Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nilai surplus neraca dagang berisiko turun.
Pemerintah perlu meningkatkan ekspor untuk mempertahankan surplus neraca dagang.
Diversifikasi produk dan pasar menjadi kunci meningkatkan performa ekspor.
SUDAH 53 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus. Rekor ini berpotensi berlanjut hingga akhir tahun. Namun sejumlah ahli menyoroti kualitas surplus tersebut.
Pada periode awal surplus yang terjadi mulai Mei 2020, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mencatat surplus terjadi karena kinerja impor yang anjlok, lebih dalam dibanding pelemahan ekspor. Surplus yang terjadi di tengah kondisi tersebut, menurut Faisal, tak sehat. Idealnya, surplus ditopang pertumbuhan ekspor.
Kondisi ideal ini yang terjadi pada 2021-2022. Saat itu pandemi mendorong kenaikan harga komoditas. Indonesia yang mengandalkan komoditas untuk ekspor ketiban untung. "Surplus kita sehat saat itu karena didorong ekspor yang lebih tinggi dibanding impor," tuturnya, Selasa, 29 Oktober 2024.
Namun harga komoditas mulai melemah menjelang akhir 2022 hingga memasuki 2023. Kinerja ekspor perlahan melambat. Surplus neraca perdagangan masih terjadi karena kontraksi pada impor lebih tajam. Nilai surplus akibatnya perlahan berkurang.
Kondisi serupa masih terjadi pada 2024. Faisal memperkirakan, hingga akhir tahun, surplus neraca dagang mungkin terjadi, tapi nilainya berpotensi makin tipis.
Tahun ini, sepanjang Januari-September, nilai surplus neraca dagang Indonesia mencapai US$ 21,98 miliar. Nilainya naik tipis, hanya 0,39 persen, dibanding periode yang sama tahun lalu.
Per September, nilai surplus neraca dagang sebesar US$ 3,26 miliar. Pada bulan tersebut, total ekspor mencapai US$ 22,08 miliar, turun 5,80 persen dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan impor sebesar US$ 18,82 miliar atau turun 8,91 persen dibanding bulan sebelumnya.
Faisal menyoroti pelemahan impor disebabkan oleh impor bahan baku dan penolong yang anjlok hingga 9,69 persen, barang modal turun 7,15 persen, dan barang konsumsi turun 4,53 persen. Melansir pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 18 Oktober 2024, kinerja ini berkaitan dengan kondisi manufaktur yang sedang melemah. "Penurunan impor seiring dengan indikator Purchasing Managers' Index Indonesia periode September 2024 yang masih berada di zona kontraktif sebesar 49,2," tuturnya.
Faisal menyatakan pemerintah perlu membenahi industri manufaktur untuk mendukung neraca perdagangan. Indonesia yang terlalu bergantung pada komoditas sudah waktunya punya produk manufaktur bernilai tambah lebih tinggi sebagai andalan ekspor. Selain menentukan produk yang bakal didorong ke depan, pemerintah dinilai perlu cermat memilah pasar. "Kita harus mengurangi ketergantungan pada negara tujuan ekspor tradisional, seperti Cina dan Amerika Serikat, yang ekonominya sedang melemah," kata Faisal.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Latif Adam menyuarakan hal yang sama: Indonesia perlu diversifikasi pasar. Dia mencatat lebih dari 50 persen ekspor Indonesia terkonsentrasi pada empat negara saja, yaitu Cina, Amerika Serikat, India, dan Jepang. Selain Jepang, negara tujuan ekspor utama Indonesia tengah mengalami pelemahan ekonomi. Kondisi ini bisa mempengaruhi permintaan mereka terhadap produk Indonesia.
Menurut Latif, rencana Indonesia bergabung dengan BRICS bisa menjadi salah satu solusi. BRICS merupakan aliansi negara-negara ekonomi berkembang yang didirikan oleh Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Saat ini ada 13 negara yang terdaftar sebagai anggota. "Tapi jangan lupa, mereka juga punya pemikiran yang sama, melihat Indonesia sebagai pasar yang besar," tutur Latif. Itu sebabnya pemerintah perlu dengan cermat memilah produk dan mitra dagang untuk memastikan kerja sama lewat BRICS ini bisa menguntungkan Indonesia.
Latif menambahkan, pencarian pasar baru makin mendesak dengan makin banyaknya negara yang makin protektif terhadap perdagangan mereka. Indonesia dinilai perlu menambah perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral dengan tetap berhati-hati memastikan neraca dagang dengan mitra tak defisit di kemudian hari.
Hal yang juga tak kalah penting adalah mengelola kebijakan moneter di dalam negeri. Pasalnya, kinerja ekspor dan impor sangat bergantung pada stabilitas nilai tukar serta inflasi global.
Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto menilai pasar Asia sebenarnya bisa menjadi pilihan buat Indonesia. Di Asia Tenggara pun pertumbuhan ekonomi negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia cukup potensial dari sisi permintaan. "Beberapa negara di Timur Tengah juga dengan segala macam konfliknya bisa jadi peluang," tuturnya.
Eko ikut menyoroti juga soal pentingnya dukungan bagi industri manufaktur di dalam negeri. Dengan pertumbuhan industri inilah Indonesia bisa memiliki produk ekspor bernilai tinggi. Jika industri lemah, kinerja ekspor sulit didorong. "Harus didukung industri berorientasi ekspor ini, terutama untuk mempertahankan posisi di global, misalnya dengan memberi insentif fiskal."
Pemerintah meyakini surplus neraca dagang masih bisa dipertahankan hingga akhir 2024. Optimisme ini datang dari data terakhir surplus perdagangan di September yang mencapai nilai tertinggi dalam enam bulan terakhir. Tren kenaikan surplus pun terlihat sejak publikasi neraca perdagangan periode Juli 2024.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan Kemenko Ekonomi Ferry Irawan, surplus masih akan ditopang oleh kinerja ekspor seiring dengan masih meningkatnya harga beberapa produk ekspor unggulan Indonesia sejak awal tahun, seperti batu bara, kelapa sawit, karet, tembaga, dan timah. "Tren pelonggaran kebijakan moneter di berbagai negara dapat turut menopang perekonomian mitra dagang utama Indonesia sehingga dapat turut mendukung kinerja ekspor," katanya.
Dia membenarkan bahwa perlu ada upaya untuk kembali mendorong kinerja ekspor. Namun tugas ini penuh tantangan. Pasalnya, performa ekspor tidak terlepas dari kondisi perekonomian dunia yang mempengaruhi penyerapan produk ekspor Indonesia. "Rendahnya pertumbuhan ekonomi beberapa mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok, Amerika, dan Jepang, serta turunnya harga beberapa produk komoditas ekspor utama Indonesia sejak awal tahun, seperti gas, nikel, dan bijih besi, memang cukup membebani performa ekspor nasional," kata Ferry.
Diversifikasi produk menjadi salah satu strategi pemerintah. Ferry menyatakan pemerintah berupaya tak hanya mengandalkan komoditas primer, seperti batu bara, kelapa sawit, besi, dan baja, tapi juga barang-barang manufaktur seperti kendaraan bermotor dan peralatan elektronik.
Industri manufaktur saat ini sedang terkontraksi. Namun ia meyakini kondisi manufaktur Indonesia akan membaik. Ferry merujuk pada business expectation atas future output/activity yang meningkat dari 74,2 pada Agustus ke 76,0 pada September 2024. Perbaikan kondisi sektor manufaktur juga terlihat dari kenaikan indikator output, pesanan baru, dan jumlah tenaga kerja.
Menurut dia, pemerintah berupaya meningkatkan industri manufaktur melalui sejumlah cara, seperti peningkatan kemudahan berbisnis, implementasi making Indonesia 4.0, serta revitalisasi industri berbasis riset dan pengembangan. "Kami juga melakukan penguatan dan pendalaman struktur industri, menjaga daya saing dari produk impor, kebijakan pajak, serta mendorong hilirisasi, semikonduktor, industri bioteknologi, dan data center," kata Ferry.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo