Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu, rupiah melemah sampai mendekati 14.000 per dolar Amerika Serikat. Di lantai bursa, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga sempoyongan sampai ke tingkat 5.900 pada Kamis sore. Tiga hari sebelumnya, IHSG masih bertengger di level 6.300. Volatilitas akibat kebijakan bank sentral Amerika (The Federal Reserve), yakni menaikkan suku bunga dolar Amerika Serikat secara bertahap, tampaknya cukup mengguncang beberapa mata uang serta pasar bursa, termasuk di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tren naiknya suku bunga acuan di Amerika Serikat, tingkat keuntungan (yield) obligasi pemerintah Negeri Abang Sam ikut terkerek sampai 3 persen. Kenaikan ini ternyata cukup menarik perhatian pemain pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain dampak naiknya suku bunga rujukan Amerika Serikat, Mei-Juni merupakan periode pembayaran dividen tahunan perusahaan. Dengan porsi kepemilikan asing yang cukup berarti, jumlah dana yang akan kembali ke negara asal investor asing itu bisa jadi cukup besar. Mereka akan menukar rupiah ke dolar Amerika Serikat, lalu mengirim balik dana tersebut ke negaranya.
Tingkat impor Indonesia pun-karena dibayar dengan valuta asing-sedang meningkat seiring dengan mulai pulihnya perekonomian negara kita. Jadi permintaan akan valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat, saat ini lebih besar dibanding biasanya.
Bank Indonesia jadi sibuk menjaga nilai tukar rupiah. Namun bank sentral juga perlu menjaga kecukupan tingkat devisa negara. Itu sebabnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution baru-baru ini menganjurkan perusahaan, yang memiliki kewajiban dalam valuta asing, mengurangi risiko dengan membeli instrumen nilai lindung (currency swap).
Namun, jika volatilitas nilai rupiah terus berlangsung, pemerintah tentu akan menimbang opsi lain, misalnya dengan menaikkan suku bunga rupiah. Langkah ini diharapkan dapat menahan tren pembelian dolar Amerika agar devisa negara tidak terkuras.
Selain itu, pemerintah pasti mempertimbangkan menaikkan harga bahan bakar minyak di dalam negeri seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Ini agar konsumen lebih irit memakai kendaraan atau bepergian sehingga dapat meringankan beban impor kita. Dengan begitu, potensi membengkaknya subsidi BBM dalam anggaran pemerintah dapat dibatasi. Tentunya kenaikan harga BBM perlu dilakukan secara terukur dan bertahap agar dampak inflasi dan beban terhadap konsumen dapat dibatasi. Semua opsi ini memang tidak mudah, mengingat Pemilihan Umum 2019 kian dekat.
Presiden Joko Widodo, di awal pemerintahannya, melakukan langkah serupa. Ketika itu, subsidi BBM diturunkan agar tersedia tambahan dana untuk membangun infrastruktur. Usaha ini, yang bertahun-tahun sebelumnya lebih banyak menjadi wacana di sejumlah seminar ketimbang direalisasi, sudah mulai terlihat hasilnya.
Masalahnya, kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur tidak sedikit. Ini sebabnya, tingkat pinjaman pemerintah ataupun badan usaha milik negara, khususnya yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, terus meningkat. Perusahaan peringkat Standard & Poor's, dalam laporan terakhirnya, mulai khawatir terhadap tingginya pinjaman BUMN kita. Dengan tren naiknya bunga, tingkat dan beban pinjaman perlu dijaga agar tidak terlalu memberatkan.
Mengingat ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia, khususnya dengan eskalasi pertikaian perdagangan antara Amerika Serikat dan Cina, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan berbagai alternatif, termasuk yang tidak populer sekalipun, agar ketahanan ekonomi kita tetap terjaga. Kita perlu mencari jalan agar beban volatilitas pasar, beserta dampaknya, dapat dipikul bersama sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak.
Manggi Habir*
Kontributor Tempo
Kurs | Pekan sebelumnya |
|
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo