Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Smartfren memanfaatkan Starlink untuk operasi perusahaan-perusahaan di daerah terpencil.
Tarif Starlink lebih mahal jika dibandingkan dengan pesaingnya.
Operator seluler mendapat pesaing berat jika Starlink meraih izin Internet end point.
DULU kru kapal-kapal milik PT Asian Bulk Logistics kerap mengalami kesulitan mengakses Internet di tengah laut. Kondisi cuaca dan gelombang laut menyebabkan mereka tak bisa berkomunikasi dan melakukan aktivitas yang membutuhkan koneksi Internet. Kini, setelah PT Smartfren Telecom Tbk bekerja sama dengan Starlink, masalah itu beres. "Kru kami tetap bisa mengakses Internet dengan gangguan minimum dan bandwidth besar,” kata Group Chief Technology Officer Asian Bulk Logistics Edmund Situmorang kepada Tempo, Jumat, 22 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asian Bulk Logistics sudah lama memakai jaringan Smartfren karena ada hubungan afiliasi dengan perusahaan telekomunikasi itu. Menurut Direktur Bisnis Enterprise Smartfren Alim Gunadi, keluhan tentang cekaknya jaringan Internet di tengah laut sudah lama mengemuka. Persoalannya, dia menerangkan, dulu belum ada produk teknologi seperti Starlink yang bisa menyediakan jaringan Internet hingga ke tempat terpencil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Smartfren, lini bisnis telekomunikasi Grup Sinar Mas, memakai layanan Starlink melalui infrastruktur milik PT Telekomunikasi Satelit Indonesia atau Telkomsat. Telkomsat adalah anak perusahaan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk yang memanfaatkan satelit Starlink sebagai backhaul atau pengalur jaringan.
Menurut Alim, layanan Telkomsat dan Starlink cocok dimanfaatkan korporasi. Setidaknya, dia menambahkan, layanan ini penting untuk operasi di daerah terpencil, wilayah yang belum terkoneksi dengan kabel serat optik, serta aktivitas bergerak seperti di laut. Alim pun optimistis layanan yang disediakan Smartfren hasil kerja sama dengan Telkomsat dan Starlink memiliki pasar yang besar. "Misalnya perusahaan sumber daya alam."
Alim mengakui harga layanan ini cukup tinggi dibandingkan dengan koneksi Internet biasa. Tapi dia tak menyebutkan nilainya. "Yang menentukan harga Telkomsat," tuturnya.
Proses pemasangan perangkat Starlink di Rwanda. Dok.Starlink
Di Amerika Serikat, biaya langganan Internet Starlink memang lebih mahal dibanding layanan operator lain. Tarif pemasangan alatnya mencapai US$ 599-2.500 dengan biaya bulanan US$ 90-250 untuk Internet berkecepatan 50-300 megabit per detik (Mbps). Pesaingnya, HughesNet, mematok biaya sewa perlengkapan dan instalasi US$ 14,99 per bulan dengan biaya bulanan US$ 49,99-174,99 untuk Internet berkecepatan 15-50 Mbps. Sedangkan Viasat memasang tarif US$ 9,99 untuk sewa peralatan tiap bulan dengan biaya bulanan US$ 69,99-299,9 buat Internet berkecepatan 12-100 Mbps.
Starlink meluncur di Amerika Serikat pada November 2020. Hingga Juli lalu, ada 4.519 satelit Starlink yang mengarungi orbit rendah, sekitar 550 kilometer dari bumi. Dalam tiga tahun, Starlink menjangkau 62 negara. Tarif di setiap negara berbeda-beda. Di Malaysia, misalnya, Starlink yang beroperasi sejak Juli lalu memasang tarif 2.200 ringgit atau Rp 722 ribu per bulan dengan kecepatan pengunggahan 16-25 Mbps dan kecepatan pengunduhan 70-149 Mbps. Di Australia, tarif Internet rumahan Starlink A$ 139 atau Rp 1,3 juta per bulan.
Tarif berbeda juga berlaku di Nigeria, negara Afrika pertama yang memanfaatkan koneksi Internet Starlink. Sejak Januari lalu, warga Nigeria bisa mengakses kit Starlink yang terdiri atas terminal pengguna, tripod, dan ruter dengan biaya US$ 499. Di luar biaya perangkat, mereka mesti membayar ongkos berlangganan bulanan US$ 99. Selain biaya kit dan berlangganan, ada biaya yang terkait dengan instalasi dan pengaturan terminal sekitar US$ 200. Kalau dihitung total, dibutuhkan US$ 800 atau sekitar Rp 12,2 juta untuk mengakses Internet Starlink.
Adapun di Indonesia belum diketahui berapa tarif berlangganan Internet Starlink. Ketika dimintai konfirmasi, manajemen Telkomsat hanya mengatakan tarif yang ditawarkan bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Telkomsat menyediakan peralatan koneksi Starlink bagi perusahaan penyedia jaringan Internet atau Internet service provider yang menjadi klien mereka.
Layanan enterprise class connectivity yang disediakan Telkomsat menggunakan antena yang kualitas dan desainnya berbeda dengan layanan consumer. “Layanan enterprise menggunakan antena high performance, dengan dimensi lebih besar dan performance tinggi. Sedangkan layanan consumer menggunakan antena standar dengan dimensi lebih kecil dan performance standar,” demikian keterangan Telkomsat pada Kamis, 21 September lalu.
Manajemen Telkomsat mengatakan sampai saat ini mereka hanya menyediakan layanan untuk korporat melalui skema business-to-business. Namun tidak tertutup kemungkinan Telkomsat mengembangkan layanan lain melalui berbagai skenario bisnis.
Saat Starlink menjadi backhaul Telkomsat, operator lain boleh lega lantaran mereka tak perlu bersaing langsung di pasar retail atau dalam jaringan Internet konsumen akhir (end point). Tapi bisa lain ceritanya jika Starlink mendapatkan izin menyediakan jaringan Internet langsung kepada pengguna akhir. Masuknya Starlink ke segmen ini membuat operator seluler khawatir. “Perlu regulasi yang seimbang dari pemerintah sehingga tercipta level playing field yang sama antara Starlink dan operator yang ada,” kata Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto pada Rabu, 20 September lalu.
Kehadiran Starlink di Indonesia, menurut Henry, bisa memberikan pilihan teknologi yang dapat mendukung operator menyediakan koneksi Internet kecepatan tinggi, khususnya di wilayah pelosok. Dia menegaskan bahwa XL Axiata terbuka terhadap peluang kerja sama dengan semua pihak. “Sepanjang memberikan layanan yang lebih baik bagi pelanggan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Harga Mahal Sambungan Kencang"