Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memaparkan sejumlah upaya yang bisa dilakukan untuk menekan beban subsidi Bahan Bakar Minyak atau subsidi BBM demi menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai anggaran subsidi energi yang sudah digelontorkan pada tahun ini sebesar Rp 502,4 triliun adalah yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Hal tersebut pula yang dikhawatirkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyan Indrawati karena subsidi terus menggerus kas negara seiring melonjaknya harga minyak dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membengkaknya anggaran subsidi BBM, kata Fahmy, dipengaruhi oleh harga minyak dunia yang sekarang menembus US$ 100 per barel, sementara Indonesian Crude Price (ICP) yang ditetapkan di APBN itu kan US$ 63 per barel. "Selisih itulah yang kemudian harus dibayar melalui APBN untuk subsidi dan kompensasi,” katanya saat dihubungi, Jumat, 24 Juni 2022.
Meski begitu, menurut Fahmy, lonjakan subsidi energi tak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal melainkan juga karena kebijakan pemerintah yang tak konsisten. Ia menyebutkan setidaknya ada tiga cara yang bisa dijalankan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi energi.
Pertama, untuk mengurangi kompensasi, ia menyarankan agar pemerintah menyerahkan urusan penetapan harga kepada Pertamina untuk BBM jenis nonsubsidi Pertamax, Pertamax Turbo, dan di atasnya. Dengan begitu, harga BBM tersebut bisa ditetapkan sesuai dengan harga keekonomian.
“Kalo pada tahap sekarang naik, ya naikkan jenis ketiga tadi. Kalau turun, ya mestinya harus diturunkan," ujarnya.
Dengan menyerahkan keputusan pricing policy tadi ke Pertamina, menurut Fahmy, akan mengurangi kompensasi dalam jumlah yang besar. Sebab selama ini kompensasi diberikan pemerintah kepada Pertamina apabila pertamina bila menjual harga BBM di bawah harga keekonomian.
Kedua, Pertamina harus membatasi penjualan Pertalite dengan hanya mengizinkan pelanggan yang tepat sasaran untuk bisa membelinya. Namun rencana BUMN migas mewajibkan aplikasi MyPertamina demi membatasi Pertalite dinilai bakal sulit diaplikasikan di lapangan.
Sebab, kata Fahmy, Pertamina sebelumnya harus menetapkan kriteria penerima BBM bersubsidi dan hal ini akan rumit di lapangan. Apalagi penggunaan gawai dan jaringan internet di daerah--apalagi daerah terpencil--terkadang masih sulit.
Ia mengaku belum tahu persis kriteria penerima subsidi BBM dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 yang sedang dibahas. "Entah itu berdasarkan cc atau tahun kendaraan, atau harga kendaraan. Sulit sekali menentukan kriteria tadi, dan barangkali bisa beda penafsiran di lapangan,” katanya.
Ketiga, menghapus BBM jenis Premium. Saat ini Premium hanya tersedia di luar Jawa, Madura, dan Bali, tetapi jumlahnya konsumsi dan impor subsidinya masih besar.
Menurut Fahmy, jika BBM jenis Premium dihapus, subsidi dan kompensasi dalam jumlah yg besar bisa ditekan signifikan. "Sebelumnya pemerintah mewacanakan menghapus Premium, tapi sampai sekarang belum pernah dilakukan. Jadi saya kira itu yang harus dilakukan terutama oleh pemerintah,” ucapnya.
Adapun Pertamina mengklaim selama ini telah mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi sambil menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), beserta petunjuk teknis pembelian BBM jenis Pertalite.
Setelah menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) JBKP atau BBM bersubsidi, pembelian Pertalite dibatasi, khususnya pembeli jeriken yang akan diperjualbelikan kembali. “(Pertalite) Ini yang akan kita registrasi secara digital. Sehingga kita dapat melindungi masyarakat yang berhak akan subsidi,” kata Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting, Jumat, 24 Juni 2022.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta Pertamina untuk mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi setelah pemerintah menggelontorkan subsidi Rp 75 triliun untuk BBM dan elpiji. “Subsidi Rp 65,24 triliun plus kurang bayar tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun, jadi lebih dari Rp 75 triliun untuk pembayaran subsidi dan kompensasi," katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita yang digelar virtual, Kamis, 23 Juni 2022.
Pertamina diminta untuk ikut mengendalikan penerima subsidi energi karena jumlah barang subsidi yang disalurkan BUMN migas terus meningkat. Selain total subsidi BBM dan LPG yang dikeluarkan mencapai Rp 75,3 triliun lebih, Sri Mulyani juga menyoroti besarnya kompensasi harga BBM penugasan. Untuk kompensasi harga BBM penugasan Pertalite, misalnya, jumlah kompensasi saat ini melambung dan kini nilainya mencapai Rp 293,5 triliun.
EKA YUDHA SAPUTRA | HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.