Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Laba produsen batu bara tahun ini terancam menipis akibat anjloknya harga emas hitam. Perusahaan memutar otak untuk menjaga kinerja keuangan tetap positif.
Laba bersih Bukit Asam turun 51,41 persen dari Rp 12,56 triliun pada 2022 menjadi Rp 6,1 triliun tahun lalu.
Mengantisipasi pergerakan harga batu bara ini, PT Adaro Energy Indonesia Tbk memilih berfokus pada efisiensi operasional untuk menjaga kinerja keuangan perusahaan.
LABA SEJUMLAH produsen batu bara tahun ini terancam menipis akibat anjloknya harga emas hitam. Perusahaan memutar otak untuk menjaga kinerja keuangan tetap positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada data perdagangan Newcastle Coal Future, harga batu bara dengan kalori 6.000 turun perlahan. Pada kuartal akhir 2022, nilai rata-rata komoditas ini bisa menyentuh US$ 370,4 per metrik ton. Namun, pada kuartal terakhir 2023, harganya merosot hanya US$ 136,9 per metrik ton. Memasuki 2024, rata-rata harga batu bara terjun lagi menjadi US$ 124,2 per metrik ton pada Februari lalu.
Pergerakan harga ini yang menggerus pendapatan PT Bukit Asam Tbk sepanjang 2023. Padahal penjualan ekspor mereka mampu tumbuh 25 persen secara tahunan atau sebesar 15,6 juta ton. Di lingkup domestik pun, penjualan perusahaan mencapai 21,4 juta ton, tumbuh 12 persen pada periode tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama Bukit Asam Arsal Ismail mencatat harga batu bara kalori 5.000, yang banyak mereka produksi, meluncur dari US$ 127,8 per ton pada 2022 menjadi hanya US$ 84,8 per ton pada 2023. "Rata-rata harga batu bara ICI-3 terkoreksi sekitar 34 persen," kata Arsal, kemarin, 8 Februari 2024.
Akibatnya, hasil penjualan batu bara emiten berkode PTBA di bursa saham ini hanya Rp 37,97 triliun sepanjang 2023, turun dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 42,09 triliun. Kondisi ini membuat pendapatan perusahaan turun 9,75 persen selama periode tersebut.
Di tengah kondisi itu, perusahaan juga menghadapi kenaikan biaya operasi. Direktur Operasi dan Produksi Bukit Asam Suhedi mengatakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sedang tinggi menjadi pemicunya lantaran operasi di lapangan butuh banyak BBM. Perusahaan juga harus membayar royalti lebih besar setelah pemerintah mengeluarkan ketentuan anyar sejak September 2022.
Merujuk pada laporan keuangan perusahaan, royalti ke pemerintah naik dari Rp 3,80 triliun ke Rp 4,44 triliun. Biaya jasa penambangan melonjak dari Rp 9,57 triliun menjadi Rp 11,10 triliun. Ongkos angkutan kereta api juga meroket dari Rp 6,69 triliun ke Rp 7,95 triliun.
Paparan kinerja PT Bukit Asam di Jakarta, 8 Maret 2024. TEMPO/Vindry Florentin
Meski ada lonjakan biaya, PTBA masih menargetkan kenaikan produksi. Rencana produksi batu bara perusahaan tahun ini sebesar 41,3 juta ton. Ditambah sisa stok batu bara pada akhir 2023, perusahaan menargetkan bisa menjual 43,1 juta ton pada 2024.
Untuk menekan biaya, Suhedi mengatakan bakal melakukan efisiensi tahun ini. Salah satunya mengganti sumber energi. Kendaraan berbahan bakar minyak, misalnya, mulai diganti dengan kendaraan listrik. Perusahaan juga memanfaatkan teknologi seperti GPS untuk mengontrol pemakaian BBM. "Dulu banyak sekali kecolongan BBM, sekarang pakai GPS bisa terkontrol," tuturnya.
Dengan strategi tersebut, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Bukit Asam Farida Thamrin optimistis bisa menjaga laba tahun ini. "Jadi kita harapkan pada 2024, kalau kita pakai efisiensi biaya, walau harga turun, mungkin laba bersih bisa dijaga dengan baik," tuturnya. Laba bersih Bukit Asam turun 51,41 persen dari Rp 12,56 triliun pada 2022 menjadi Rp 6,1 triliun tahun lalu.
Proyeksi penurunan harga batu bara ini sejalan dengan estimasi Bank Dunia. Dalam laporan yang terbit pada Oktober 2023, institusi tersebut memperkirakan harga komoditas ini terkoreksi 26 persen pada 2024. Dengan catatan, konflik di Timur Tengah tak memanas.
Penurunan harga ini dipicu oleh konsumsi yang cenderung stagnan di Cina dan India serta merosotnya permintaan dari Amerika Serikat dan Eropa. Penurunan terutama datang dari sektor kelistrikan yang mulai beralih ke energi terbarukan serta gas. Sementara itu, produksi di negara penghasil emas hitam besar dunia—Cina, India, dan Indonesia—masih tinggi.
Aktivitas bongkar-muat batu bara di area pertambangan PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan. ANTARA/Prasetyo Utomo
Untuk mengantisipasi pergerakan harga batu bara ini, PT Adaro Energy Indonesia Tbk memilih berfokus pada efisiensi operasional untuk menjaga kinerja keuangan perusahaan. "Kami akan tetap berfokus pada segala sesuatu yang dapat kami kontrol," ujar Head of Corporate Communication Adaro Febriati Nadira.
Strategi ini krusial lantaran perusahaan berencana meningkatkan angka produksi menjadi 67 juta ton tahun ini dari realisasi pada 2023 yang sebesar 62,8 juta ton. Adaro menargetkan bisa menjual 65-67 juta ton batu bara.
Dari kegiatan produksi sepanjang 2023, perusahaan mengalami kenaikan beban pokok pendapatan hingga 15 persen secara tahunan. Penyebab utamanya adalah pembayaran royalti perusahaan yang naik 19 persen dari US$ 1,23 miliar menjadi US$ 1,46 miliar. Biaya penambangan dan pemrosesan juga naik akibat peningkatan volume. Adaro mencatat kenaikan 22 persen pada pengupasan lapisan penutup dan nisbah kupas 16 persen lebih tinggi dibanding pada 2022.
Dibarengi oleh berkurangnya pendapatan sebesar 20 persen secara tahunan, laba Adaro pada 2023 anjlok 34,16 persen. Perusahaan mencatat pendapatan sebesar US$ 6,51 miliar dan laba US$ 1,8 miliar.
Laba PT Indo Tambangraya Megah Tbk jatuh lebih dalam lagi akibat tren koreksi harga batu bara dan kenaikan biaya produksi sepanjang 2023. Perusahaan mencatat laba bersih US$ 500 juta pada tahun lalu, sedangkan perolehan pada 2022 mencapai US$ 1,2 miliar. Pendapatan emiten berkode ITMG ini turun 35 persen secara tahunan, sementara biaya produksi tak banyak berubah.
Lewat keterangan tertulis, perusahaan menyatakan anjloknya harga batu bara menjadi biang keladi penurunan pendapatan. Padahal volume penjualan perusahaan naik 11 persen. Perusahaan mencatat harga jual rata-rata batu bara perusahaan anjlok 41 persen dari US$ 192 per ton pada 2022 menjadi US$ 113 per ton pada 2023.
Indo Tambangraya sudah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi fluktuasi harga batu bara. "Grup dapat melakukan kontrak derivative swap batu bara untuk melindungi nilai penjualan yang akan datang terhadap fluktuasi harga batu bara dengan nilai derivatif maksimum 8 juta ton dengan jangka waktu maksimal tiga tahun," demikian pernyataan manajemen perusahaan dalam laporan keuangan mereka.
Sementara itu, PT Bumi Resources Tbk mengantisipasi koreksi harga batu bara dengan meningkatkan volume produksi. Perusahaan berencana memproduksi lebih banyak sejak 2023, yang mencapai 78 juta ton. Emiten berkode BUMI tersebut optimistis masih bisa menambah pendapatan, setidaknya tak terpaut jauh dari realisasi pada 2023. "Dengan meningkatkan efisiensi, laba juga bisa meningkat signifikan pada 2024 dibanding pada 2023," ujar Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava.
Perusahaan hingga saat ini belum merilis laporan keuangan tahun buku 2023. Namun, hingga kuartal III 2023, pendapatan Bumi Resources turun 15,78 persen dari US$ 1,39 miliar pada 2022 menjadi US$ 1,17 miliar pada 2023. Meski penjualan naik 5 persen, Dileep mengatakan, turunnya penerimaan dipicu oleh harga batu bara yang anjlok 28 persen. Di sisi lain, pembayaran royalti perusahaan naik 32 persen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo