Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat siang pekan lalu, mereka berempatUsep Setiawan bersama Anton Sulton, Mohammad Hafiz Azdam, dan Idham Kurniawanberbicara kepada wartawan. Mereka mengaku diculik dan disekap selepas menggelar demonstrasi di Gedung MPR/DPR pada 14 Agustus lalu. "Sebetulnya berat bagi saya menyampaikan apa yang saya alami ini karena saya diancam jika bicara. Tapi kini saya minta perlindungan kepada masyarakat," kata Usep seraya menangis tersedu.
Kesaksian empat aktivis ini memang ditunggu-tunggu. Sejak dilepas penculiknya, 27 Agustus lalu, mereka bungkam. Keterangan pendek hanya mereka sampaikan kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang belakangan cuma mengabarkan bahwa keempat aktivis sudah kembali. Selebihnya senyap. Karena mereka merasa masih menderita trauma, Kontras menyembunyikan mereka di sebuah rumah di Jakarta Selatan. Spekulasi yang berkembang pun jadi sulit dikonfirmasikan. Benarkah mereka diculik? Siapa penculiknya? Dengan motif apa?
Hari itu mereka berusaha menjawab, meski belum sepenuhnya memuaskan. Menurut Usep, selepas dipaksa keluar dari Gedung MPR/DPR, mereka dibawa ambulans polisi. Polisi sempat menawarkan apakah mereka mau dibawa ke Rumah Sakit Kramatjati, Jakarta Timur, mengingat kondisi mereka yang lemah sehabis mogok makan. Tapi keempatnya memilih Bundaran Hotel Indonesia untuk melanjutkan demonstrasi. Polisi menolak. Dan setelah tawar-menawar, mereka sepakat diantar ke depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak jauh dari bundaran yang terkenal itu.
Dari depan KPU, mereka lalu berjalan menuju Bundaran HI, tapi tidak untuk berdemonstrasi. Karena lelah dan lapar, mereka memutuskan makan di sebuah restoran Pusat Pertokoan Sogo, dekat Hotel Indonesia. Seusai makan itulah, dalam perjalanan menuju kantor di Pejompongan, mereka mengatakan disergap beberapa orang berpistol di Jalan Kebonkacang.
Leher mereka dibekap dan pinggang ditodong senjata. "Orang itu besar," kata Anton, "Aku sempat melihat dagunya ketika melihat ke belakang." Anton dan Usep, yang berjalan di muka, dimasukkan ke satu mobil, sedangkan Idham dan Azdam dibawa dengan mobil terpisah. Karena kepala mereka dikarungi kain hitam dan leher mereka dijerat tali dari belakang, para aktivis itu sulit mengetahui posisi yang lainnya. Di sini, Usep mengaku kehilangan tas berisi telepon genggam dan sejumlah dokumen.
Itulah awal perjalanan mereka dalam kegelapan. Selama dua pekan berikutnya, mereka tak bisa menikmati matahari: mata mereka ditutup dan, ketika dibuka, mereka menemukan diri disekap di dalam ruang terisolasimasing-masing di tempat yang berbeda (lihat Pengakuan Empat Aktivis Itu). Sejauh ini, hanya ada satu versi tentang apa yang terjadi selama kurun dua pekan itu, yakni dari kesaksian mereka.
Setelah disekap dua hari di tempat yang menurut perasaan mereka masih di Jakarta, atau mungkin di Bandung, empat sekawan itu dibawa bermobil untuk pejalanan panjang. Sangat panjang. Ketika dibebaskan dua pekan kemudian, Usep menemukan dirinya berada di Yogyakarta, Idham di Solo, sementara Azdam dan Anton di Semarang. Para penculik memberi mereka uang saku dan tiket pesawat kembali ke Jakarta.
Sayang, kesaksian keempat demonstran itu tidak cukup spesifik untuk memungkinkan penyidik independentermasuk polisi, yang sejak semula memang cenderung meragukan cerita merekamelacak kasus ini lebih jauh. Dari kesaksian itu, tampak bahwa para penculik benar-benar sangat profesional, cermat, dan teliti. Para penculik terorganisasi dalam empat kelompok berbeda, menyekap dua pekan empat sandera di empat lokasi terpisah, bahkan di tiga kota terpisah, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Para demonstran mengaku tidak pernah melihat wajah penculiknya masing-masing. "Orang itu berpostur besar dan berjaket hitam. Wajahnya juga tertutup kain hitam," kata Usep. Para penculik sangat teliti, mengingat setiap hari selama dua pekan mereka bertemu dengan sandera, memberi makan, bahkan ada yang menginterogasi.
Para demonstran juga tidak memberikan kesan bahwa mereka tahu di mana mereka disekap. Setelah dibawa bermobil selama sekitar tiga jam sejak disergap, Usep mengaku dimasukkan ke sebuah kamar kosong dengan dinding putih. Ada sebuah kasur tanpa dipan di pojok ruangan. Juga ada sebuah kamar mandi di dalam ruangan, tapi tanpa perlengkapan seperti sabun, apalagi sikat dan pasta gigi.
"Saya sempat mengintip dari dari lubang angin kecil," kata Usep, "tapi di luar yang terlihat hanya tembok putih." Dalam penyekapan kedua, di Yogyakarta, Usep dimasukkan ke sebuah kamar yang mirip dengan ruangan pertama. Bedanya, kamar ini memiliki dipan dan kursi. Dia tak bisa melihat ke luar.
Anton bercerita, dia dimasukkan ke kamar berlampu redup, juga dengan kamar mandi di dalam. "Kamar itu banyak kutu busuknya. Kaki saya gatal semua," kata Anton sambil menunjukkan bentol-bentol di kakinya. Di kamar ini, Anton juga sempat mengintip dari lubang pintu. "Aku cuma melihat satu orang memakai jaket hitam duduk membelakangi lubang kunci dan seorang lagi melintas dan cuma terlihat kakinya yang memakai jins biru," kata Anton.
Meski semuanya mengaku diinterogasi, tidak ada jejak kekerasan fisik pada tubuh korban. Kecuali Azdam yang mengaku dadanya pernah dipukul hingga sesak (tapi tak ada bekas), para demonstran ini mengatakan mereka tidak pernah dikerasi.
Dari cerita keempat demonstran, ada kesan para penculik punya komunikasi dan koordinasi yang hebat meski berada di tiga kota berbeda. Keempatnya dilepas di dekat bandar udara masing-masing kota, dan dalam waktu yang hampir bersamaan, yakni antara pukul 07.00 dan 08.00, pada hari yang sama, Ahad, 27 Agustus.
Berangkat dari kota yang sama, yakni Semarang, Azdam dan Anton mengaku tidak pernah bertemu di Bandara Ahmad Yani kendati jam keberangkatan mereka hampir bersamaan. Pesawat mereka berbeda: Azdam dengan Mandala Airlines, sementara Anton dengan Garuda Indonesia.
Di dekat Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, mobil penculik yang membawa Usep berhenti. Penutup matanya dibuka dan seketika dia didorong ke luar. "Karena mata saya berkunang-kunang, saya tak bisa mengenali mobil itu," kata Usep.
Keempat sandera mengaku dibelikan tiket bukan atas nama mereka. Usep dengan nama Ummu Jumhana, Anton dengan Lukas, dan Azdam dengan Yosep Adiwijaya. Seorang petugas tiket di bandara Yogyakarta membenarkan ada penumpang dengan nama Ummu Jumhana dalam pesawat Garuda bernomor GA 213, Ahad pagi itu. Menurut petugas tadi kepada TEMPO, tiket itu dibeli pada 24 Agustus dari agen perjalanan Giantra di Semarang. (Semua tiket tampaknya dipesan dari agen yang sama di Semarang ini.) Seorang karyawan Giantra juga membenarkan tiket itu dipesan melalui perusahaannya, tapi entah oleh siapa.
Namun, konfirmasi itu hanya memastikan bahwa keempat aktivis memang benar-benar terbang dari Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Hampir tidak ada jejak lain yang mungkin bisa dilacak lebih jauh dari konfirmasi itu, kecuali barangkali motif para penculik, yang bisa dipersempit kemungkinannya lewat isi interogasi terhadap para demonstran. Usep mengaku banyak ditanya soal kegiatan KPA dan aksi-aksinya dalam membela petani di Tapos, Garut, dan Gunungbatu (Sukabumi). Tiga lainnya punya pengakuan serupa. "Saya banyak ditanya tentang Tapos," kata Anton.
Ketua KPA, Dianto Bachriadi, punya dugaan kuat bahwa penculikan ini berkaitan dengan aksi advokasi petani yang selama ini mereka lakukan. "Hanya orang yang terganggu dengan aksi KPA-lah yang punya motif melakukan teror terhadap kami," katanya. Siapa? "Orang-orang yang berkepentingan terhadap tanah-tanah perkebunan, pertanian, dan pertambangan besar yang selama ini kembali direbut para petani."
Intimidasi terhadap KPA memang bukan cuma sekali ini. Beberapa tahun lalu, ketika petani merebut tanah perkebunan di Cilau, Garut, Jawa Barat, sembilan aktivis KPA ditangkap polisi dan hingga kini belum dibebaskan. "Pada sebagian besar kasus, aktivis KPA terlibat dalam aksi pembebasan tanah seperti itu," kata Dianto. Dengan kata lain, menurut Dianto, KPAyang membawahkan 11 LSM pertanahanmemang potensial mengancam kepentingan pemilik modal.
Polisi berpendapat sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan justru keempat aktivis menghilangkan diri sendiri. Motifnya: menarik perhatian orang terhadap isu reformasi UU Agraria. Menurut seorang pertugas intel Kepolisian RI, pihaknya telah mencatat percakapan melalui telepon genggam yang diidentifikasi milik Usep pada empat hari pertama hilangnya aktivis KPA tersebut. "Kemungkinan besar Usep berhubungan dengan Dianto Bachriadi melalui telepon genggam," kata sumber itu.
Bahkan, polisi juga curiga lokasi penculikan di Yogyakarta, Semarang, dan Solo sudah diatur KPA. Dianto, menurut polisi, menyewa mobil Kijang dari sebuah perusahaan penyewaan di Bandung, selama 45 hari, sampai anak-anak itu ditemukan. Mobil ini, menurut polisi, pernah dibawa seorang staf KPA ke Semarang. Namun, polisi belum memperoleh kepastian apakah staf itu yang menyiapkan skenario penculikan.
Dianto membantah dugaan polisi ini. Menurut Dianto, ia memang pernah mencoba menelepon Usep melalui telepon genggam ketika mengetahui temannya itu hilang, tapi tak pernah dijawab. Soal mobil sewaan tidak disangkalnya. Mobil itu memang disewa untuk keperluan KPA. "Tapi tidak pernah dipakai ke Semarang," katanya.
Polisi juga tampak kesal karena para aktivis itu tidak mau memenuhi panggilan pihaknya untuk memberikan keterangan rinci atas peristiwa ini. Para aktivis menolak hadir dengan alasan masih merasa trauma. Dan lebih dari itu, mereka curiga polisi terlibat dalam penculikan. Akhir pekan lalu, polisi mengirimkan surat panggilan kedua.
Misteri adalah jawaban sementara dari kasus yang menggemparkan ini. Tanpa saksi mata independen, tanpa dukungan bukti yang spesifik, kasus ini tak akan pernah beranjak ke mana-mana. Para penculik, jika ada, tak mungkin ditemukan, kecuali akhirnya mereka berani mengakui kejahatannya.
Arif Zulkifli, Tomi Lebang, Ardi Bramantyo, Agus S.R.,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo