Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa Berdusta di Antara Kita

Bank Indonesia terkejut mengetahui bahwa pemilik BCA adalah Farindo. Soalnya, yang diuji tuntas adalah Farallon Capital. Bagaimana duduk soal kasus ini?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang petinggi Bank Indonesia memilin-milin keningnya. Berulang kali ia memelototi dokumen Bank Central Asia (BCA) itu, tapi tetap saja ia keheranan. Yang membuatnya pusing adalah komposisi kepemilikan saham di dokumen itu. Di situ jelas tertulis bahwa salah satu pemegang saham bank besar ini adalah Farindo Investment. Dan yang bikin kepalanya semakin keras berdenyut adalah keterangan bahwa Farindo Investment merupakan bagian dari Farindo Holdings yang berpusat di Mauritius. Jika bank ini mengalami kesulitan keuangan, yang harus membantunya tentu saja Farindo Holdings. Padahal, masih segar dalam ingatan pejabat Bank Indonesia ini, saat proses tender pembelian BCA Maret lalu, yang meneken letter of undertaking—surat kesanggupan membantu jika bank itu mengalami kesulitan likuiditas—adalah Farallon Capital Partners bersama sejumlah perusahaan lainnya yang juga mengusung nama Farallon. Perusahaan-perusahaan itu pulalah yang diuji tuntas (due diligence) untuk melihat kesanggupan mereka membeli bank bernilai Rp 104 triliun itu. Sedangkan Farindo Holdings sama sekali tak pernah memberikan garansi apa pun, juga tak pernah diuji tuntas. Lalu pada akhir Agustus silam, datanglah laporan keuangan itu. Setelah menemukan adanya keganjilan, pertanyaan yang selalu mengganggu benak sejumlah petinggi Bank Indonesia adalah siapa yang harus bertanggung jawab jika keuangan BCA terguncang. Jawabannya sangat penting. Sebab, jika tak ada yang bertanggung jawab, Bank Indonesia terpaksa merogoh sakunya sendiri untuk menolong bank itu, sebagai konsekuensi dari blanket guarantee yang diberikan pemerintah. Jika sudah begitu, kantong negara jugalah yang dibobol. Pada saat keuangan negara sedang ngos-ngosan seperti sekarang ini, pilihan itu terasa pahit. Cemas dihadang oleh risiko yang mengerikan itu, Bank Indonesia (BI) lalu mengirim surat ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga yang dulu menjual BCA. Dalam surat yang dikirim akhir Agustus lalu itu, BI meminta penjelasan BPPN tentang kepemilikan BCA. Dan ”dokter bank” itu membenarkan bahwa Farindo Investment-lah yang kini menjadi pemilik 51 persen saham bank BCA. Benar pula bahwa Farindo Investment adalah bagian dari Farindo Holdings yang berpusat di Mauritius. Tapi siapa Farindo Holdings itu? Perusahaan ini adalah sebuah usaha patungan antara sejumlah perusahaan yang semuanya menggunakan nama Farallon (lihat Farindo Siapa Punya). Kantor pusatnya di Mauritius. Ke situlah tanggung jawab akan dituntut, jika bank itu mengalami kesulitan likuiditas. Repotnya, bank sentral punya setumpuk pengalaman buruk dengan negeri yang bernama Mauritius. Beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan yang kesulitan membayar utangnya juga pernah menunjuk Mauritius sebagai pusat usahanya. Ketika tim Bank Indonesia datang ke sana, yang ditemukan cuma sebuah ruko berlantai dua. Karyawannya juga cuma dua orang. Padahal jumlah dana yang dipinjam perusahaan itu ratusan miliar rupiah. Kabar kecemasan di Bank Indonesia itu sampai juga di Farindo Investment. Perusahan itu berniat memberikan klarifikasi langsung ke Bank Indonesia. Pertemuan lalu diatur akhir September lalu. Adalah Deputi Gubernur Senior, Anwar Nasution, dan staf di bagian pengawasan bank yang menerima mereka. Sumber TEMPO yang hadir dalam pertemuan itu menuturkan bahwa saat itu Farallon menjelaskan panjang lebar soal kedudukan Farallon Capital di Farindo Investment, soal jaringan bisnis Farindo Investment, dan juga soal Farindo Holdings yang berpusat di Mauritius itu. Dalam pertemuan itu juga, Anwar Nasution secara tegas mendesak Farallon Capital dan sejumlah perusahaan lainnya untuk membuat surat pernyataan kesanggupan membantu BCA, jika keuangan bank itu gonjang-ganjing. Dan Farallon berjanji membuat surat pernyataan itu. Deputi Bidang Restrukturisasi Perbankan BPPN, I Nyoman Sender, membenarkan bahwa beberapa bulan lalu Bank Indonesia pernah meminta klarifikasi soal kepemilikan BCA itu kepada BPPN. Tapi permintaan klarifikasi itu cuma via telepon dan bukan melalui surat resmi sebagaimana dituturkan oleh sumber TEMPO itu. Yang menelepon—kata Nyoman Sender—adalah Siti Ch. Fadjriah, Deputi Pengawasan Perbankan Bank Indonesia. Saat itu Siti Fadjriah mempersoalkan penggunaan nama Farindo Investment itu sebagai pemegang saham BCA. Sebab, menurut dia, yang diuji tuntas adalah Farallon Capital dan sejumlah perusahaan lainnya yang bergabung dalam Farindo Holdings. Memang pada awalnya, kata Nyoman Sender, segala surat-menyurat dilakukan oleh Farallon, tetapi dalam prosesnya mereka membentuk Farindo Investment itu. Semua fakta itu dijelaskan kepada Siti Fadjriah. ”Saya kira Bank Indonesia memahami semua pola hubungan itu,” kata Nyoman Sender. Nyoman mengaku tidak tahu apakah belakangan Bank Indonesia melakukan klarifikasi langsung tentang masalah ini kepada pihak Farallon. Sayang, Deputi Bidang Pengawasan Perbankan Bank Indonesia, Siti Ch. Fadjriah, dan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang juga menangani masalah ini tidak bisa dimintai komentarnya. Keduanya sedang bertugas di luar negeri dan baru pulang pada pekan ini. Sejumlah petinggi Bank Indonesia lainnya? Tak bisa memberikan jawaban. Soalnya, ”Hanya Ibu Siti dan Pak Anwarlah yang berhak memberikan jawaban atas persoalan ini,” kata Anto Prabowo, salah seorang staf hubungan masyarakat Bank Indonesia, kepada TEMPO. Raymond Zage, Direktur Utama Farindo, membenarkan adanya pertemuan pada bulan September itu. Pertemuan itu, menurut Raymond, berlangsung atas inisiatif Farindo Investment, karena pada Agustus lalu kuat beredar kabar tentang gonjang-ganjing kepemilikan saham BCA. Isu yang berkembang saat itu adalah bahwa Farindo hendak menjual lagi sahamnya di bank tersebut. Daripada kabar itu berembus tak keruan, lebih baik Farallon melakukan klarifikasi sendiri ke Bank Indonesia. Dalam pertemuan itu, Raymond Zage menjelaskan panjang lebar soal proses tender BCA. Pihak Farindo juga menjelaskan bahwa saat proses tender berlangsung, yang diuji tuntas oleh Bank Indonesia adalah semua perusahaan yang bergabung dalam Farindo Investment. Karena lulus uji tuntas itulah, pihaknya bisa masuk ke BCA. Dalam pertemuan itu pula, kata Raymond Zage, pihaknya mengklarifikasi soal rumor penjualan saham milik Farindo di BCA. Rumor itu tidak benar. Di BCA tetap ada dua investor dalam wadah Farindo. Tidak ada niat untuk menjualnya. Penjelasan ini diberikan secara terbuka kepada Bank Indonesia. ” Kami anggap sudah tidak ada masalah lagi,” kata Raymond Zage. Tapi sumber TEMPO di Bank Indonesia membantah jika masalah itu selesai dalam pertemuan itu. Yang terjadi, kata sumber ini, Anwar Nasution mendesak sejumlah perusahaan yang bergabung dalam Farindo Holdings agar membuat surat pernyataan kesanggupan itu. Dan surat itu sudah dikirim ke Bank Indonesia seminggu setelah pertemuan tersebut. Isinya adalah uraian singkat tentang kepemilikan saham di BCA. Bank Indonesia langsung membalas dan menolak surat pernyataan itu. Alasannya? ”Dalam surat itu tak jelas apakah perusahaan-perusahaan itu bersedia membantu BCA jika mengalami kesulitan,” kata sumber di Bank Indonesia itu. Karena tak juga jelas, bank sentral lalu meminta Farallon untuk membuat pernyataan yang jelas, yang secara tegas menyatakan kesanggupannya membantu BCA jika kelak mengalami kesulitan likuiditas. Awal November ini, Farindo mengirim suratnya yang kedua. TEMPO mendapat salinan surat-menyurat ini. Dalam surat kedua isinya jauh lebih tegas. Surat itu ditandatangani oleh David Zemans, konsultan hukum Farindo. Di awal surat ini disinggung soal pertemuan antara Farindo dan Bank Indonesia sebelumnya. Di situ juga dijelaskan bahwa maksud surat ini adalah memberikan klarifikasi atas sejumlah pertanyaan Bank Indonesia dalam pertemuan itu. Surat ini juga menjelaskan panjang lebar soal kepemilikan saham dalam Farindo Investment. Yang bikin sejumlah petinggi Bank Indonesia berkerut kening adalah penjelasan soal tanggung jawab hukum atas segala sepak terjang Farindo Investment di BCA. Di situ secara tegas dijelaskan bahwa segala akibat hukum dari kebijakan Farindo Investment adalah tanggung jawab Farindo Investment sendiri, sesuai dengan porsi sahamnya di BCA. ”Lalu di mana tanggung jawab Farallon dan sejumlah perusahaan lainnya itu?” tanya seorang petinggi Bank Indonesia. Tanggung jawab itu, kata Raymond Zage, tetaplah melekat pada Farindo Investment. Menurut dia, surat tertanggal awal November itu sebetulnya hanyalah penjelasan ulang dari kontrak awal, yang juga sudah pernah dibuat oleh Farindo Investment. Bahwa yang bertanggung jawab atas sepak terjang adalah Farindo Investment bersama Farindo Holdings di Mauritius, itu sudah konsekuensinya. Tapi, katanya lagi, semua perusahaan yang telah meneken letter of undertaking tetap akan ikut bertanggung jawab. ” Jadi apa persoalannya?” katanya. Agak ganjil memang. Jika Farindo mengatakan bahwa semuanya oke-oke saja, lalu untuk apa melakukan klarifikasi dalam pertemuan yang juga diakui oleh Raymond Zage itu? Apa pula perlunya susah-susah mengulang penjelasan tentang struktur kepemilikan saham Farindo Investment dalam surat tertanggal awal November itu? Juga apa perlunya menjelaskan soal konsekuensi hukum yang melekat pada Farindo Investment, jika asumsinya memang tidak ada persoalan? Apalagi, kata Raymond Zage, upaya klarifikasi ini telah memakan banyak waktu, tenaga, dan mungkin juga uang? Sumber TEMPO di Bank Indonesia itu menuturkan bahwa semua penjelasan tersebut diberikan karena memang Bank Indonesia ragu dengan komitmen sejumlah perusahaan yang mendirikan Farindo Holdings yang berpusat di Mauritius itu. Pertemuan tersebut dilakukan untuk memastikan, walau tidak terkait langsung dengan Farindo Investment, sejumlah perusahaan itu tetap berkewajiban membantu BCA, jika perusahaan itu mengalami kesulitan keuangan. Wenseslaus Manggut, Levianer Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus