Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Solar Langkanya Solar Masyarakat

Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak, industri besar ditengarai membeli solar jatah masyarakat. Solar mulai langka, Pertamina pun membatasi penyalurannya.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jupri tak henti-hentinya mengeluh. Sopir truk sampah itu sudah dua minggu ini mesti masuk antrean panjang bila hendak membeli solar. Padahal, bulan lalu, pompa bensin langganannya dekat Bantargebang, Bekasi, luber solar bahkan hingga malam. Tapi, sejak dua minggu lalu, selepas makan siang, sebilah papan bertulisan "Solar Habis" kerap nangkring di pompa bensin. Ia tancap gas ke kawasan Citeureup, Bogor, itu pun mesti antre. "Saya selalu terlambat pulang," cerita Jupri, yang saat ditemui TEMPO sedang beristirahat berikut truk kuningnya, di Lapangan Monas, Jakarta. Kesulitan mendapat solar juga diakui Tuti Anggrahaeni, Kepala Unit Perbekalan dan Pemasaran Dalam Negeri III Pertamina, yang cakupannya meliputi seluruh Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ia mengaku pusing dengan ulah para pemilik pompa bensin di Jakarta yang terus meminta tambahan jatah, terutama solar. Ia curiga, para pengusahalah penyebab kelangkaan itu. "Mereka mengambil jatah solar untuk masyarakat," katanya. Kecurigaan itu berawal dari menurunnya pengambilan solar oleh industri besar dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) alias pompa bensin, terutama di Jakarta. Sejak kenaikan harga BBM untuk industri 50 persen dari harga pasar, April lalu, pengambilan solar di depot Pertamina memang berkurang. Di Depot Plumpang, yang memasok semua industri, sebanyak 1.234 perusahaan, di Jakarta, selama April sekitar 11,75 juta liter solarnya tak terambil. Dengan harga per liter Rp 990, jumlah itu setara dengan Rp 11,63 miliar. Rupanya, menurut data Pertamina, sudah sejak awal tahun ini sebagian pengusaha menyetok solar karena rencana kenaikan harga. Beberapa agen minyak juga dicurigai mengoplos solar dengan minyak tanah, agar kebutuhan solarnya turun. Karena itulah, awal bulan lalu minyak tanah juga sempat langka di pasaran. Akibatnya, permintaan solar selama April dari semua pompa bensin Jakarta cuma 111 juta liter atau turun sekitar 4 juta liter dari bulan Maret. Penurunan itu pun belum mendekati angka normal permintaan solar di Jakarta yang 109 juta liter sebulan. Perbedaan harga solar hingga 66 persen memang jadi penyebab ulah para pengusaha itu. Tuti menjelaskan, para pengusaha itu kadang mengerahkan puluhan mobil pabrik bolak-balik ke SPBU atau membeli dengan drum, agar bisa menyedot solar bersubsidi yang cuma Rp 600 seliter. Itu pula sebabnya, pompa bensin yang dekat dengan kawasan industri seperti Pulogadung, Bekasi, atau Tangerang, selalu paling cepat kehabisan solar. Tapi yang terjadi di pelabuhan ikan Muaraangke, Jakarta, malah sebaliknya. Ternyata, telah berlabuh 235 kapal baru yang tiap hari butuh 10 ribu liter solar. Sebagian kapal berasal dari luar Jakarta yang datang karena harga ikan di Jakarta paling tinggi. Ini pun diakui Tuti, sebagian mungkin sekali diselundupkan ke kapal tanker atau kapal dengan rute internasional. Kesulitan Pertamina, armadanya tak cukup untuk mengawasi semua pompa bensin dan jalur jual-beli di laut itu. Lantas apa yang dilakukan Pertamina? Menurut Tuti, mereka tetap pada pendiriannya, hanya akan memasok solar berdasarkan jumlah permintaan harian selama enam bulan terakhir, yang dihitung sejak Oktober tahun lalu. Soal persediaan, kata Muchsin Bahar, Deputi Direktur Hilir Pertamina, "Stoknya melebihi permintaan nasional." Apalagi, menurut catatannya, realisasi permintaan solar nasional per tahun tidak akan lebih tinggi dari 5 persen dibandingkan dengan perkiraan Pertamina, yang tahun ini sekitar 21 juta kiloliter. Sedangkan kelangkaan, menurut datanya, cuma terjadi di sekitar Jabotabek. Ia menjelaskan, Pertamina sedang berusaha memegang kendali penjualan dan distribusi solar untuk menjamin rencana pengurangan subsidi BBM sebesar Rp 3,7 triliun. Jika saja permintaan solar turun terus, kemungkinan jumlah penjualan BBM yang 53 juta kiloliter tahun ini tak akan tercapai, dan pengurangan subsidi pun terimbas. I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus