Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kembali ke Kelompok Miskin

Indonesia dianggap memenuhi syarat untuk kembali mendapat pinjaman lunak dari International Development Agency (IDA). Permohonan pinjaman ini diajukan tahun 1998, tapi baru akan dipenuhi tahun 2002.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA mundur 13 tahun. Kesimpulan itu muncul setelah Bank Dunia dan Menteri Perekonomian Rizal Ramli sama-sama mengumumkan rencana lembaga keuangan multilateral itu untuk mengucurkan pinjaman dalam skema IDA. Terakhir Indonesia menerima pinjaman dengan skema IDA pada 1988. Sejak itu, Indonesia dianggap sudah terbebas dari belenggu kemiskinan. Tapi, krisis ekonomi yang menghantam negeri ini pada pertengahan 1997 tanpa ampun telah mengirim kita kembali ke jurang kemiskinan.

Indikator yang ada mempertegas kenyataan yang pahit itu. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia kini hanya berkisar US$ 760. Padahal, sebelum krisis, pendapatan rata-rata sempat menyentuh US$ 1.200. Rekor itu belum tentu bisa kembali terjangkau dalam waktu dekat.

Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi mengakibatkan jumlah penduduk miskin semakin banyak. Sementara di awal 1996 pemerintah berhasil menekan jumlah orang miskin menjadi hanya 15,7 persen (34 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia, tiga tahun kemudian jumlah itu melonjak jadi 27,1 persen (48 juta jiwa). Pengangguran terbuka juga naik dari 4,9 persen (1996) menjadi 6,4 persen (1999). Dilihat dari tiga tolok ukur itu saja, Indonesia memang sudah "memenuhi syarat" untuk masuk ke kelompok negara miskin. Pendapatan per kapita, yang kini US$ 760, jelas berada di bawah batas pendapatan per kapita untuk kemiskinan, yang oleh Bank Dunia dipatok pada angka US$ 850.

Dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 850, Bank Dunia harus "membantu" Indonesia lagi. Berkaitan dengan itu, Bank Dunia segera memutuskan perubahan skema pinjaman kepada Indonesia dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) menjadi IDA. Dengan skema ini, Indonesia akan mendapatkan pinjaman sangat lunak (bunga nol persen), masa tenggang (grace periods) 10 tahun, dan jangka waktu pelunasan 35-40 tahun (lihat tabel).

Sebetulnya, pada November 1998, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, sudah mengajukan permintaan pinjaman dalam skema IDA ke Bank Dunia. Namun, ketika itu Deputi Presiden Bank Dunia untuk IDA memutuskan bahwa pinjaman IDA itu baru dialokasi pada tahun 2000-2002. Tak jelas mengapa harus ditunda sampai tahun depan. Penasihat senior Bank Dunia, Sarwar Lateef, membenarkan bahwa usul perubahan skema pinjaman itu memang datang dari Indonesia, dan Bank Dunia menyetujuinya—setelah melihat perekonomian Indonesia tak kunjung membaik.

Menurut Sarwar, dilihat dari pendapatan per kapita, Indonesia layak mendapat IDA. Hanya, Indonesia akan diperlakukan sebagai blend country, yakni menerima IDA tapi pinjaman IBRD tidak dihapuskan. "Di Asia, ada India dan Pakistan yang memakai skema campuran ini," kata Sarwar. Secara keseluruhan, saat ini ada 78 negara yang mendapatkan pinjaman IDA, sebagian besar di Afrika dan Asia Selatan. Pada tahun depan, Indonesia akan mendapatkan pinjaman US$ 400 juta. Jumlah itu akan mencapai US$ 1,2 miliar pada tahun 2003.

Perubahan itu kelak akan banyak membantu Indonesia karena beban pembayaran utang menjadi agak berkurang. Apalagi jika ditambah dengan penjadwalan utang luar negeri Indonesia, yang mencapai US$ 5,8 miliar, dalam pertemuan Paris Club II tahun lalu. "Ini semacam refinancing dari utang yang mahal menjadi utang yang murah, sehingga tanggungan Indonesia juga lebih ringan," kata Menteri Rizal Ramli kepada Rommy Fibri dari TEMPO. Dana tersebut akan dipakai untuk membangun infrastruktur di pedesaan dan juga untuk mengentaskan kemiskinan.

Namun, ekonom Martin Panggabean mewanti-wanti agar Indonesia hati-hati menanggapi perubahan sikap Bank Dunia tersebut. Soalnya, di dunia ini tidak ada yang gratis. Martin memperkirakan, Indonesia harus membayar kompensasi atas keringanan yang diberikan oleh lembaga keuangan multilateral itu. Dia menengarai ada kemungkinan Bank Dunia akan langsung menentukan proyek apa saja yang akan dibiayai dengan pinjaman IDA, sekaligus mengontrolnya dengan ketat. "Dulu, kita masih bisa memilih proyek apa yang akan kita bangun. Nanti pasti tidak lagi," kata Martin.

Berbekal pengalaman 21 tahun sebagai penerima pinjaman IDA (1967-1988), Indonesia seharusnya tidak sampai jadi "Pak Turut", seperti yang dikhawatirkan Martin. Juga, jangan lupa, IDA adalah pinjaman yang harus dibayar, sehingga tak ada alasan bagi para petinggi di sini untuk menerima begitu saja proyek-proyek yang disodorkan Bank Dunia. Sikap tegas yang ditunjukkan pemerintah Thailand kepada IMF, misalnya, mungkin bisa mengilhami para petinggi itu untuk berbuat serupa.

M. Taufiqurohman, IG.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Perbandingan Pinjaman IBRD dan IDA
Bunga (%) IBRD Market-based plus 75 basis point IDA Nol
Administrative Fee (%) Nol 0,75
Jangka Waktu* 15-20 35-40
Masa Tenggang* 3-5 10
(*tahun)