MULAI bulan ini, diskriminasi harga pupuk untuk petani
non-Bimas/Innas dihapus. Urea dan SP yang bagi mereka tadinya
Rp120/kilo, sekarang diturunkan menjadi Rp 80 -- sama dengan
harga pupuk Bimas & Inmas. Jadinya hanya pupuk fosfat DAP yang
masih Rp 110 sekilo. Itu pun tanpa memandang bulu. Sementara
itu, tatacara pembeliannya pun dipersederhana. Semua petani,
pekebun, peternak dan pemelihara ikan boleh membeli pupuk di
kios-kios BUUD/KUD, pengecer lainnya atau langsung pada importir
dan penyalur. Bedanya hanya: peserta Bimas boleh membeli dengan
kredit lunak, lain-lainnya harus bayar tunai.
Apa yang mendorong keluarnya keputusan 1 Mei itu? Ada 3 alasan
dikemukakan Menteri Pertanian Toyib Hadiwijaya bulan lalu.
Pertama, untuk mengurangi subsidi pupuk bagi petani. Kedua,
mencegah kelebihan produksi Urea. Dan ketiga: terus mendobrak
kenaikan produksi berdasarkan intensifikasi karena
ekstensifikasi (padi tanah kering, pasang surut dan rice estate)
kurang bisa diandalkan.
Rp 30 Milyar
Seperti diketahui, pada akhir ]974, ketika harga pupuk impor
masih setinggi US$ 400/ton, harga Urea dan TSP untuk Bimas &
Inmas hanya Rp 40 per kg. Berarti subsidi pemerintah untuk
petani adalah Rp 126 per kilo pupuk. Sayangnya tidak
diterangkan, berapa besar subsidi itu sekarang. Namun menurut
sumber-sumber FA0, harga urea di luar negeri sekarang sudah
turun sampai $ 150 per ton, atau Rp 62,25 sekilo. Malah ada yang
lebih rendah. Berarti, subsidi dari pemerintah untuk petani
sudah minus Rp 20 sekilo. Dengan kata lain, petanilah yang
membayar subsidi pada pemerintah sebesar Rp 30 milyar setahun
untuk 1 juta ton pupuk yang dikonsumsinya. Dengan dengan
demikian, alasan pertama kiranya kurang kena
Adapun alasan kedua -- mencegah kelebihan produksi kita
tampaknya lebih kuat. Sebab menurut data Bank Pembangunan Asia
(ADB), rekening impor pupuk kita selama tahun 1974 mencapai $
830 juta. Tahun berikutnya, $ 380 juta. Jadi mengingat harga
pupuk di luar negeri yang bertengger antara $ 400-$ 500/ton maka
ditaksir impor pupuk cukup untuk persediaan 2 tahun (2,4-3 juta
ton). Sementara itu, Pusri dengan keempat reaktor pupuknya pada
tahun 1978 sudah akan menghasilkan 1,6 juta ton Urea setahun.
Belum lagi produksi pabrik pupuk Kujang yang lokasinya masih
terkatung-katung antara Jatibarang dan Cikampek, yang mulai
Januari 1979 diharapkan bisa mensuplai 570 ton Urea. Jadi tanpa
impor baru lagi, stok Urea s/d Maret 1978 "sudah akan berjumlah
3 juta ton". Demikian menurut Departemen Pertanian .
Sekarang alasan ketiga: mendorong kenaikan produksi pangan lewat
program intensifikasi. Menyangkut hal itu, team ahli FAO pernah
mengusulkan supaya seluruh persediaan pupuk yang menumpuk di
gudang pelabuhan dan gedung ketoprak dilego saja berdasarkan
harga pasaran dunia, yakni sekitar Rp 62,25 sekilo. Atau
katakanlah dinaikkan menjadi Rp 64 sekilo, yakni setaraf dengan
harga penjualan Pusri kepada pemerintah termasuk ongkos angkut
ke pelabuhan tujuan. Dengan demikian pemerintah tidak perlu
buang uang jutaan rupiah untuk membayar sewa gudang,dan pupuk
itu tidak sampai membatu. Lagi pula, menjual pupuk dengan harga
murah punya efek anti-inflatoir. Karena produksi pangan bisa
dilipatgandakan, rekening impor beras -- yang selama 2 tahun
1974-1975 sudah mencapai $ 780 juta -- bisa dihemat. Dan modal
yang tertanam dalam stok pupuk yang begitu banyak bisa terus
berputar.
Memang, meskipun itu juga tercantum dalam Repelita II, menekan
harga pupuk serendah-rendahnya bukan satu-satunya cara
mempopulerkan pemakaian pupuk. Menurut ahli pertanian Dr
Mubyarto, yang penting adalah "harga pupuk yang tetap
menguntungkan dibandingkan dengan harga beras". Dan "tata cara
yang relatif mudah untuk memperoleh pupuk tersebut". Sebab
meskipun di atas kertas harga pupuk bisa dibikin semurah kacang
goreng, sebelum sampai ke petani barang itu masin harus melewati
1001 hambatan. Dan sementara di bandar-bandar pupuk menumpuk, di
desa-desa petani menjerit lantaran tidak kebagian. Menurut FAO,
di samping soal harga yang ganda dan kredit bagi petani yang
hendaknya lebih diperingan lagi, popularisasi pupuk memang
terbentur pada tata-niaga dan prasarana penyalurannya ke petani.
Karung Plastik
Menyalurkan 1 1/2 juta ton pupuk setahun pada jutaan petani yang
sawah-sawahnya terpencar-pencar di beberapa pulau memang bukan
tugas yang mudah. Apalagi supaya pupuk itu sudah berada di
tangan petani dalam dosis yang cukup, dan pada saat yang tepat.
Itu sebabnya melalui pemerintah Pusri mendapat pinjaman Bank
Dunia untuk membeli 3 kapal pengangkut pupuk curahan 7500 ton.
Selain itu, Pusri juga akan mendapat gerbong-gerbong khusus
untuk pengangkutan pupuk. Sebab menurut pengamatan FAO, baru 40%
pupuk di Jawa diangkut dengan kereta api. Kendati demikian,
pinjaman Bank Dunia untuk kapal dan gerbong khusus Pusri itu
mengundang pertanyaan apakah itu tidak buang-buang uang saja'?
Sebab pelayaran rakyat mungkin bisa dimanfaatkan, seperti pernah
diusulkan seorang staf ahli Menteri Pertanian. Misalnya
kapal-kapal pinisi dari Sulawesi Selatan, yang sepulangnya dari
mengangkut kayu Kalimantan ke Jawa agak sulit mencari muatan.
Sementara itu gerbong kereta api pengangkut kayu jati dari Jawa
Tengah ke Klender (DKI) pulangnya-- praktis kosong. Belum lagi
gerbong-gerbong minyak yang kosong karena pengalihan angkutan
minyak dari Cilacap ke Yogya lewat pipa minyak Pertamina.
Gerbong-gerbong yang mubadir itu siapa tahu bisa didwifungsikan
atau dirombak sama sekali untuk mengangkut pupuk.
Sorotan memang sudah timbul terhadap ekspansi Pusri di luar
produksi dan pengadaan pupuk. Khususnya ketika Pusri juga mulai
membuat karung plastiknya sendiri. Maklumlah, sementara pinjaman
untuk ekspansi produsen pupuk itu begitu mudah diperoleh,
rencana pembangunan 20 ribu kios pupuk di seluruh Indonesia
sampai sekarang masih tertumbuk kekurangan dana. Padahal
gudang-gudang pupuk di pelosok-pelosok umumnya tidak memenuhi
syarat. Gudang pupuk salah satu penyalur di kabupaten Lebak,
Jawa Barat begitu jeleknya, sehingga setiap karung pupuk susut
2-3 kilo gara-gara "masuk angin" dan kehujanan. Malah pernah
terjadi, menurut Pikiran Rakyat, tiga ton pupuk lenyap tak
berbekas ketika karung-karung pupuk pada kempes kena banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini