Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah mengizinkan satelit telekomunikasi Starlink beroperasi di Indonesia tidak semestinya mengorbankan kedaulatan regulasi dan bisnis sektor telekomunikasi. Perlu ada pengaturan yang jelas agar kebijakan tersebut tidak mendatangkan mudarat bagi industri telekomunikasi Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memberikan hak labuh (landing rights) kepada SpaceX, perusahaan miliarder Elon Musk, pemilik Starlink, yang bekerja sama dengan PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat) sejak 2022. Dengan izin tersebut, SpaceX bisa menjual kapasitas satelitnya, antara lain kepada Telkomsat, untuk memenuhi kebutuhan pita penerus jaringan Internet dari backbone ke bagian pinggir (backhaul).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Starlink memang menawarkan teknologi canggih dengan harga murah. Satelit tersebut bisa menjangkau daerah pelosok, termasuk wilayah yang selama ini belum mendapat akses Internet dari penyedia layanan yang ada.
Sebenarnya industri telekomunikasi Indonesia telah lama menggunakan satelit. Saat ini beroperasi satelit milik Telkom dan BRI serta beberapa lainnya. Satelit itu menghubungkan satu titik di satu daerah yang belum memiliki infrastruktur fiber optik dan stasiun pemancar (base transceiver station atau BTS) dengan daerah lain.
Starlink berbeda dengan satelit-satelit yang beroperasi di Indonesia sekarang. Starlink mengorbit di tiga level ketinggian yang rendah dibanding satelit yang beroperasi di Indonesia. Jumlahnya pun lebih banyak dan bisa saja di atas langit Indonesia akan ada puluhan satelit Starlink.
Tentu dimensi teknologi satelit dengan jumlah yang banyak juga akan makin terbuka. Starlink, yang bisa berfungsi seperti BTS seluler, memiliki daya pancar jauh lebih luas sampai ke pedalaman, mengalahkan menara pemancar yang hanya menjangkau daerah dalam radius 2-3 kilometer.
Walhasil, dari sisi teknologi dan kemudahan akses, Starlink akan mematikan bisnis satelit yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, sama saja pemerintah membiarkan perusahaan yang telah berinvestasi puluhan tahun, dan taat pada regulasi, gulung tikar karena pemberian privilese tersebut.
Kekhawatiran itu bertambah karena tersiar kabar adanya permintaan Elon Musk agar Starlink bisa mengakses langsung konsumen tanpa melalui mitra lokal dengan iming-iming biaya murah. Kehadiran teknologi dengan harga murah tentu baik bagi konsumen. Tapi, sebagai regulator, pemerintah harus bijak menimbang mudarat yang akan muncul terhadap industri telekomunikasi.
Baca liputannya:
- Lobi Berliku Mendatangkan Satelit Starlink ke Indonesia
- Skema Bisnis Starlink Elon Musk Menguasai Jaringan Internet
- Bujuk-Rayu Agar Tesla Mau Berinvestasi di Indonesia
Bukan hanya itu, monopoli Starlink juga mengandung risiko aspek keamanan. Mungkin saja ada penduduk di satu daerah yang bisa sangat leluasa mengakses Internet tanpa dikendalikan pemerintah. Ini bukan soal demokrasi, hak asasi, ataupun kesetaraan untuk memperoleh akses data, melainkan masalah manajemen risiko keamanan sebuah negara, yang bila tidak dikelola dengan benar akan menjadi persoalan serius di kemudian hari.
Sudah selayaknya pemerintah mengkaji ulang pemberian hak istimewa bagi Starlink. Apalagi jika pemberian hak itu sekadar “pemanis” agar Elon Musk luluh dan bersedia membangun pabrik mobil listrik Tesla di Indonesia setelah bolak-balik pemerintah Indoensia menawarkannya. Barter itu akan menjadi harga yang tak sebanding dengan runtuhnya kedaulatan negara dalam mengatur sistem telekomunikasi dan kehancuran industri dalam negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pemanis Satelit Elon Musk"