Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Senin lalu, 24 Juni 2024, akan tetap melemah. "Meskipun mata uang rupiah berfluktuasi, penutupan akan berada di kisaran Rp 16.440 - Rp 16.510," ujarnya dalam analisis rutin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Jumat lalu, nilai tukar rupiah berakhir melemah di level Rp 16.450 per dolar AS, sementara hari sebelumnya berada di level Rp 16.438 per dolar AS.Ibrahim menjelaskan bahwa pasar terus mengamati ketidakpastian kebijakan fiskal yang menambah risiko fiskal. Ketidakpastian ini menjadi faktor yang berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Hal ini tercermin dari proyeksi defisit anggaran yang besar, diperkirakan mencapai 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas atas sebesar 3 persen dari PDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penguatan dolar yang menekan beberapa nilai tukar, termasuk rupiah, akan membawa dampak signifikan pada belanja subsidi pemerintah.
Pengeluaran untuk subsidi akan meningkat, terutama untuk komoditas seperti listrik dan bahan bakar minyak (BBM) yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari impor. Kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah berarti biaya impor barang-barang tersebut menjadi lebih mahal, sehingga beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah juga akan meningkat. Hal ini berpotensi menambah tekanan pada anggaran pemerintah dan memerlukan penyesuaian kebijakan untuk mengelola beban fiskal yang semakin besar.
Dalam menyusun APBN 2025 pemerintah masih menggunakan asumsi rupiah di bawah Rp 16.000, sehingga akan ada dampak bagi anggaran subsidi. “Maka nanti ada yang disebut efek rembesan dari rupiah yang bergerak ke dalam,” ujarnya dalam konferensi pers RAPBN 2025 di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin 24 Juni 2024.
Jika tidak ada perubahan kebijakan, bendahara negara mengatakan volume subsidi tetap akan ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang APBN yang menggunakan penghitungan asumsi kurs saat ini. Meski demikian ia mengakui terjadi penyimpangan atau deviasi. “Harga minyak sesuai dengan asumsi, tapi juga ada deviasi,” kata dia.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Pertamina dan PLN akan mengajukan permintaan anggaran subsidi kepada pemerintah setiap kuartal. Pemerintah akan mengikutsertakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk membantu dalam proses audit dan penghitungan.
Dalam penghitungan akan dilihat alokasi itu mempengaruhi berapa banyak dari volume yang sudah ditetapkan, khususnya di tengah perubahan harga maupun kurs yang terjadi. “Sedapat mungkin kita akan membayar sesuai keuangan negara,” ujarnya.
Untuk saat ini menurut dia, volume subsidi energi masih sesuai yang ditetapkan pada anggaran yakni Rp 300 triliun. Pemerintah masih akan terus memantau alokasi anggaran tersebut, akan memengaruhi berapa banyak dari volume yang sudah ditetapkan dengan perubahan harga maupun kurs yang terjadi saat ini.
ANANDA RIDHO SULISTYA | ILONA ESTHERINA | GRACE GANDHI | DANIEL A. FAJRI