Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GRESIK – Pembangunan fasilitas pemurnian tembaga (smelter) PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, diperkirakan bakal mengurangi potensi penerimaan negara senilai US$ 12-16 miliar-atau sekitar Rp 170-227 triliun-hingga akhir kontrak pada 2041. Meski demikian, Direktur Utama Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan pembangunan harus dilanjutkan. "Ini sudah menjadi keputusan negara," kata Tony saat memaparkan perkembangan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, Sabtu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tony menjelaskan, berkurangnya pendapatan negara itu disebabkan biaya operasional yang meningkat pada proses pemurnian tembaga dari konsentrat berkadar 95 persen menjadi logam dengan kadar 99,99 persen. Perhitungan penurunan pendapatan dilakukan dengan asumsi harga tembaga US$ 3 per pon, harga emas US$ 1.200-1.500 per ons, tanpa mempertimbangkan blok penambangan bawah tanah Kucing Liar di punggung Pegunungan Jayawijaya, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, berbeda dengan pemurnian bauksit dan nikel, proses pengolahan tembaga tidak menghasilkan nilai tambah yang besar. Sebagai perbandingan, proses pemurnian nikel meningkatkan kadar kemurnian dari 80 persen menjadi 100 persen. Pada bauksit, smelter mendongkrak kadar dari sekitar 40 persen menjadi 100 persen. "Untuk konsentrat tembaga, kadarnya sudah di atas 90 persen," ujar Tony.
Pembangunan smelter baru menjadi pekerjaan rumah Freeport Indonesia setelah rampungnya divestasi yang menjadikan pemerintah RI sebagai pemegang 51,2 persen saham perseroan lewat PT Inalum. Pemurnian tembaga di dalam negeri merupakan syarat hasil tambang bisa diekspor, pelaksanaan dari peraturan menteri sebagai turunan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Selama ini, proses pengolahan hasil tambang Freeport dilakukan oleh PT Smelting, perusahaan yang dimiliki Freeport (25 persen) bersama PT Mitsubishi Material Corporation (60,55 persen); PT Mitsubishi Corporation (9,5 persen); dan Nippon Mining and Metal Co (5 persen). Kapasitas pengolahan di Gresik ini 300 juta ton per tahun.
Adapun fasilitas pengolahan baru dibangun di Java Integrated Industrial and Port Estate, kawasan industri seluas 3.000 hektare yang dikelola anak perusahaan PT AKR Corporindo Tbk dan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) di Gresik. Pabrik Freeport akan menempati lahan seluas 100 hektare, lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Menggunakan teknologi Outotec, Finlandia, smelter berkapasitas 2 juta ton per tahun ini ditargetkan mulai produksi pada 2023.
Pembangunan fisik smelter akan dimulai tahun depan. Saat ini, pengerasan tanah sedang dilakukan karena lokasi proyek merupakan bekas rawa dengan kandungan air tinggi. Sabtu lalu, ratusan pekerja tampak sedang melakukan proses pengeringan menggunakan pipa-pipa yang dipasang horizontal dan vertikal untuk mengalirkan air. Penimbunan menggunakan tanah kemudian dilakukan di atasnya hingga mencapai ketinggian 3,5 meter di atas permukaan pantai. Menurut Tony, perseroan sejauh ini telah mengeluarkan dana hingga US$ 150 juta.
Kepastian pembiayaan pembangunan smelter juga sedang memasuki tahap akhir. Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia, Orias Petrus Moedak, mengatakan pembiayaan proyek ini melibatkan 11 bank dari dalam dan luar negeri. "Ini corporate financing, bukan project financing," ucapnya.
Dia belum dapat memaparkan detail bank yang akan membiayai proyek senilai US$ 3 miliar tersebut-sekitar Rp 43 triliun. Sebanyak delapan bank, kata dia, berasal dari Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Jepang. Sedangkan sisanya merupakan bank lokal.
Menurut dia, penandatangan kesepakatan dengan bank mungkin akan dilakukan pada akhir September mendatang. Tim penilai dari bank, kata Orias, telah meninjau lokasi proyek.
BS | AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo