Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik semestinya datang ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Jero diagendakan bertemu dengan Komisi Energi DPR untuk memutuskan kebijakan mengenai bahan bakar minyak bersubsidi tahun 2012. Tapi mendadak rapat dibatalkan. Jero minta pertemuan ditunda menjadi Senin pekan ini. "Alasannya enggak jelas," kata Wakil Ketua Komisi Energi Effendi Simbolon.
Sumber Tempo di Kementerian mengatakan rapat dengan Dewan ditunda karena pemerintah masih menyiapkan bahan. Informasi senada diterima Bobby Adhityo Rizaldi, anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Golkar. Hingga akhir pekan lalu, rapat-rapat digelar intensif untuk mengonkretkan kebijakan pembatasan konsumsi Premium bersubsidi, termasuk teknis pelaksanaan dan pengawasannya.
Tinggal tersisa dua bulan bagi pemerintah menuju 1 April. Pada tanggal itu, pembatasan konsumsi Premium untuk kendaraan roda empat milik pribadi mulai berlaku di Jawa-Bali. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Pasal 7 ayat 4 mengatur pengendalian anggaran subsidi bensin tahun ini, yang akan dilakukan melalui pengalokasian tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi.
Persoalannya, masih banyak kendala dalam menjalankan aturan pembatasan bahan bakar minyak. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi, Rabu dua pekan lalu, mengatakan belum siap melaksanakan kebijakan pembatasan bensin bersubsidi. Karen menjelaskan, saat ini, di Jawa-Bali terdapat 3.062 stasiun pompa bensin. Dari jumlah itu, baru sekitar 2.080 stasiun yang memiliki infrastruktur untuk menjual Pertamax.
Pembatasan konsumsi dilakukan untuk menghemat anggaran negara. Tahun lalu, kantong pemerintah jebol gara-gara subsidi bensin membengkak. Realisasi penggunaan bensin bersubsidi mencapai 103,3 persen dari jatah 40 juta kiloliter. Kementerian Keuangan mencatat, subsidi bahan bakar minyak yang dikeluarkan tahun lalu sebesar Rp 165,2 triliun atau 127,4 persen, melebihi anggaran yang ditetapkan—Rp 129,7 triliun.
Karena itu, program penghematan diluncurkan. Masih di Pasal 7, alokasi anggaran untuk subsidi tahun ini ditekan menjadi Rp 123.599 triliun untuk menyediakan bensin sebanyak 40 juta kiloliter. Tapi anggaran untuk 2,5 juta kiloliter Premium tidak akan dicairkan serta-merta. Pemerintah akan mengevaluasi realisasi pemakaian melalui APBN Perubahan 2012.
Namun Effendi Simbolon menggugat keberadaan "pasal penghematan" itu. Komisi Energi, menurut dia, tidak merekomendasikan poin tersebut. "Cek notulensi rapat," katanya. Effendi menduga pasal itu lahir dalam pembahasan di Komisi Keuangan dan Perbankan atau di Badan Anggaran.
Wakil Ketua Komisi Keuangan Harry Azhar Azis tidak membantah adanya pasal yang muncul pada proses pembahasan. Tapi, ia menjelaskan, tidak ada masalah dengan pasal tersebut. Persoalan anggaran subsidi bahan bakar minyak bukan cuma kewenangan Komisi Energi, tapi juga wewenang Komisi Keuangan dan Badan Anggaran.
Dalam pidato penyampaian Nota Keuangan, Agustus tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan kebijakan penataan ulang sistem penyaluran subsidi. Undang-Undang APBN 2012 Pasal 7 ayat 6 pun menyebutkan, "Harga jual eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan." Sebagai solusi, dilemparlah alternatif pembatasan konsumsi.
Pada 2010, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas pernah membuat kajian bersama Universitas Indonesia dan Lembaga Minyak dan Gas atas beberapa alternatif skenario pembatasan konsumsi. Misalnya berdasarkan kapasitas mesin (cc), tahun keluar kendaraan, atau peruntukannya (kendaraan umum atau pribadi). Dua tahun sebelumnya, skenario serupa mengemuka, tapi tak ada tindak lanjut.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi melontarkan pula ide klusterisasi. Dalam sistem ini, Pertamina dianjurkan menjual bensin nonsubsidi lebih banyak di kawasan yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, misalnya daerah elite di Jakarta atau kota besar lain. Tapi Premium tetap tersedia dengan volume dikurangi. Kiat ini diyakini akan mendorong masyarakat beralih memakai Pertamax atau Pertamax Plus.
Akhir 2010, Komisi Energi DPR dan pemerintah sepakat, kebijakan pembatasan dimulai pada akhir kuartal pertama 2011. Beberapa persiapan dilakukan. Angkutan kota M-01 rute Kampung Melayu-Pasar Senen menjadi proyek uji coba. Ratusan unit armada jenis ini—ditempeli stiker khusus—hanya boleh mengisi Premium di empat stasiun bensin yang ditunjuk.
Awal Januari 2011, pemerintah menunjuk Anggito Abimanyu sebagai Ketua Tim Pengawasan Kebijakan Pembatasan BBM Subsidi. Tim ini meliputi tiga perguruan tinggi, yakni Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia. Tugasnya mengkaji dampak-dampak pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi.
Tiga bulan berikutnya, tim itu menyampaikan tiga opsi. Pertama, menaikkan harga Premium Rp 500 per liter. Khusus angkutan umum diberi cash back, sehingga riilnya angkutan umum tidak terkena kenaikan. Sebaliknya, kendaraan bermotor roda dua dan mobil pribadi harus membayar lebih mahal.
Kedua, perpindahan konsumsi kendaraan pribadi dari Premium ke Pertamax. Sebagai "insentif", harga di level atas dibatasi alias capping, misalnya pada angka Rp 8.000 per liter. Diperkirakan, dari alternatif ini, bisa dihemat tiga juta kiloliter. Ketiga, harga Premium dinaikkan Rp 1.000 per liter, disertai sistem penjatahan subsidi kepada angkutan umum dan sepeda motor. Tim merekomendasikan, ketiga opsi dikombinasikan. Namun, untuk jangka panjang, diusulkan sistem penjatahan. Dengan demikian, pemerintah dapat memenuhi target subsidi.
Delapan bulan berlalu, tapi tak ada tanggapan pemerintah atas rekomendasi tersebut. Pada November 2011, Wakil Menteri Widjajono Partowidagdo menyampaikan usul menaikkan harga Premium bersubsidi Rp 1.000 per liter, sehingga menjadi Rp 5.500. Alternatif itu ditujukan bagi pemilik mobil pribadi kelas menengah yang keberatan membeli Pertamax. Pernyataan itu sempat menggegerkan. Menteri Jero buru-buru meralat: tidak ada kenaikan harga bensin sampai akhir 2011.
Walhasil, membicarakan kenaikan harga bahan bakar minyak seperti terlarang bagi birokrat. Padahal opsi tersebut sebenarnya terbuka akhir tahun lalu berdasarkan Undang-Undang APBN Perubahan 2011 Pasal 7 nomor 4. Syaratnya, rata-rata harga minyak mentah Indonesia lebih dari 10 persen dari harga yang ditetapkan dalam asumsi makro. Kedua, kuota telah habis. Peluang lain, di pengujung tahun itu tak ada tekanan inflasi. Sementara itu, bayang-bayang kenaikan harga minyak dunia karena ketegangan antara Amerika dan Iran di Teluk Persia semakin kuat. Tapi lagi-lagi akhir tahun berlalu tanpa ada keputusan tegas.
Sampailah Kamis pekan lalu. Menteri Jero tiba-tiba kembali menyampaikan opsi kenaikan harga bahan bakar minyak. Ia merujuk pada hasil survei yang menyatakan 51,3 persen masyarakat memilih kenaikan harga Premium bersubsidi ketimbang harus beralih ke Pertamax (14 persen) atau menggunakan bahan bakar gas (8,8 persen). Jero mengatakan rakyat menginginkan kenaikan, "Masak, pemerintah memberikan yang lain."
Bagi pemerintah, menurut Jero, beralih menggunakan gas adalah pilihan paling hemat dan murah. Tapi proses yang ribet rupanya membuat publik ogah berpaling ke energi ramah lingkungan tersebut. "Kalau rakyat menghendaki kenaikan harga Premium, kami akan mempertimbangkannya sangat matang," kata Jero. Bila kali ini dia serius, pemerintah mesti segera mengajukan APBN perubahan agar tak menabrak larangan kenaikan harga.
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo