Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang teman yang hidup di sebuah kota yang sekuler punya sebuah gagasan yang sekuler: ia berencana membuat sebuah usaha yang ia sebutmortem.com.Dengan itu ia akan menampung percakapanjuga perdagangandi sekitar kematian.
Melalui internet, demikian katanya, kematian akan dihadapi dengan lebih tabah. Dengan membicarakan dan membahas kematian bersama orang-orang lain yang jauh dan tak dikenal, seseorang akan tahu kenyataan ini: di setiap saat, maut berdiri di sampingnya dan ia sebentar lagi akan mati. Teman saya itu melafalkan sebuah kalimat Latin yang menurut dia ia temukan di sebuah inskripsi dari abad ke-12 di Musée des Augustines, di Toulouse, Prancis: Mortem sibi instare cernerat tanquam obitus suiprescius. Ia mengatakan bahwa mortem.com berasal dari kata pertama kalimat yang tercantum di makam itu.
Saya takjub. Teman saya itu (saya tak usah sebutkan kebangsaannya) sebelumnya tak pernah bicara tentang kematian. Ia seorang yang menikmati hidup, dengan sosoknya yang jantan dan sikapnya yang selalu bisa lucu, dan sekaligus acuh tak acuh. Umurnya kini 64, tetapi ia masih tampak sehat dan tegap, dengan perut yang tidak amat menggendut. Meskipun ia merokok.
"Kamu pernah sakit yang gawat?" tanya saya. Ia ketawa. "Saya memang melakukan ini karena saya tahu sebentar lagi saya akan mati. Tapi bukan hanya itu. Saya makin sadar bahwa di bagian dunia yang makmur ini, ajal sudah jadi sesuatu yang tak pernah disaksikan dan dibicarakan secara terbuka. Kita hidup dengan sebuah pornografi tentang maut."
Ia pun berbicara dengan statistik negerinya yang jauh dari Indonesia: tentang angka kematian yang menurun, tentang makin panjangnya harapan hidup, tentang kesehatan fisik dan kegembiraan jiwa yang makin mudah didapat, tentang keamanan dan keselamatan di tempat umum dan di tempat kerja, tentang keluarga yang kian mengecil, rumah-rumah yang makin sepi. "Dunia modern telah mengusir kematian dari hidup sehari-hari," katanya. "Hampir tak ada lagi orang meninggal di tempat umum, bahkan tidak di antara keluarganya engan kata lain, di antara orang banyak. Tiap orang mati di kamar rumah sakit yang sempit itu, dengan atau tanpa perawat. Jenazahnya akan disemayamkan di rumah duka yang disewa. Berapa banyak anak-anak sekarang yang pernah menyaksikan kematian di tengah keluarga? Hampir tak ada. Mereka tak pernah tahu apa itu mati. Mereka hanya membaca sendiri, berbisik-bisik, seperti menceritakan sesuatu yang cabul."
Dan ketika kematian makin lama makin dihubungkan dengan penyakit, ajal pun menjadi sesuatu yang terkait dengan hal yang menjijikkan. Tak ada lagi keindahannya: seorang yang meninggal kehilangan harkatnya dan saat kematian tak punya lagi keagungannya di ranjang yang berbecak-becak oleh obat yang tumpah, muntahan dan darah sang bekas pasien. Dan teman saya itu pun mengutip sejarawan Philippe Ariès, yang memaparkan perkembangan sikap pada kematian dari zaman ke zaman dalam l'Homme devant la mort: "Kematian menjadi kotor, dan kemudian dimedikalisasikan."
Rupanya dari asumsi itulah ia mendirikan mortem. com. Maut harus dipercakapkan kembali, tanpa risih. Bahkan kematian harus dirayakandan untuk itu pelbagai bisnis yang menawarkan jasa dalam hal pemakaman dan sejenisnya akan bisa memasang iklan. Bersama dengan kapitalisme global, di alam saiber (cyber), kesepian yang merundung mereka yang sedikit demi sedikit mendekati ajal akan diubah menjadi sesuatu yang mengandung kebersamaan. Kematian yang konon semenjak abad ke-11 Eropa menjadi kematian "diri" akan dimasukkan kembali ke dalam pengalaman kolektif yang tak menakutkan. Mungkinkah? Mungkin, jawab teman saya. Bahkan sebelum zaman internet, antara kebersamaan dan sikap yang memandang riang kematian itu bisa terjadi: di sebuah dusun di Transylvania, di Rumania, ada sebuah kuburan yang dihiasi gambar yang kocak yang melukiskan satu adegan dalam masa lalu si mati.
Hidup dan mati tidak selamanya kocak, tentu, tapi dengan mortem.com teman itu hendak membuat kematian sebagai sesuatu yang mirip pornografi. Saya katakan kepadanya bahwa di Indonesia, usahanya tak akan ramai disambut: orang tak memerlukan internet untuk membuat maut sebagai sesuatu yang telanjang. Tiap hari kita berjumpa dan terlibat di dalamnya. Di jalan raya tiap kali seseorang retak kepalanya ditabrak atau ditembak. Di sal rumah sakit yang berjejal selalu ada kekurangan dokter dan kekurangan obat dan orang-orang pun habis dari harapan hidup. Di samping rutin yang suram itu, di Maluku saling membunuh dengan riuh rendah dan antusias. Di sekitar kita: kematian orang tua, anak-anak, yang sakit, orang-orang yang terabaikan . Kami tidak menyembunyikan kematian, kata saya. Kami tidak bisa.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo