Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa Mau Makan "Mendei"

Bantuan pangan dari luar negeri tidak selalu sesuai dengan kebutuhan rakyat. kasus paket pangan wfp di wonogiri merupakan contoh. bantuan itu sebagai tekanan atas petani sendiri, subsidi petani asing. (eb)

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG, yang dilego melalui program bantuan pangan ke sini tidak selalu sesuai dengan selera atau kebutuhan rakyat. Bantuan tarwe dari Negeri Belanda misalnya, untuk sebagian juga merupakan dukungan terhadap program bantuan bagi petani IEE. Begitu pula gandum dari Australia. Padahal siapa di sini yang mau makan tarwe? Bahkan gandum pun - yang kemudian digiling jadi terigu - meski pun sudah diolah menjadi roti dan mi masih merupakan makanan"samping. Pengalaman WFP (World Food Program), salah satu badan PBB, juga menarik mtuk dikemukakan. Badan itu sudah beberapa tahun aktif di Indonesia menyalurkan bantuan pangan dari negeri maju untuk menopang program pembangunan yang padat karya di Indonesia. Atau untuk membantu rakyat yang kelaparan di daerah yang tertimpa bencana alam. Khusus untuk program padat karya seperti penghijauan Hulu Bengawan Solo misalnya, rakyat yang dikerahkan dalam proyek itu dibayar dalam bentuk paket pangan WFP. Upah dalam bentuk paket makanan itu, ditentukan menurut banyaknya HOK (hari-orang-kerja) atau mandays orang itu bekerja. Namun karena rakyat belum biasa makan bulgur, susu bubuk skim, ikan kaleng, kentang, sorgum, kacang-kacangan dan minyak mentega yang ada dalam paket itu, begitu 'gajian' mereka segera menjualnya ke warung-warung di Wonogiri. Hasil penjualan paket-paket WFP yang jadi terkenal dengan sebutan "mendei" (manday) itu. kontan dibelanjakan dalam bentuk barang-barang konsumen seperti radio. Dan bukan untuk pangan, sebab mereka toh suah terbiasa makan padi gogo, jagung atau gaplek hasil tegalannya sendiri. Kritik ke alamat bantuan pangan yang sebenarnya merupakan subsidi negeri-negeri miskin untuk petani di negeri maju, sudah lama dilontarkan sementara ahli pertanian. Mereka menilainya sebagai 'tekanan' terhadap petani kita sendiri. Sebab berkat adanya banjir beras dan gandum dari luar negeri itu, Bulog dengan mudah dapat mengurangi kenaikan harga di pasaran, dengan melemparkan stok daruratnya ke pasaran bebas. Padahal harga beras di Indonesia, selama tahun tahun yang lampau, selalu jauh di bawah harga di pasaran dunia. Juga sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Makanya mereka mengusulkan, supaya dana bantuan pangan itu digunakan saja untuk menaikkan produksi di negeri kita sendiri. Bukan untuk "mensubsidi petani asing". Baru belakangan ini ada kesepakatan untuk membentuk suatu dana internasional baru, khusus untuk peningkatan produksi petanian di Dunia Ketiga. Namanya IFAD (International Fund for Agriculture Development). yang akan bekerja dengan modal pangkal $ 1 milyar. Sumber modal itu dibagi sama rata antara negara-negara minyak dengan OPEC Fund-nya untuk mana Indonesia akan memberikan sumbangan $ 1 juta dan negaranegara maju yang tergabung dalam OECD (Organiation of Economic Cooperation & Development).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus