SEBUAH ledakan terjadi di harian Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung. Tanggalnya ialah 12 Nopember yang lalu. "Di sebuah
kota kabupaten di Jawa Barat puluhan siswi SLA dinyatakan bukan
gadis lagi," tulis koran tersebut. Diberitakan sebuah tim
gabungan dari Bandung dan daerah setempat telah mengadakan
pemeriksaan ketat terhadap 4 buah SLA. Hasilnya: 79 orang
ternyata bukan perawan lagi.
"Jumlah yang pasti masih dalam perhitungan, karena banyak siswi
yang lolos dari pemeriksaan." demikian PR. Menurut koran itu
pula, para siswi yang diperiksa dipanggil satu persatu ke ruang
"GC" (Bimbingan & Penyuluhan) yang dijaga oleh beberapa petugas
kepolisian. Toh masih ada yang bisa lolos karena telah
mengetahui jauh sebelum pemeriksaan itu dilakukan.
Tindakan yang diambil oleh sekolah-sekolah yang berkepentingan,
menurut laporan PR, sangat tegas. Seorang kepala sekolah SLA
kemudian mengeluarkan tiga orang siswinya. Alasan diketahui
mereka berbadan dua. Bagaimana nasib para siswi yang tidak hamil
tetapi dinyatakan oleh tim pemeriksa sudah tidak gadis lagi?
Masih dalam pertimbangan. "Tetapi ada SLA yang secara drastis
memecat siswinya, baik yang telah berbadan dua maupun yang
bukan gadis lagi, tulis PR pula.
Sebelum bom berita itu dilepaskan, PR sebenarnya sudah
menurunkan kabar misterius pada Senin, 23 Oktober. Disebutkan
67 orang Siswi PKE & PKC (Penyenang Kesehatan) Rumah Sakit
Tasikmalaya, sedang mengalami pemeriksaan "kegadisan ". Bidan
Rossy, salah seorang guru yang berusia 30 tahun pada pendidikan
itu, memimpin operasi "tilang" tersebut. Hasil pemeriksaan?
Hanya diketahui oleh bidan Rossy. Diperkirakan sekitar 20 orang
belum sempat dijamah, karena di antara para siswi itu ada yang
sedang "Cuti" -- datang bulan.
Peranan bidan Rossy dimulai dengan datangnya sebuah surat kaleng
ke haribaan para siswi dan guru. Surat itu ditulis oleh orang
yang mengaku bernama Rusmana, alamat Panumbangan. Isinya
mengutarakan ikhwal para siswi yang sering kencan dengan
pacarnya di luar asrama, dan diduga terlibat "hubungan gelap".
Rusmana mengharapkan adanya pengawasan yang lebih ketat.
khususnya malam hari.
Surat itu sempat menggetarkan saraf para guru. Para siswi
dikumpulkan, lalu ditanyai siapa yang sudah melakukan hubungan
gelap. Tentu saja tidak ada yang mengaku.
"Akhirnya staf pengajar mengambil inisiatip yang didukung oleh
beberapa siswi agar kegadisan mereka diperiksa," tulis PR.
Sumber PR di Tasikmalaya melaporkan juga ada beberapa siswi di
luar asrama yang sering keluar malam. Tetapi apakah di antaranya
memang ada yang tidak utuh lagi tidak sempat dikabarkan.
Proses penilangan itu sendiri sudah menimbulkan heboh. Para
siswi tersinggung dan malu. Para dokter setempat menyatakan
pemeriksaan bidan Rossy menyalahi aturan, karena pemeriksaan
kegadisan harus dilakukan oleh seorang ahli. Yang lain
menyayangkan kenapa surat kaleng itu ditanggapi serius. "Mungkin
saja surat kaleng itu bermotipkan cemburu," ujar dokter itu.
Tindakan yang diambil oleh bidan Rossy tidak menimbulkan
tanggapan yang serius. Barangkali orang merasa cukup untuk
menggeleng-gelengkan kepala saja. Tetapi berita PR tanggal 12
Nopember tentang adanya tim yang memeriksa keperawanan di Jawa
Barat, berhasil bikin geger. Pada tanggal 22 Nopember, Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) menulis surat kepada Menteri P&K
Republik Indonesia yang berisi 4 pasal.
PGRI menyatakan pemeriksaan medis tentang kegadisan siswi secara
paksa, bukan saja tak punya dasar hukum, tetapi juga
sewenang-wenang dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Pemeriksaan
itu dihubungkannya dengan perihal "Kejahatan melanggar
kesusilaan" yang diatur dalam Bab XIV KUH Pidana. Perbuatan
macam itu dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, di
samping juga menyesatkan. Karena seakan-akan menganggap para
gadis sudah ternoda.
Pada akhir suratnya PGRI menekankan pertanyaan apakah Departemen
P&K sudah mengadakan penelitian, sejauh mana kebenaran berita
tersebut. Mereka juga ingin tahu langkah-langkah apa saja yang
sudah diambil. Mereka menganggap soal itu sangat penting karena
menyangkut "dunia pendidikan dan hak-hak asasi."
Yang menarik adalah bahwa Kantor Wilayah Departemen P&K Jawa
Barat dan Dinas Kesehatan Kotamadya Bandung menyatakan tidak
tahu apa-apa. Mereka membaca berita dalam PR, tetapi mereka
tidak tahu menahu apa yang disebut "Team Peneliti Kegadisan"
yang beroperasi di kabupaten mereka.
Adapun pihak Departemen P&K tidak berdiam diri. Bahkan konon
guntingan koran PR ditelaah sendiri oleh Menteri Daoed Joesoef,
sewaktu ia di Paris untuk sidang UNESCO. Dep. P&K pun mencoba
mengikuti jejak tim peneliti kegadisan yang misterius itu.
Tetapi sampai berita ini diturunkan belum menemukan hasil. Habis
mereka juga mencoba pasang kuping lewat Kanwil P&K Ja-Bar yang
tidak tahu-menahu. Lantas dibentuk lagi tim melalui jalur tak
resmi, menyelusup kota-kota yang dikira jadi sarang tim yang
nakal itu. Tetapi sayang, sekali lagi, hasilnya masih nol.
"Yang jelas, kegiatan semacam itu, kalau benar terjadi, tidak
ada kaitannya dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta
tidak sepengetahuan Departemen P&K," kata Menteri P&K Daoed
Joesoef kepada TEMPO.
Menteri kita ini selanjutnya menjelaskan bahwa tim sudah dikirim
dan terus bekerja -- meskipun hasilnya masih nol. "Bagi
Departemen P&K, yang penting bukan hanya faktanya," ujarnya,
"melainkan harus mengambil tindakan, karena masalah ini
mempunyai kaitan yang panjang." Menteri juga mengutarakan dalam
mengambil tindakan dipakai taktik, jangan serampangan dan jangan
mengatakan tindakan apa yang akan diambil. Karena menurut
analisanya, kalau si pelaku sampai mencium tindakan apa yang
akan diambil, ia pasti akan menghapus jejaknya. "Akibatnya,
penelitian bertambah sulit," kata Menteri sambil berjanji akan
segera memberitahukan sikap dan tindakannya, apabila laporan
timnya sudah diterima semua.
Dalam hal adanya kaitan panjang yang menguntit ikhwal "tim
peneliti kegadisan", Menteri memang benar. Soal itu ternyata
tidak hanya jadi bahan surat-suratan PGRI-P&K-Kanwil P&K Ja-Bar.
Banyak pembaca surat kabar ikut bertanya-tanya. Di antaranya ada
seorang dokter bernama Ramelan dari Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Dokter ini menulis surat pembaca di
harian Kompas, 28 Nopember yang lalu. Isi suratnya seperti
mewakili isi hati banyak orang. Di samping itu ia memberikan
sedikit penerangan mengenai soal keperawanan yang ternyata tidak
segampang yang diduga banyak orang.
"Keperawanan dan ketidak-perawanan pada seseorang, secara
kedokteran sulit kalau tidak bisa dikatakan sulit sekali
dibuktikan," kata suratnya. Dr. Ramelan mengungkapkan bahwa
keperawanan bila diukur lewat selaput dara (men) tidak menjamin
kepastian. Soalnya pecahnya selaput dara dipengaruhi oleh banyak
hal. Seorang pelari gawang atau peloncat puteri misalnya,
menurut dr. Ramelan, mungkin sekali memiliki selaput dara yang
cidera, karena kegiatan jasmaninya sendiri -- bukan karena
hubungan kelamin.
Ramelan, dokter UI ini, kemudian mengajukan sebuah pertanyaan
kepada Departemen P&K. Soalnya hasil pemeriksaan keperawanan
itu dihubungkan dengan status mereka sebagai pelajar. Yakni
siswi akan ditendang keluar sekolah manakala terbukti tidak
perawan lagi. "Benarkah ada undang-undang atau peraturan
pemerintah yang menyatakan bahwa siswi yang tidak atau bukan
perawan tidak boleh melanjutkan sekolahnya?" tanya Ramelan.
Sementara itu kepada sekolah yang ingin mengadakan penelitian
keperawanan ia juga kirim pertanyaan: "Apakah para siswi yang
karena banyak faktor, tidak mau diperiksa, akan dinyatakan tidak
perawan, padahal mereka sebenarnya masih perawan ting-ting?"
Selain surat pembaca, di Bandung sendiri Fakultas Hukum Unpad
sempat mengadakan diskusi awal Desember ini dengan pokok:
"Pemeriksaan selaput kegadisan secara massal." Di sana, sebagai
mana dilaporkan Sinar Harapan 4 Desember, berbicara antara lain
Achmad Soemapradja SH, ketua Lembaga Bantuan Hukum Unpad. Ia
tidak membenarkan adanya pemeriksaan selaput kegadisan secara
massal dari sudut hukum maupun norma yang berlaku dalam
masyarakat. "Tidak ada sebuah pasal hukum pidana pun yang
melarang seseorang untuk tidak gadis lagi," kata ahli ini.
John Nimpuno, sarjana psikologi dari Unpad menambahkan bahwa
kegadisan sebagai suatu kata tidak memiliki arti apa-apa, karena
hanya masyarakatlah yang memberinya nilai. Ia menerangkan bahwa
di zaman modern ini, kalau keperawanan diukur dari keutuhan
selaput dara, maka seseorang yang tidak gadis lagi dimungkinkan
jadi perawan kembali. Bagaimana? "Dengan operasi plastik," kata
John Nimpuno.
Dr. F.A. Moeloek, ahli kandungan di Klinik Raden Saleh Jakarta,
lebih lanjut menjelaskan bahwa selaput dara mempunyai berbagai
bentuk. Sifatnya beraneka ragam. Jadi sebuah tim belum tentu
akan dapat menelaahnya secara telak. "Yang bisa membuktikan
apakah seorang masih perawan atau tidak adalah wanita itu
sendiri," kata Moeloek yang dikenal juga sebagai penjawab
surat-surat sekitar masalah itu di majalah Ayah Bunda.
"Pemeriksaan itu sia-sia,' ujarnya sengit. "Pemeriksaan itu
sepeti menghitung berapa kulit kacang di jalan. Kalau sudah
tahu lalu mau apa?"
Rosita S. Noer, seorang dokter wanita lulusan UI 1971, membaca
adanya tim peneliti itu, teringat kepada penelitian penyakit
kelamin di antara remaja. Sempat dilakukan beberapa waktu
berselang di Bandung. Tetapi penelitian tidak disertai akibat
langsung kepada para remaja yang diteliti, tidak ada hukuman
pemecatan dari sekolah. Pemerintah mempergunakan hasil
penelitian itu untuk mengetahui tindakan apa yang akan diambil.
Rosita yang menjabat Presiden Direktur PT Indra Perdana dan
beberapa perusahaan ekspor-impor -- jadi dia di sini bicara
lebih sebagai wanita -- menganggap penelitian di Jawa Barat itu
aneh. Ia malah melihat seharusnya sebelum diadakan penelitian,
para pendidik sendiri introspeksi, apakah mereka sudah
memberikan bekal yang baik pada para Siswinya. Sampai pada
tindakan pemecatan terhadap siswi yang dinyatakan tidak perawan
lagi, wanita ini langsung berkata: "Tindakan itu secara
manusiawi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan -- Panca
Sila."
Dr. Soerjono Soekanto, seorang ahli juga sosiologi hukum dari
Ul, menyatakan bahwa ada hal penting yang harus dipenuhi oleh
tim peneliti keperawanan itu. Soerjono membedakan penelitian itu
dengan interogasi yang dilakukan oleh polisi. Sebagai
konsekwensinya, mengumumkan hasil penelitian itu juga punya
norma sendiri. Hanya mungkin dipublikasikan dalam hal tertentu
dan tempat tertentu -- misalnya di majalah ilmiah yang
pembacanya terbatas.
"Penelitian keperawanan di Jawa Barat merupakan kejahatan
merusak kehormatan orang lain" kata Soerjono Sejumlah hakim di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat angkat suara juga. Hakim J.Z.
Loudoe SH menyatakan yang berhak meneliti keperawanan adalah
pihak pengusut atas perintah hakim dalam pemeriksaan perkara
perkosaan atau kesusilaan lainnya. Tetapi mengumumkan nama
orang-orang yang tidak perawan lagi, apalagi memecat mereka dari
sekolah, menurut hakim Izmu Azhar SH dan Habib Syarbini SH
adalah "perbuatan gila."
Albert Hasibuan SH, ketua I Persahi, pengacara dan komisi III
DPR RI menceritakan bahwa di luar negeri ada juga penelitian
soal keperawanan. Misalnya seorang nyonya diteliti apakah benar
masih gadis waktu menikah. Penelitian apakah seorang pernah
menyeleweng atau berapa kali menyeleweng setelah terikat
pernikahan. Tetapi Hasibuan bilang, "rahasia perusahaan" tetap
dipelihara, tidak diberitahukan kepada orang lain. "Nah, kalau
maksud penelitian di Jawa Barat itu untuk moral," ujarnya ketus,
"cara mereka meneliti dan mengumumkan lebih tidak bermoral
lagi!"
Istilah penelitian yang dikaitkan dengan ulah tim yang disorot
oleh PR Bandung sebenarnya menimbulkan persoalan. Melly G. Tan,
itu peneliti ilmu kemasyarakatan pada LEKNAS - LIPI meragukan
adakah tim itu sebenarnya memang kepingin meneliti. "Sebab tidak
jelas untuk tujuan apa dan dasarnya apa," kata Melly. Karena
petugas Polri disebut-sebut hadir, Melly lebih cenderung
menyebut ulah tim itu sebagai "pemeriksaan". Ini menimbulkan
kesan adanya "paksaan".
Dr. Zakiah Daradjat, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam,
Departemen Agama menilai penelitian keperawanan itu tidak bisa
dibenarkan secara agama Kecuali bila memang keadaan darurat --
misalnya penyakit menular berkecamuk.
Penelitian itu tak jelas tujuannya, jadi untuk apa sebenarnya.
Bila karena pertimbangan moral, dengan maksud preventif, tak
usah diumumkan. Tapi lakukan saja perbaikan. Dan menurut
pengetahuan Dr. Zakiah, sudah ada sekolah-sekolah yang
memberhentikan anak didiknya bila diketahui sudah hamil. Hal ini
untuk mencegah "jangan sampai menular."
Demikianlah berita 12 Nopember itu menjadi semakin menarik. Baik
soal dibentuknya tim untuk menyelidiki soal keperawanan, maupun
masaalah keperawanan itu sendiri yang sejak lama jadi bahan
gunjingan dalam masyarakat. Yang agak aneh adalah anti klimaks
yang kemudian ditemukan oleh Aris Amiris dan Hasan Syukur dari
TEMPO ketika berusaha menjemput geger itu, langsung ke
Tasikmalaya dan Garut.
Di Tasikmalaya memang ada seorang bidan bernama Rosye yang telah
melakukan pemeriksaan keperawanan siswi Sekolah Penyenang
Kesehatan. Rosye sendiri tidak berhasil dijumpai, tetapi dari
sumber yang dapat dipercaya peristiwa pemeriksaan itu memang
sudah terjadi. Dimaksudkan sebagai persyaratan menghadapi ujian
yang dimulai 15 Desember ini. "Akan tetapi itu merupakan urusan
intern yang dilakukan sewaktu-waktu saja dan bukan untuk
kepentingan visum et repertum," kata sumber tadi.
Pimpinan SPK Tasikmalaya, dr Slamet Setioso sendiri tak bersedia
bicara. Ia hanya mengatakan bahwa masalah itu sudah ditangani
oleh Ikes Ja-Bar. "Silakan anda tanya sendiri ke Bandung,"
ujarnya. Padahal di Bandung sendiri, kita tahu semua orang
maunya tidak tahu menahu. Hanya dari pihak Kejaksaan Tinggi
Jawa Barat ada berita bahwa untuk mengungkapkan soal itu sudah
dilakukan interogasi pada beberapa orang. "Tapi kalau wartawan
(wartawan PR maksudnya) tersebut bermaksud membantu aparat
Pemerintah, tentunya berita itu tak usah diturunkan, tetapi
dikonsultasikan dengan yang berwenang untuk dipecahkan," kata
Sadjidi yang menjabat Humas.
Dalam berita tanggal 12 Nopember, Mingguan PR tidak jelas
menyebutkan di kabupaten mana peristiwa itu terjadi. Tetapi
karena beberapa hari sebelum muncul berita tim keperawanan itu
ada pemecatan 3 siswi SPG Garut lantaran hamil, orang lantas
menyangka tim itu operasi di Garut. Akan tetapi Walim, direktur
SPG Garut itu membantah. Ia menyatakan tim itu tak pernah ada.
Sekali lagi: nggak ada.
Di sekolah Walim memang ketiga siswi yang hamil itu sempat
dipanggil satu persatu ke ruang "GC". Di sana tidak diadakan
pemeriksaan, hanya ditanya. Dari jawaban mereka ditarik
kesimpulan, mereka memang hamil. Lalu mereka dianjurkan membuat
permohonan keluar untuk menjaga nama baik sekolah. Kepada mereka
diberikan surat keterangan pernah belajar di SPG Negeri Garut.
"Jadi kami tidak merugikan masa depan mereka," kata Walim.
Kemudian siswi-siswi lain dikumpulkan dalam satu ruangan dan
diberi penerangan. Sementara siswa-siswanya disuruh pulang.
Penerangan itu di sekitar nilai-nilai moral biasa. "Yang menjadi
soal karena peristiwa itu dimuat di koran-koran dan
pemberitaannya ternyata bukan-bukan," kata Walim.
Djaed, seorang guru SMP Garut, malahan mengeritik bahwa
pemberitaan itu tidak bernilai edukatif, tapi destruktif. "Wajar
kalau Kanwil P & K Jabar mengajukan tuntutan ke depan
pengadilan juga," ujarnya.
Tapi Hilman BS, sekretaris redaksi Pikiran Rakyat segera
menjawab "Kami yakin kejadian itu benar dan bahkan sudah
berlangsung lama. Kita 'kan hanya mengungkapkan asapnya, apinya
bukan urusan kita." Hilman menyatakan juga herannya kenapa P & K
baru ribut-ribut setelah ada reaksi, bukan tatkala berita itu
masih hangat di atas koran. Sementara Atang Ruswita, pemimpin
redaksi PR menyatakan tidak keberatan kalau ada tuntutan kepada
PR. "Kami toh sudah berbuat sesuatu hal yang mereka
sembunyikan," katanya.
Pikiran Rakyat Bandung belum sampai dibawa ke pengadilan, tapi
sudah sempat "didekati" oleh Mayor Slamet Sujono Humas Pendam --
tetapi tidak atas nama Laksusda. Lebih bersifat pribadi. Mayor
itu menyatakan bahwa pemberitaan PR memiliki nilai positif
karena masyarakat diberikan informasi. Tetapi juga mengandung
nilai negatif karena menimbulkan kegelisahan masyarakat.
Laksusda sampai sekarang belum melakukan tindakan apa-apa.
Sementara di Jakarta dalam Rapat Kerja DPR dengan acara dengar
pendapat Menteri P & K, 11 Desember lalu, dua anggota komisi IX
DPR mengutik kembali soal tim penelitian keperawanan itu. Baik
Karmani SH dari fraksi Persatuan, maupun Ny. Walandow dari
fraksi Demokrasi mempertanyakan sejauh mana pihak P & K
mengusai persoalan itu.
"Suatu tindakan hukum perlu dijatuhkan pada tim yang memeriksa
itu," kata nyonya Walandouw. Siswi yang dituduh tidak gadis dan
dikeluarkan oleh sekolah yang bersangkutan agar direhabilitir
kembali. Karena tak ada sebuah peraturanpun yang melarang anak
yang tak gadis untuk tetap bersekolah!"
Tapi bagaimana kalau tim dan penelitian kegadisan dan
dipecatnya murid-murid -- semua itu memang tidak ada?
Paling sedikit para pelajar puteri di Jawa Barat, terutama
Garut, Tasikmalaya, Bandung, Ciamis, Cianjur, Cirebon akan
normal lagi detak jantungnya. Terutama sekali para orang tua
mereka. Bayangkan saja, beberapa siswi SLA Cirebon sudah mulai
tidak berani datang ke sekolah -- sebagaimana diakui oleh Kepala
Kantor Departemen P & K Kodya Cirebon, drs. Achdiat. Bukan
karena siswi-siswi Cirebon sudah pada hilang kegadisannya. Tapi
karena takut dibikin objek.
Di Karawang lain lagi. Di sana justru para orang tua yang punya
anak gadis yang gelisah. Kabar dari Garut dan Tasikmalaya itu
membuat mereka menyangsikan puteri-puteri mereka sendiri.
Pantaslah bila orang berharap semua ini cuma lelucon -- yang tak
disengaja, dan merepotkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini