Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Subsidi untuk siapa ?

Perbedaan harga pupuk untuk petani non bimas/inmas di hapus. tujuannya mengurangi subsidi bagi petani. kenyataannya petani membayar subsidi, karena harga pupuk di dalam negeri lebih mahal. (eb)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULAI bulan ini, diskriminasi harga pupuk untuk petani non-Bimas/Innas dihapus. Urea dan SP yang bagi mereka tadinya Rp120/kilo, sekarang diturunkan menjadi Rp 80 -- sama dengan harga pupuk Bimas & Inmas. Jadinya hanya pupuk fosfat DAP yang masih Rp 110 sekilo. Itu pun tanpa memandang bulu. Sementara itu, tatacara pembeliannya pun dipersederhana. Semua petani, pekebun, peternak dan pemelihara ikan boleh membeli pupuk di kios-kios BUUD/KUD, pengecer lainnya atau langsung pada importir dan penyalur. Bedanya hanya: peserta Bimas boleh membeli dengan kredit lunak, lain-lainnya harus bayar tunai. Apa yang mendorong keluarnya keputusan 1 Mei itu? Ada 3 alasan dikemukakan Menteri Pertanian Toyib Hadiwijaya bulan lalu. Pertama, untuk mengurangi subsidi pupuk bagi petani. Kedua, mencegah kelebihan produksi Urea. Dan ketiga: terus mendobrak kenaikan produksi berdasarkan intensifikasi karena ekstensifikasi (padi tanah kering, pasang surut dan rice estate) kurang bisa diandalkan. Rp 30 Milyar Seperti diketahui, pada akhir ]974, ketika harga pupuk impor masih setinggi US$ 400/ton, harga Urea dan TSP untuk Bimas & Inmas hanya Rp 40 per kg. Berarti subsidi pemerintah untuk petani adalah Rp 126 per kilo pupuk. Sayangnya tidak diterangkan, berapa besar subsidi itu sekarang. Namun menurut sumber-sumber FA0, harga urea di luar negeri sekarang sudah turun sampai $ 150 per ton, atau Rp 62,25 sekilo. Malah ada yang lebih rendah. Berarti, subsidi dari pemerintah untuk petani sudah minus Rp 20 sekilo. Dengan kata lain, petanilah yang membayar subsidi pada pemerintah sebesar Rp 30 milyar setahun untuk 1 juta ton pupuk yang dikonsumsinya. Dengan dengan demikian, alasan pertama kiranya kurang kena Adapun alasan kedua -- mencegah kelebihan produksi kita tampaknya lebih kuat. Sebab menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), rekening impor pupuk kita selama tahun 1974 mencapai $ 830 juta. Tahun berikutnya, $ 380 juta. Jadi mengingat harga pupuk di luar negeri yang bertengger antara $ 400-$ 500/ton maka ditaksir impor pupuk cukup untuk persediaan 2 tahun (2,4-3 juta ton). Sementara itu, Pusri dengan keempat reaktor pupuknya pada tahun 1978 sudah akan menghasilkan 1,6 juta ton Urea setahun. Belum lagi produksi pabrik pupuk Kujang yang lokasinya masih terkatung-katung antara Jatibarang dan Cikampek, yang mulai Januari 1979 diharapkan bisa mensuplai 570 ton Urea. Jadi tanpa impor baru lagi, stok Urea s/d Maret 1978 "sudah akan berjumlah 3 juta ton". Demikian menurut Departemen Pertanian . Sekarang alasan ketiga: mendorong kenaikan produksi pangan lewat program intensifikasi. Menyangkut hal itu, team ahli FAO pernah mengusulkan supaya seluruh persediaan pupuk yang menumpuk di gudang pelabuhan dan gedung ketoprak dilego saja berdasarkan harga pasaran dunia, yakni sekitar Rp 62,25 sekilo. Atau katakanlah dinaikkan menjadi Rp 64 sekilo, yakni setaraf dengan harga penjualan Pusri kepada pemerintah termasuk ongkos angkut ke pelabuhan tujuan. Dengan demikian pemerintah tidak perlu buang uang jutaan rupiah untuk membayar sewa gudang,dan pupuk itu tidak sampai membatu. Lagi pula, menjual pupuk dengan harga murah punya efek anti-inflatoir. Karena produksi pangan bisa dilipatgandakan, rekening impor beras -- yang selama 2 tahun 1974-1975 sudah mencapai $ 780 juta -- bisa dihemat. Dan modal yang tertanam dalam stok pupuk yang begitu banyak bisa terus berputar. Memang, meskipun itu juga tercantum dalam Repelita II, menekan harga pupuk serendah-rendahnya bukan satu-satunya cara mempopulerkan pemakaian pupuk. Menurut ahli pertanian Dr Mubyarto, yang penting adalah "harga pupuk yang tetap menguntungkan dibandingkan dengan harga beras". Dan "tata cara yang relatif mudah untuk memperoleh pupuk tersebut". Sebab meskipun di atas kertas harga pupuk bisa dibikin semurah kacang goreng, sebelum sampai ke petani barang itu masin harus melewati 1001 hambatan. Dan sementara di bandar-bandar pupuk menumpuk, di desa-desa petani menjerit lantaran tidak kebagian. Menurut FAO, di samping soal harga yang ganda dan kredit bagi petani yang hendaknya lebih diperingan lagi, popularisasi pupuk memang terbentur pada tata-niaga dan prasarana penyalurannya ke petani. Karung Plastik Menyalurkan 1 1/2 juta ton pupuk setahun pada jutaan petani yang sawah-sawahnya terpencar-pencar di beberapa pulau memang bukan tugas yang mudah. Apalagi supaya pupuk itu sudah berada di tangan petani dalam dosis yang cukup, dan pada saat yang tepat. Itu sebabnya melalui pemerintah Pusri mendapat pinjaman Bank Dunia untuk membeli 3 kapal pengangkut pupuk curahan 7500 ton. Selain itu, Pusri juga akan mendapat gerbong-gerbong khusus untuk pengangkutan pupuk. Sebab menurut pengamatan FAO, baru 40% pupuk di Jawa diangkut dengan kereta api. Kendati demikian, pinjaman Bank Dunia untuk kapal dan gerbong khusus Pusri itu mengundang pertanyaan apakah itu tidak buang-buang uang saja'? Sebab pelayaran rakyat mungkin bisa dimanfaatkan, seperti pernah diusulkan seorang staf ahli Menteri Pertanian. Misalnya kapal-kapal pinisi dari Sulawesi Selatan, yang sepulangnya dari mengangkut kayu Kalimantan ke Jawa agak sulit mencari muatan. Sementara itu gerbong kereta api pengangkut kayu jati dari Jawa Tengah ke Klender (DKI) pulangnya-- praktis kosong. Belum lagi gerbong-gerbong minyak yang kosong karena pengalihan angkutan minyak dari Cilacap ke Yogya lewat pipa minyak Pertamina. Gerbong-gerbong yang mubadir itu siapa tahu bisa didwifungsikan atau dirombak sama sekali untuk mengangkut pupuk. Sorotan memang sudah timbul terhadap ekspansi Pusri di luar produksi dan pengadaan pupuk. Khususnya ketika Pusri juga mulai membuat karung plastiknya sendiri. Maklumlah, sementara pinjaman untuk ekspansi produsen pupuk itu begitu mudah diperoleh, rencana pembangunan 20 ribu kios pupuk di seluruh Indonesia sampai sekarang masih tertumbuk kekurangan dana. Padahal gudang-gudang pupuk di pelosok-pelosok umumnya tidak memenuhi syarat. Gudang pupuk salah satu penyalur di kabupaten Lebak, Jawa Barat begitu jeleknya, sehingga setiap karung pupuk susut 2-3 kilo gara-gara "masuk angin" dan kehujanan. Malah pernah terjadi, menurut Pikiran Rakyat, tiga ton pupuk lenyap tak berbekas ketika karung-karung pupuk pada kempes kena banjir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus