Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa yang Diuntungkan

Pemerintah akan merestrukturisasi kredit macet KUT, yang jumlahnya mencapai Rp 6 triliun. Berdasarkan hasil kajian BPKP, dengan cara ini pemerintah bukan membantu petani, melainkan menguntungkan KUD dan LSM yang menilap sebagian besar dana tersebut.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEDIHAN Slamet, 40 tahun, petani dari Desa Kemeranjen, agaknya sedikit terobati karena ada hadiah dari pemerintah. Bersama rekan-rekannya petani di Kabupaten Banyumas, Slamet yang terkena musibah banjir dan angin kencang itu mungkin sudah mendengar kemurahan hati pemerintah yang memberikan potongan 25-50 persen untuk utang pokok petani serta memutihkan alias menghapus bunga dan denda tunggakan kredit usaha tani (KUT).

Pendek kata, dengan "hadiah" itu, Slamet tak perlu bingung. Cicilan untuk utangnya sebesar Rp 900 ribu tak perlu terlalu dipikirkan lagi. Utang yang didapatnya dari Koperasi Unit Desa (KUD) Kemeranjen ini seharusnya lunas dalam dua cicilan lagi. Beruntunglah Slamet karena petugas KUD tak berhak menagih penuh tunggakan utang yang tersisa itu—berkat uluran tangan pemerintah tersebut. Namun, tidak semua petani bernasib baik seperti Slamet. Ribuan petani yang lain mungkin keburu ditilap hak-haknya oleh pengurus koperasi dan lembaga swadaya masyarakat. Masalahnya sekarang: siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan kebijakan pemerintah yang murah hati itu?

Kalau berpatokan pada kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan studi internal Kantor Menteri Koordinator Perekonomian bersama PSP IPB, agaknya tidak banyak petani yang berbahagia dengan kebijakan pemerintah tersebut. Soalnya, mereka sama sekali tidak kecipratan kredit. Kabarnya, dana KUT sebesar Rp 8,3 triliun yang dikucurkan tahun 1998/1999 di era Menteri Koperasi/Usaha Kecil dan Menengah Adi Sasono itu sama sekali tidak tersalurkan ke petani. Dana tersebut macet di koperasi dan LSM, yang untuk kegiatan penyaluran saja mendapat fee 5 persen.

Angka yang pasti dari dana yang "menguap" itu belum diketahui. Menurut Iwan Muis, peneliti dari Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) Departemen Keuangan, rencana definitif kerja kelompok (RDKK)—semacam formulir pengajuan kredit—tidak bisa dijadikan patokan karena direkayasa sedemikian rupa. Tapi bisa dipastikan sebagian besar penerimanya bukan petani. Penelitian BAKM di beberapa kota menunjukkan ada LSM penyalur KUT di Medan yang memprovokasi petani agar tidak mengembalikan utangnya. Sebabnya? Mereka tidak mungkin lagi bermain-main dengan KUT karena jalurnya diputus. Di Lamongan dan Malang, ditemukan kasus kredit yang mengendap di koperasi dan LSM. Singkatnya, penelitian BAKM menyimpulkan, telah terjadi targeting error dalam penyaluran KUT waktu itu.

Kebijakan ini tentu saja menambah berat beban pemerintah. Sebab, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1999 tertanggal 7 Oktober 1999—mengenai kerja sama antara pemerintah dan bank umum—terungkap, selain pemerintah harus menanggung subsidi bunganya, risiko kredit atau risiko pembiayaan KUT sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Itu sebabnya, dalam APBN sekarang, pemerintah menganggarkan subsidi dan sharing risiko sebesar Rp 4,5 triliun. Menurut Iwan Muis lagi, subsidi waktu itu sudah dibebankan di APBN sebesar Rp 2,1 triliun.

Tentu saja yang senyumnya mengembang mendengar kebijakan pemerintah ini adalah pengurus koperasi dan LSM. Pemerintah seharusnya mengetahui dosa koperasi dan LSM itu karena pemerintah pasti memiliki hasil kajian BPKP dan studi internal Menko Perekonomian. Karena itu, banyak yang mempertanyakan mengapa pemerintah bersikukuh mengeluarkan kebijakan tersebut. Apalagi waktu itu pola penyaluran KUT diubah, dari yang semula menempatkan pihak bank sebagai pelaku executing (pengambil keputusan) menjadi sekadar channeling (perantara). Justru Departemen Koperasi yang berperan melakukan executing dengan mengambil alih peran bank pelaksana. Banyak yang menduga, di situlah dana menguap dengan leluasa.

Direktur Utama BRI, Rudjito, menyayangkan dikeluarkannya kebijakan ini dan berharap hanya terjadi sekali ini. Kebijakan tersebut bisa menimbulkan moral hazard karena petani sebenarnya adalah pembayar utang yang baik, seperti pengalaman BRI dengan kredit usaha pedesaan (kupedes)-nya. Meskipun dikenakan bunga komersial, tingkat kemacetan pembayaran kupedes rata-rata cuma empat persen. "Jangan sampai petani jadi tidak mau membayar," katanya.

Survei Departemen Pertanian mengukuhkan hal itu. Sebanyak 94 persen petani ternyata sudah membayar kewajibannya. Kalau demikian kondisinya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan kebijakan restrukturisasi ini? Yang jelas bukan petani selugu Slamet, yang ketakutan kalau tidak bisa membayar utang. Di pihak lain, pemerintah seharuasnya siap kalau nanti terjadi targeting error lagi.

Leanika Tanjung, Ecep Suwardani Yasa (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Realisasi Pengembalian KUT (Rp Miliar)
Tahun Realisasi Tunggakan
1995/1996 212,9 35,8
1996/1997 230,1 53,8
1997/1998 374,4 65,1
1998/1999 8.412,6 6.088,4
Jumlah 9.229,5 6.243
Sumber: Kantor Mennegkop/UKM