Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Barangkali Semua Itu Hanya ...

Berita pemeriksaan kegadisan terhadap para siswi beberapa sla dan sekolah perawat di Ja-bar mengejutkan banyak orang. Tanggapan muncul dimana-mana. Departemen P Dan K diminta turun tangan. (pdk)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH ledakan terjadi di harian Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung. Tanggalnya ialah 12 Nopember yang lalu. "Di sebuah kota kabupaten di Jawa Barat puluhan siswi SLA dinyatakan bukan gadis lagi," tulis koran tersebut. Diberitakan sebuah tim gabungan dari Bandung dan daerah setempat telah mengadakan pemeriksaan ketat terhadap 4 buah SLA. Hasilnya: 79 orang ternyata bukan perawan lagi. "Jumlah yang pasti masih dalam perhitungan, karena banyak siswi yang lolos dari pemeriksaan." demikian PR. Menurut koran itu pula, para siswi yang diperiksa dipanggil satu persatu ke ruang "GC" (Bimbingan & Penyuluhan) yang dijaga oleh beberapa petugas kepolisian. Toh masih ada yang bisa lolos karena telah mengetahui jauh sebelum pemeriksaan itu dilakukan. Tindakan yang diambil oleh sekolah-sekolah yang berkepentingan, menurut laporan PR, sangat tegas. Seorang kepala sekolah SLA kemudian mengeluarkan tiga orang siswinya. Alasan diketahui mereka berbadan dua. Bagaimana nasib para siswi yang tidak hamil tetapi dinyatakan oleh tim pemeriksa sudah tidak gadis lagi? Masih dalam pertimbangan. "Tetapi ada SLA yang secara drastis memecat siswinya, baik yang telah berbadan dua maupun yang bukan gadis lagi, tulis PR pula. Sebelum bom berita itu dilepaskan, PR sebenarnya sudah menurunkan kabar misterius pada Senin, 23 Oktober. Disebutkan 67 orang Siswi PKE & PKC (Penyenang Kesehatan) Rumah Sakit Tasikmalaya, sedang mengalami pemeriksaan "kegadisan ". Bidan Rossy, salah seorang guru yang berusia 30 tahun pada pendidikan itu, memimpin operasi "tilang" tersebut. Hasil pemeriksaan? Hanya diketahui oleh bidan Rossy. Diperkirakan sekitar 20 orang belum sempat dijamah, karena di antara para siswi itu ada yang sedang "Cuti" -- datang bulan. Peranan bidan Rossy dimulai dengan datangnya sebuah surat kaleng ke haribaan para siswi dan guru. Surat itu ditulis oleh orang yang mengaku bernama Rusmana, alamat Panumbangan. Isinya mengutarakan ikhwal para siswi yang sering kencan dengan pacarnya di luar asrama, dan diduga terlibat "hubungan gelap". Rusmana mengharapkan adanya pengawasan yang lebih ketat. khususnya malam hari. Surat itu sempat menggetarkan saraf para guru. Para siswi dikumpulkan, lalu ditanyai siapa yang sudah melakukan hubungan gelap. Tentu saja tidak ada yang mengaku. "Akhirnya staf pengajar mengambil inisiatip yang didukung oleh beberapa siswi agar kegadisan mereka diperiksa," tulis PR. Sumber PR di Tasikmalaya melaporkan juga ada beberapa siswi di luar asrama yang sering keluar malam. Tetapi apakah di antaranya memang ada yang tidak utuh lagi tidak sempat dikabarkan. Proses penilangan itu sendiri sudah menimbulkan heboh. Para siswi tersinggung dan malu. Para dokter setempat menyatakan pemeriksaan bidan Rossy menyalahi aturan, karena pemeriksaan kegadisan harus dilakukan oleh seorang ahli. Yang lain menyayangkan kenapa surat kaleng itu ditanggapi serius. "Mungkin saja surat kaleng itu bermotipkan cemburu," ujar dokter itu. Tindakan yang diambil oleh bidan Rossy tidak menimbulkan tanggapan yang serius. Barangkali orang merasa cukup untuk menggeleng-gelengkan kepala saja. Tetapi berita PR tanggal 12 Nopember tentang adanya tim yang memeriksa keperawanan di Jawa Barat, berhasil bikin geger. Pada tanggal 22 Nopember, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menulis surat kepada Menteri P&K Republik Indonesia yang berisi 4 pasal. PGRI menyatakan pemeriksaan medis tentang kegadisan siswi secara paksa, bukan saja tak punya dasar hukum, tetapi juga sewenang-wenang dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Pemeriksaan itu dihubungkannya dengan perihal "Kejahatan melanggar kesusilaan" yang diatur dalam Bab XIV KUH Pidana. Perbuatan macam itu dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, di samping juga menyesatkan. Karena seakan-akan menganggap para gadis sudah ternoda. Pada akhir suratnya PGRI menekankan pertanyaan apakah Departemen P&K sudah mengadakan penelitian, sejauh mana kebenaran berita tersebut. Mereka juga ingin tahu langkah-langkah apa saja yang sudah diambil. Mereka menganggap soal itu sangat penting karena menyangkut "dunia pendidikan dan hak-hak asasi." Yang menarik adalah bahwa Kantor Wilayah Departemen P&K Jawa Barat dan Dinas Kesehatan Kotamadya Bandung menyatakan tidak tahu apa-apa. Mereka membaca berita dalam PR, tetapi mereka tidak tahu menahu apa yang disebut "Team Peneliti Kegadisan" yang beroperasi di kabupaten mereka. Adapun pihak Departemen P&K tidak berdiam diri. Bahkan konon guntingan koran PR ditelaah sendiri oleh Menteri Daoed Joesoef, sewaktu ia di Paris untuk sidang UNESCO. Dep. P&K pun mencoba mengikuti jejak tim peneliti kegadisan yang misterius itu. Tetapi sampai berita ini diturunkan belum menemukan hasil. Habis mereka juga mencoba pasang kuping lewat Kanwil P&K Ja-Bar yang tidak tahu-menahu. Lantas dibentuk lagi tim melalui jalur tak resmi, menyelusup kota-kota yang dikira jadi sarang tim yang nakal itu. Tetapi sayang, sekali lagi, hasilnya masih nol. "Yang jelas, kegiatan semacam itu, kalau benar terjadi, tidak ada kaitannya dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta tidak sepengetahuan Departemen P&K," kata Menteri P&K Daoed Joesoef kepada TEMPO. Menteri kita ini selanjutnya menjelaskan bahwa tim sudah dikirim dan terus bekerja -- meskipun hasilnya masih nol. "Bagi Departemen P&K, yang penting bukan hanya faktanya," ujarnya, "melainkan harus mengambil tindakan, karena masalah ini mempunyai kaitan yang panjang." Menteri juga mengutarakan dalam mengambil tindakan dipakai taktik, jangan serampangan dan jangan mengatakan tindakan apa yang akan diambil. Karena menurut analisanya, kalau si pelaku sampai mencium tindakan apa yang akan diambil, ia pasti akan menghapus jejaknya. "Akibatnya, penelitian bertambah sulit," kata Menteri sambil berjanji akan segera memberitahukan sikap dan tindakannya, apabila laporan timnya sudah diterima semua. Dalam hal adanya kaitan panjang yang menguntit ikhwal "tim peneliti kegadisan", Menteri memang benar. Soal itu ternyata tidak hanya jadi bahan surat-suratan PGRI-P&K-Kanwil P&K Ja-Bar. Banyak pembaca surat kabar ikut bertanya-tanya. Di antaranya ada seorang dokter bernama Ramelan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dokter ini menulis surat pembaca di harian Kompas, 28 Nopember yang lalu. Isi suratnya seperti mewakili isi hati banyak orang. Di samping itu ia memberikan sedikit penerangan mengenai soal keperawanan yang ternyata tidak segampang yang diduga banyak orang. "Keperawanan dan ketidak-perawanan pada seseorang, secara kedokteran sulit kalau tidak bisa dikatakan sulit sekali dibuktikan," kata suratnya. Dr. Ramelan mengungkapkan bahwa keperawanan bila diukur lewat selaput dara (men) tidak menjamin kepastian. Soalnya pecahnya selaput dara dipengaruhi oleh banyak hal. Seorang pelari gawang atau peloncat puteri misalnya, menurut dr. Ramelan, mungkin sekali memiliki selaput dara yang cidera, karena kegiatan jasmaninya sendiri -- bukan karena hubungan kelamin. Ramelan, dokter UI ini, kemudian mengajukan sebuah pertanyaan kepada Departemen P&K. Soalnya hasil pemeriksaan keperawanan itu dihubungkan dengan status mereka sebagai pelajar. Yakni siswi akan ditendang keluar sekolah manakala terbukti tidak perawan lagi. "Benarkah ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa siswi yang tidak atau bukan perawan tidak boleh melanjutkan sekolahnya?" tanya Ramelan. Sementara itu kepada sekolah yang ingin mengadakan penelitian keperawanan ia juga kirim pertanyaan: "Apakah para siswi yang karena banyak faktor, tidak mau diperiksa, akan dinyatakan tidak perawan, padahal mereka sebenarnya masih perawan ting-ting?" Selain surat pembaca, di Bandung sendiri Fakultas Hukum Unpad sempat mengadakan diskusi awal Desember ini dengan pokok: "Pemeriksaan selaput kegadisan secara massal." Di sana, sebagai mana dilaporkan Sinar Harapan 4 Desember, berbicara antara lain Achmad Soemapradja SH, ketua Lembaga Bantuan Hukum Unpad. Ia tidak membenarkan adanya pemeriksaan selaput kegadisan secara massal dari sudut hukum maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. "Tidak ada sebuah pasal hukum pidana pun yang melarang seseorang untuk tidak gadis lagi," kata ahli ini. John Nimpuno, sarjana psikologi dari Unpad menambahkan bahwa kegadisan sebagai suatu kata tidak memiliki arti apa-apa, karena hanya masyarakatlah yang memberinya nilai. Ia menerangkan bahwa di zaman modern ini, kalau keperawanan diukur dari keutuhan selaput dara, maka seseorang yang tidak gadis lagi dimungkinkan jadi perawan kembali. Bagaimana? "Dengan operasi plastik," kata John Nimpuno. Dr. F.A. Moeloek, ahli kandungan di Klinik Raden Saleh Jakarta, lebih lanjut menjelaskan bahwa selaput dara mempunyai berbagai bentuk. Sifatnya beraneka ragam. Jadi sebuah tim belum tentu akan dapat menelaahnya secara telak. "Yang bisa membuktikan apakah seorang masih perawan atau tidak adalah wanita itu sendiri," kata Moeloek yang dikenal juga sebagai penjawab surat-surat sekitar masalah itu di majalah Ayah Bunda. "Pemeriksaan itu sia-sia,' ujarnya sengit. "Pemeriksaan itu sepeti menghitung berapa kulit kacang di jalan. Kalau sudah tahu lalu mau apa?" Rosita S. Noer, seorang dokter wanita lulusan UI 1971, membaca adanya tim peneliti itu, teringat kepada penelitian penyakit kelamin di antara remaja. Sempat dilakukan beberapa waktu berselang di Bandung. Tetapi penelitian tidak disertai akibat langsung kepada para remaja yang diteliti, tidak ada hukuman pemecatan dari sekolah. Pemerintah mempergunakan hasil penelitian itu untuk mengetahui tindakan apa yang akan diambil. Rosita yang menjabat Presiden Direktur PT Indra Perdana dan beberapa perusahaan ekspor-impor -- jadi dia di sini bicara lebih sebagai wanita -- menganggap penelitian di Jawa Barat itu aneh. Ia malah melihat seharusnya sebelum diadakan penelitian, para pendidik sendiri introspeksi, apakah mereka sudah memberikan bekal yang baik pada para Siswinya. Sampai pada tindakan pemecatan terhadap siswi yang dinyatakan tidak perawan lagi, wanita ini langsung berkata: "Tindakan itu secara manusiawi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan -- Panca Sila." Dr. Soerjono Soekanto, seorang ahli juga sosiologi hukum dari Ul, menyatakan bahwa ada hal penting yang harus dipenuhi oleh tim peneliti keperawanan itu. Soerjono membedakan penelitian itu dengan interogasi yang dilakukan oleh polisi. Sebagai konsekwensinya, mengumumkan hasil penelitian itu juga punya norma sendiri. Hanya mungkin dipublikasikan dalam hal tertentu dan tempat tertentu -- misalnya di majalah ilmiah yang pembacanya terbatas. "Penelitian keperawanan di Jawa Barat merupakan kejahatan merusak kehormatan orang lain" kata Soerjono Sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat angkat suara juga. Hakim J.Z. Loudoe SH menyatakan yang berhak meneliti keperawanan adalah pihak pengusut atas perintah hakim dalam pemeriksaan perkara perkosaan atau kesusilaan lainnya. Tetapi mengumumkan nama orang-orang yang tidak perawan lagi, apalagi memecat mereka dari sekolah, menurut hakim Izmu Azhar SH dan Habib Syarbini SH adalah "perbuatan gila." Albert Hasibuan SH, ketua I Persahi, pengacara dan komisi III DPR RI menceritakan bahwa di luar negeri ada juga penelitian soal keperawanan. Misalnya seorang nyonya diteliti apakah benar masih gadis waktu menikah. Penelitian apakah seorang pernah menyeleweng atau berapa kali menyeleweng setelah terikat pernikahan. Tetapi Hasibuan bilang, "rahasia perusahaan" tetap dipelihara, tidak diberitahukan kepada orang lain. "Nah, kalau maksud penelitian di Jawa Barat itu untuk moral," ujarnya ketus, "cara mereka meneliti dan mengumumkan lebih tidak bermoral lagi!" Istilah penelitian yang dikaitkan dengan ulah tim yang disorot oleh PR Bandung sebenarnya menimbulkan persoalan. Melly G. Tan, itu peneliti ilmu kemasyarakatan pada LEKNAS - LIPI meragukan adakah tim itu sebenarnya memang kepingin meneliti. "Sebab tidak jelas untuk tujuan apa dan dasarnya apa," kata Melly. Karena petugas Polri disebut-sebut hadir, Melly lebih cenderung menyebut ulah tim itu sebagai "pemeriksaan". Ini menimbulkan kesan adanya "paksaan". Dr. Zakiah Daradjat, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama menilai penelitian keperawanan itu tidak bisa dibenarkan secara agama Kecuali bila memang keadaan darurat -- misalnya penyakit menular berkecamuk. Penelitian itu tak jelas tujuannya, jadi untuk apa sebenarnya. Bila karena pertimbangan moral, dengan maksud preventif, tak usah diumumkan. Tapi lakukan saja perbaikan. Dan menurut pengetahuan Dr. Zakiah, sudah ada sekolah-sekolah yang memberhentikan anak didiknya bila diketahui sudah hamil. Hal ini untuk mencegah "jangan sampai menular." Demikianlah berita 12 Nopember itu menjadi semakin menarik. Baik soal dibentuknya tim untuk menyelidiki soal keperawanan, maupun masaalah keperawanan itu sendiri yang sejak lama jadi bahan gunjingan dalam masyarakat. Yang agak aneh adalah anti klimaks yang kemudian ditemukan oleh Aris Amiris dan Hasan Syukur dari TEMPO ketika berusaha menjemput geger itu, langsung ke Tasikmalaya dan Garut. Di Tasikmalaya memang ada seorang bidan bernama Rosye yang telah melakukan pemeriksaan keperawanan siswi Sekolah Penyenang Kesehatan. Rosye sendiri tidak berhasil dijumpai, tetapi dari sumber yang dapat dipercaya peristiwa pemeriksaan itu memang sudah terjadi. Dimaksudkan sebagai persyaratan menghadapi ujian yang dimulai 15 Desember ini. "Akan tetapi itu merupakan urusan intern yang dilakukan sewaktu-waktu saja dan bukan untuk kepentingan visum et repertum," kata sumber tadi. Pimpinan SPK Tasikmalaya, dr Slamet Setioso sendiri tak bersedia bicara. Ia hanya mengatakan bahwa masalah itu sudah ditangani oleh Ikes Ja-Bar. "Silakan anda tanya sendiri ke Bandung," ujarnya. Padahal di Bandung sendiri, kita tahu semua orang maunya tidak tahu menahu. Hanya dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat ada berita bahwa untuk mengungkapkan soal itu sudah dilakukan interogasi pada beberapa orang. "Tapi kalau wartawan (wartawan PR maksudnya) tersebut bermaksud membantu aparat Pemerintah, tentunya berita itu tak usah diturunkan, tetapi dikonsultasikan dengan yang berwenang untuk dipecahkan," kata Sadjidi yang menjabat Humas. Dalam berita tanggal 12 Nopember, Mingguan PR tidak jelas menyebutkan di kabupaten mana peristiwa itu terjadi. Tetapi karena beberapa hari sebelum muncul berita tim keperawanan itu ada pemecatan 3 siswi SPG Garut lantaran hamil, orang lantas menyangka tim itu operasi di Garut. Akan tetapi Walim, direktur SPG Garut itu membantah. Ia menyatakan tim itu tak pernah ada. Sekali lagi: nggak ada. Di sekolah Walim memang ketiga siswi yang hamil itu sempat dipanggil satu persatu ke ruang "GC". Di sana tidak diadakan pemeriksaan, hanya ditanya. Dari jawaban mereka ditarik kesimpulan, mereka memang hamil. Lalu mereka dianjurkan membuat permohonan keluar untuk menjaga nama baik sekolah. Kepada mereka diberikan surat keterangan pernah belajar di SPG Negeri Garut. "Jadi kami tidak merugikan masa depan mereka," kata Walim. Kemudian siswi-siswi lain dikumpulkan dalam satu ruangan dan diberi penerangan. Sementara siswa-siswanya disuruh pulang. Penerangan itu di sekitar nilai-nilai moral biasa. "Yang menjadi soal karena peristiwa itu dimuat di koran-koran dan pemberitaannya ternyata bukan-bukan," kata Walim. Djaed, seorang guru SMP Garut, malahan mengeritik bahwa pemberitaan itu tidak bernilai edukatif, tapi destruktif. "Wajar kalau Kanwil P & K Jabar mengajukan tuntutan ke depan pengadilan juga," ujarnya. Tapi Hilman BS, sekretaris redaksi Pikiran Rakyat segera menjawab "Kami yakin kejadian itu benar dan bahkan sudah berlangsung lama. Kita 'kan hanya mengungkapkan asapnya, apinya bukan urusan kita." Hilman menyatakan juga herannya kenapa P & K baru ribut-ribut setelah ada reaksi, bukan tatkala berita itu masih hangat di atas koran. Sementara Atang Ruswita, pemimpin redaksi PR menyatakan tidak keberatan kalau ada tuntutan kepada PR. "Kami toh sudah berbuat sesuatu hal yang mereka sembunyikan," katanya. Pikiran Rakyat Bandung belum sampai dibawa ke pengadilan, tapi sudah sempat "didekati" oleh Mayor Slamet Sujono Humas Pendam -- tetapi tidak atas nama Laksusda. Lebih bersifat pribadi. Mayor itu menyatakan bahwa pemberitaan PR memiliki nilai positif karena masyarakat diberikan informasi. Tetapi juga mengandung nilai negatif karena menimbulkan kegelisahan masyarakat. Laksusda sampai sekarang belum melakukan tindakan apa-apa. Sementara di Jakarta dalam Rapat Kerja DPR dengan acara dengar pendapat Menteri P & K, 11 Desember lalu, dua anggota komisi IX DPR mengutik kembali soal tim penelitian keperawanan itu. Baik Karmani SH dari fraksi Persatuan, maupun Ny. Walandow dari fraksi Demokrasi mempertanyakan sejauh mana pihak P & K mengusai persoalan itu. "Suatu tindakan hukum perlu dijatuhkan pada tim yang memeriksa itu," kata nyonya Walandouw. Siswi yang dituduh tidak gadis dan dikeluarkan oleh sekolah yang bersangkutan agar direhabilitir kembali. Karena tak ada sebuah peraturanpun yang melarang anak yang tak gadis untuk tetap bersekolah!" Tapi bagaimana kalau tim dan penelitian kegadisan dan dipecatnya murid-murid -- semua itu memang tidak ada? Paling sedikit para pelajar puteri di Jawa Barat, terutama Garut, Tasikmalaya, Bandung, Ciamis, Cianjur, Cirebon akan normal lagi detak jantungnya. Terutama sekali para orang tua mereka. Bayangkan saja, beberapa siswi SLA Cirebon sudah mulai tidak berani datang ke sekolah -- sebagaimana diakui oleh Kepala Kantor Departemen P & K Kodya Cirebon, drs. Achdiat. Bukan karena siswi-siswi Cirebon sudah pada hilang kegadisannya. Tapi karena takut dibikin objek. Di Karawang lain lagi. Di sana justru para orang tua yang punya anak gadis yang gelisah. Kabar dari Garut dan Tasikmalaya itu membuat mereka menyangsikan puteri-puteri mereka sendiri. Pantaslah bila orang berharap semua ini cuma lelucon -- yang tak disengaja, dan merepotkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus