relatif sama. Tapi, ketika meliput, kedua kelompok wartawan itu tidak berbaur. Memang tidak terjadi konflik fisik. Perang baru terjadi pada level berita," ia menjelaskan.
Perang berita juga tak lepas dari pengaruh pengalaman pribadi si penulis berita. Ada wartawan Kristen yang rumahnya dibakar pihak Islam. Dan ada wartawan Islam yang kena bacok pihak Kristen. ''Jadi susah untuk netral secara emosional," kata peneliti ISAI ini. Di luar kendala-kendala itu, para wartawan di Maluku harus pula menghadapi ''perang" lain: ancaman bredel penguasa darurat sipil.
Ironisnya, selain bertentangan dengan UU Pers, ancaman ini menafikan kebebasan bersuara. Meminjam komentar Ketua Dewan Pers Atmakusuma, ''Dalam keadaan perang dan konflik, media sulit meliput secara obyektif. Jalan keluarnya bukan bredel, tapi kompromi."
Hermien Y. Kleden, Friets Kerlely (Ambon), Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo