MEMANG, yang dilego melalui program bantuan pangan ke sini tidak
selalu sesuai dengan selera atau kebutuhan rakyat. Bantuan tarwe
dari Negeri Belanda misalnya, untuk sebagian juga merupakan
dukungan terhadap program bantuan bagi petani IEE. Begitu pula
gandum dari Australia. Padahal siapa di sini yang mau makan
tarwe? Bahkan gandum pun - yang kemudian digiling jadi terigu -
meski pun sudah diolah menjadi roti dan mi masih merupakan
makanan"samping.
Pengalaman WFP (World Food Program), salah satu badan PBB, juga
menarik mtuk dikemukakan. Badan itu sudah beberapa tahun aktif
di Indonesia menyalurkan bantuan pangan dari negeri maju untuk
menopang program pembangunan yang padat karya di Indonesia. Atau
untuk membantu rakyat yang kelaparan di daerah yang tertimpa
bencana alam.
Khusus untuk program padat karya seperti penghijauan Hulu
Bengawan Solo misalnya, rakyat yang dikerahkan dalam proyek itu
dibayar dalam bentuk paket pangan WFP. Upah dalam bentuk paket
makanan itu, ditentukan menurut banyaknya HOK (hari-orang-kerja)
atau mandays orang itu bekerja. Namun karena rakyat belum biasa
makan bulgur, susu bubuk skim, ikan kaleng, kentang, sorgum,
kacang-kacangan dan minyak mentega yang ada dalam paket itu,
begitu 'gajian' mereka segera menjualnya ke warung-warung di
Wonogiri. Hasil penjualan paket-paket WFP yang jadi terkenal
dengan sebutan "mendei" (manday) itu. kontan dibelanjakan dalam
bentuk barang-barang konsumen seperti radio. Dan bukan untuk
pangan, sebab mereka toh suah terbiasa makan padi gogo, jagung
atau gaplek hasil tegalannya sendiri.
Kritik ke alamat bantuan pangan yang sebenarnya merupakan
subsidi negeri-negeri miskin untuk petani di negeri maju, sudah
lama dilontarkan sementara ahli pertanian. Mereka menilainya
sebagai 'tekanan' terhadap petani kita sendiri. Sebab berkat
adanya banjir beras dan gandum dari luar negeri itu, Bulog
dengan mudah dapat mengurangi kenaikan harga di pasaran, dengan
melemparkan stok daruratnya ke pasaran bebas. Padahal harga
beras di Indonesia, selama tahun tahun yang lampau, selalu jauh
di bawah harga di pasaran dunia. Juga sangat rendah dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya. Makanya mereka mengusulkan,
supaya dana bantuan pangan itu digunakan saja untuk menaikkan
produksi di negeri kita sendiri. Bukan untuk "mensubsidi petani
asing".
Baru belakangan ini ada kesepakatan untuk membentuk suatu dana
internasional baru, khusus untuk peningkatan produksi petanian
di Dunia Ketiga. Namanya IFAD (International Fund for
Agriculture Development). yang akan bekerja dengan modal pangkal
$ 1 milyar. Sumber modal itu dibagi sama rata antara
negara-negara minyak dengan OPEC Fund-nya untuk mana Indonesia
akan memberikan sumbangan $ 1 juta dan negaranegara maju yang
tergabung dalam OECD (Organiation of Economic Cooperation &
Development).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini