RATUSAN ton timah menumpuk di pulau Bangka. Ratusan karyawan
diberhentikan oleh kontraktor-kontraktor PN Timah, karna
eksplorasi tidak bisa dilanjutkan. Lebih parah lagi Malaysia,
produsen timah terbesar di dunia. Sejumlah besar tambang -- yang
di sana umumnya dikelola oleh swasta -- sudah ditutup. Begitu
pula di Bolivia, penghasil timah nomer dua. Apa sebabnya?
Menurut Pran Chopra dari Bangkok Post yang melaporkan dari KL,
sebabnya merupakan kombinasi dari 3 faktor. Pertama -- seperti
dalam hal lesunya banyak bahan mentah lainnya -- resesi di
negeri-negeri industri. Kedua, pelepasan sebagian sarana
penyangga (buffer stock) timah Amerika Serikat -- konsumen
terbesar timah produksi Dunia Ketiga. Para produsen timah hanya
berhasil sedikit mengendorkan rencana AS itu, sehingga sekarang
keputusan AS untuk menjual 100 ribu ton timahnya masih
terkatung-katung di udara. Sedang faktor ketiga, adalah
menanjaknya ekspor timah RRT ke Amerika yang ditaksir melampaui
7000 ton tahun lalu. Atau lebih dari separo ekspor total IRT
yang diperkirakan antara 12-15 , ribu ton.
Tembakan Musa
Tak mengherankan kalau Malaysia yang paling keras terhempas di
atas balok-balok timahnya -- yang pertama kali melancarkan
tembakan diplomatis ke alamat Peking. Menteri Perindustrian
Dasar Bahan Mentah Malaysia, Dato Musa Hitam, telah mendesak
RRT mengurangi ekspornya "demi kepentingan kesejahteraan
negara-negara Dunia Ketiga". Tapi buat Malaysia, kecaman Dato
Musa Hitam bukan kecaman pertama ke alamat RRT. Salah seorang
pemimpin Malaysia yang terkemuka, Encik Ghafar Baba ketika turut
dalam rombongan mendiang Tun Razak ke Peking musim panas yang
lalu sudah menyentil hal itu.
Namun RRT diam saja. Bahkan ketika diundang ke sidang ITC
(International Tin Council) di London pertengahan Desember yang
lalu, tak tampak dari mereka yang hadir. Saking gemasnya, sidang
ITC itu memutuskan untuk mengirim delegasi 3 negara untuk
berunding dengan Peking. Untuk itu, permintaan untuk menerima
delegasi itu sudah disampaikan lewat Kedubes RRT di London.
Namun sampai akhir Januari, belum juga terdengar ba atau bu dari
para anak buah Mao. Makanya orang jadi bertanya-tanya, apakah
nantinya RRT akan memberikan tanggapan yang lebih positif
terhadap permintaan a/n negara-negara Dunia Ketiga itu ketimbang
permintaan negara-negara ASEAN pada Jepang agar ekspor karet
sintetis dikurangi? Menurut sementara pengamat, jawaban RRT
bakal lebih positif dari pada Jepang. Sebab RRT lebih peka
terhadap segi-segi politis dari pada hubungan ekonominya dan
sering kali mau bekerja sama guna kepentingan politis itu. Dan
mengingat anjloknya harga timah itu sebagian disebabkan oleh
permainan di antara kekuatan-kekuatan raksasa -- OPEC versus
Dunia Pertama dan RRT + AS versus produsen timah lainnya ,
bantuan satu negara raksasa jugalah yang dapat menaikkannya
kembali.
ITC Impoten
Berapa besar potensi timah RRT? Cadangan timahnya, diduga
sekitar 1,5 juta ton. Produksinya diduga sekitar 20 ribu ton
setahun. Potensi itu baru mulai diolah berdasarkan perjanjian
pembagian kerjasama ekonomi antara RRT dan Uni Soviet -- ketika
hubungan antara kedua negara komunis itu masih mesra. Ketika
hubungan memanas, RRT baru mengekspor 100 ton setahun sampai
awal 1970-an. Dua tahun berikutnya ekspor timahnya naik 10 x
menjadi 1000 ton, lantas naik 10 x lagi dalam 21 tahun
berikutnya. RRT juga ikut menikmati lonjakan timah seperti
halnya sejumlah komoditi lainnya. Bukan hanya dalam hal
kwantitas, tapi juga dalam harganya. Harga timah RRT pertengahan
1974 naik sampai 50% di atas harga lantai ITC ($ AS 300 atau $ M
900/pikul).
Sekarang ini, orang-orang di KL menaksir harga jual timah RRT
itu 5 sampai 10% di bawah harga lantai ITC, walaupun itu
disangkal oleh importir-importir New York. Memang agak aneh
bahwa importir-importir New York itu terus memborong timah RRT
walaupun cadangan resmi timah milik pemerintah AS sedang dilepas
ke pasaran. Untuk memecahkan keruwetan gara-gara persekongkolan
antara produsen Cina dan konsumen Amerika itu, RRT mau diundang
lagi ke Konferensi Timah Internasional bulan Juli yang akan
datang. Sebab merosotnya ekspor timah anggota-anggota ITC yang
tinggal 3000 ton saja dalam kwartal pertama tahun ini
dibandingkan dengan kwartal terakhir 1975 -- sementara ekspor
RRT beberapa kali lipat jumlah itu -- memang sudah keterlaluan.
Dan membuat ITC praktis impoten dalam pengendalian harga.
Sementara itu, Malaysia sedang menghadapi ancaman lain pula.
Birma, yang resminya diketahui hanya mengekspor 600 ton timah
setahun, diam-diam telah membocorkan timahnya ke
peleburan-peleburan Malaysia. Birma sendiri bukan anggota ITC,
namun timahnya bocor ke Malaysia lewat Muangthai yang justru
anggota ITC pula. Berarti satu kebocoran tambahan bagi ITC.
Makanya Birma pun mau diminta jadi anggota ITC, dan menghadiri
Konferensi Timah Internasional ke-5 nanti. Namun apakah RRT dan
Birma mau menghadiri konferensi itu, masih jadi tanda tanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini