Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa mafia pelabuhan?

Di beberapa pelabuhan besar di Indonesia masih ada hambatan yang dilakukan AMKL maupun makelar, untuk muatan antar pulau rongrongan mafia ini belum mengganggu ekspor. (eb)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang disebut "mafia" muatan kapal laut, menurut Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin, memang ada. Tapi, "Pengaruh mafia itu tidak menghambat muatan ekspor," katanya pekan lalu. Hal tersebut disimpulkan dari data ekspor yang dicatat BPS (Biro Pusat Statistik) terakhir. Kendati begitu, banyak eksportir merasa bahwa pengiriman barang ekspor mereka seret. Beberapa eksportir di Medan terang-terangan menunjukkan beberapa halangan di pelabuhan Belawan. CV Mariza, yang biasa mengekspor kerajinan dari jenis rotan ke Eropa, misalnya. Menurut kepala bagian pemasarannya, Rolan Hutabarat, perusahaan itu sempat mengekspor 96 peti kemas pada 1979, sedangkan tahun lalu tinggal 40 container."Hal itu, antara lain, disebabkan penanganan dokumen harus melalui delapan meja. Itu pun harus lewat perusahaan EMKL yang diatur pemerintah, tapi berpraktek mirip mafia," kata Hutabarat dengan nada berang. Ongkos pengurusan dokumen itu resminya hanya Rp 175.000 per peti ukuran 108 m, tapi EMKL meminta Rp 275.000, karena ada biaya siluman Rp 100.000. Penanganan dokumen yang berlangsung dua hari memaksa pula eksportir menginapkan barangnya di gudang pelabuhan sampai empat hari, dengan biaya Rp 70 per m3 per hari. Biaya gudang memang menjadi beban agen kapal -sepanjang masih di bawah seminggu - tapi akhirnya dilimpahkan ke tarif penambangan (freight). Eksportir biji pinang di Medan, Maju Trading Co., juga merasakan sengatan bila tak mau berurusan lewat EMKL. "Biji pinang kami yang bernilai Rp 12 juta, terkena biaya handling dokumen Rp 4 juta, padahal mestinya hanya Rp 2 juta," kata direktur Maju, Ehuart Yhon, kepada TEMPO. Yang paling gawat ialah sewa gudang. Jika pengurusan via EMKL, sewa gudang hanya Rp 200.000 per ton per hari, tapi, tanpa EMKL, eksportir dikenai Rp 991.000 per ton per hari. "Kami digiring paksa untuk memakai jasa EMKL yang rupanya sudah biasa main mata dengan pelbagai instansi yang berwenang dalam soal ekspor," keluh pengekspor pinang ke Jepang itu. Di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, seorang pejabat pelabuhan mengakui bahwa ada semacam mafia juga. Bukan EMKL, tetapi makelar, yang biasa mengontak eksportir atau pemilik barang. Timbulnya makelar-makelar itu, menurut pejabat Tanjung Perak yang tak mau disebut namanya itu, karena dulu ada EMKL yang malas. Misalnya, ada kapal yang cuma biasa mendapat muatan 60% disewakan kepada calo seharga 65% asalkan calo bisa membayar tunai. "Setelah calo mendapatkan muatan 65%, ruang lebih mereka paksa muat dengan banting harga," kata pejabat tadi. Rongrongan mafia ini di Tanjung Perak konon memang terbatas pada angkutan laut antarpulau. "Di jalur ekspor, secara rasional sulit dicalo," katanya. Karena di jalur internasional, eksportir biasa menjual barangnya sampai ke atas kapal (free on board). Tentu saja eksportir lebih senang mempercayakan pengurusan surat dan pemuatan barang ekspor itu kepada perusahaan EMKL yang sudah dipercaya. Tapi, diakuinya, ada pihak ketiga yang bertindak sebagai agen-agen. Di Tanjung Priok, Jakarta, diduga bermain mafia angkutan laut antarpulau. Yang sering dikeluhkan pemakai jasa pelabuhan adalah soal tarif. Padahal, tarif pelabuhan Tanjung Priok, menurut direktur Perum Pelabuhan II, Sabirin Salman, termasuk paling murah di dunia. Sebagai perbandingan, misalnya, tarif dermaga di Priok untuk ekspor cuma Rp 110 per ton, sedangkan di Singapura S$ 1 (Rp 495). Tarif penanganan muatan biasa di Priok Rp 2.487 per ton, dan di Singapura Rp 4.981. Sedangkan penanganan muatan container Rp 50.000-per peti 20 kaki, dan Rp 114.210 di Singapura. Penanganan di Priok oleh Perum Pelabuhan II, menurut Sabirin, cukup lancar. "Keterlambatan terjadi umumnya kalau ada barang yang belum beres dokumennya, sehingga belum diberi lampu hijau oleh Bea Cukai," katanya. Kalau penanganan bongkar muat, misalnya peti kemas, pihak Perum Pelabuhan mampu melaksanakan dalam tiga menit dengan dua gentry crane. Dulu. dengan peralatan tradisional paling cepat satu jam. Jadi, soal kelambatan itu, karena pengurusan dokumen di Bea Cukai? Toh, pengurusan di Bea Cukai dewasa ini sudah lebih cepat: dulu bisa sebulan, sekarang tinggal 10-14 hari. Tapi, uang siluman pengurusan, menurut seorang eksportir buah-buahan kalengan, masih besar sekali. "Bisa mencapai separuh tarif pelabuhan secara keseluruhan," katanya. Karena itu, mereka tidak segan-segan memberikan tip Rp 1.000 sampai Rp 2.000 kepada operator crane atau sopir truk peti kemas, untuk memotong jalan. Dirjen Perhubungan Laut, J.E. Habibie, mengakui masih banyak para pemakai jasa angkutan mengeluh, tetapi tidak suka terbuka. "Kalau mereka memberikan data realistis, kami bisa tahu di mana pelayanan pelabuhan yang harus ditingkatkan," kata Habibie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus