Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri membongkar penipuan daring jaringan internasional dengan kedok investasi trading saham dan mata uang kripto pada platform JYPRX, SYIPC, dan LEEDSX.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu, 19 Maret 2025 mengatakan bahwa kasus ini terungkap berangkat dari laporan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Himawan menyebutkan total korban yang teridentifikasi saat ini sebanyak 90 orang dengan nilai kerugian sebesar Rp105 miliar. Modus yang digunakan oleh pelaku untuk menawarkan investasi ini adalah dengan membuat iklan investasi kripto dan kelas untuk belajar saham di media sosial.
Tempo mewawancarai korban yang masuk dalam jeratan salah satu platform tersebut, baik itu JYPRX, SYIPC atau LEEDSX. Di sebuah grup Facebook bernama Diskusi Crypto Indonesia, Tempo menemukan diskusi yang ramai tentang dugaan penipuan berkedok investasi kripto yang sedang ditangani oleh Bareskrim Polri. Berbagai komentar bermunculan, mayoritas bernada keluhan dan penyesalan. Dari sana, Tempo mulai menelusuri korban-korban yang bersedia bercerita. Salah satu nama yang muncul adalah SW, seorang perempuan berusia 63 tahun yang kini tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
SW bersedia berbagi pengalamannya saat dihubungi melalui panggilan WhatsApp. Suaranya terdengar tenang, meskipun ada nada getir ketika mengingat kembali bagaimana ia kehilangan ratusan juta rupiah akibat investasi yang ternyata jebakan. “Awalnya saya hanya ingin belajar investasi saham,” katanya membuka cerita kepada Tempo, Senin, 24 Maret 2025. Namun dengan berbagai bujuk rayu dari pelaku, SW tergiur untuk ikut mulai investasi sampai akhirnya tabungan hari tuanya terjebak dalam skema investasi kripto bodong.
Dalam grup itu Diskusi Crypto Indonesia itu, SW juga korban lainnya saling berbagi pengalaman pahit mereka. Beberapa menyebut nama seorang pria berinisial Profesor AS, ada juga yang menyebut Profesor BS, sosok yang mengaku pada korban sebagai mentor investasi. Dari sinilah semuanya bermula.
SW tidak pernah menyangka bahwa ketertarikannya pada dunia investasi akan membawa petaka. Awalnya, sekitar Agustus 2024, ia melihat sebuah iklan di Facebook yang menawarkan pembelajaran gratis tentang investasi saham. Tanpa berpikiadir panjang, ia mengklik tautan yang membawanya ke WhatsApp seorang pria yang disebut Profesor AS.
"Dia mengaku sebagai mentor investasi dan menawarkan kursus gratis. Dari sana, saya dimasukkan ke grup WhatsApp," kata SW. Grup tersebut diisi sekitar 100 orang, termasuk seorang asisten perempuan bernama DH yang kemudian menjadi teman curhat SW.
Di dalam grup, Profesor AS kerap memberikan materi tentang saham, inflasi, hingga pengaruh harga emas terhadap pasar. SW tidak langsung tertarik untuk berinvestasi. Namun, setelah berbulan-bulan mengikuti diskusi, kepercayaan mulai tumbuh. Pada November 2024, ketika pasar saham sedang lesu, Profesor AS menyarankan SW dan para anggota grup untuk beralih ke investasi kripto.
Pada titik ini, SW masih ragu. Namun, asistennya, DH, terus meyakinkannya. DH bahkan mengaku pada SW telah meraup keuntungan besar dari investasi ini. "Dia bilang sudah mendapatkan keuntungan Rp 200 juta. Awalnya saya tidak percaya, tapi dia terus meyakinkan saya dengan menunjukkan tangkapan layar saldo akunnya," ujar SW.
DH juga kerap menghubungi SW di luar jam diskusi. Percakapan mereka tidak hanya tentang investasi, tetapi juga hal-hal pribadi, seperti aktivitas akhir pekan hingga kehidupan keluarga. Keterlibatan emosional ini membuat SW semakin percaya.
Akhirnya, SW memutuskan mencoba. Ia mengunduh aplikasi investasi SYPRX yang diarahkan oleh Dian dan mulai menyetorkan uangnya. Transaksi pertama sebesar 50 juta rupiah berjalan lancar. Bahkan, saat SW mencoba menarik sebagian dana sebagai uji coba, permintaannya dikabulkan. Ini semakin meyakinkan dirinya bahwa investasi ini aman.
Karena merasa yakin, SW mulai menambah investasinya sedikit demi sedikit hingga mencapai Rp 200 juta. Pada tahap ini, Profesor AS mulai memisahkan investor ke dalam dua kelompok: investor kecil dan investor besar yang akan masuk ke dalam komunitas eksklusif. Bujukan terus berlanjut, dan akhirnya SW kembali menambah investasinya hingga total mencapai Rp 330 juta.
Namun, ketika ia mencoba menarik dananya, semuanya berubah. "Dana saya tiba-tiba dibekukan. Mereka bilang sedang ada investigasi kasus pencucian uang," kata SW. Ia pun mulai mencari informasi lebih lanjut di internet dan menemukan bahwa skema seperti ini adalah modus penipuan yang sering terjadi.
Upayanya untuk menarik dana berulang kali menemui jalan buntu. Ia bahkan sempat mengembalikan bonus yang pernah diberikan oleh platform sekitar Rp 10 juta dengan harapan dana pokoknya bisa dicairkan, tetapi hasilnya nihil. "Saya baru sadar kalau semua orang di grup itu, termasuk yang saya kira sesama investor, ternyata bagian dari sindikat ini," ujarnya dengan suara bergetar.
SW akhirnya menyadari bahwa seluruh skenario yang dijalankan dalam grup WhatsApp itu adalah manipulasi. Para anggota yang tampaknya merupakan korban lain, ternyata hanyalah figur-figur palsu yang sengaja diciptakan untuk menumbuhkan kepercayaan.
Saat ini, SW hanya bisa pasrah. Sampai detik ini ia belum melapor ke polisi. Alasannya, ia tak yakin laporannya akan ditindaklanjuti dengan cepat dan uangnya belum tentu akan kembali. Tabungan yang telah ia kumpulkan selama puluhan tahun lenyap begitu saja. "Saya baru sadar setelah sekian lama. Ini adalah tabungan saya dan suami untuk hari tua. Saya sangat menyesal," katanya.
Saat ini, penyidik dari Bareskrim Polri telah mengidentifikasi 67 rekening yang digunakan pelaku pada beberapa bank di Indonesia. Dipaparkan oleh Brigjen Pol. Himawan, pada bulan Januari 2025, para korban dapat pesan WhatsApp dari pusat perdagangan JYPRX Global yang berisikan pemberitahuan hukum mengenai penangguhan sementara penghapusan pengguna terdaftar di wilayah Indonesia.
Korban juga mendapatkan pesan WhatsApp kedua yang berisi surat himbauan untuk memverifikasi akun kripto yang dimiliki dan diwajibkan mentransfer pembayaran pajak serta fee kepada ketiga platform tersebut jika korban ingin menarik uangnya.
Atas kecurigaan tersebut, korban pun menarik dana dari akun kripto mereka. Akan tetapi, penarikan dana tidak dapat dilakukan.
"Para korban pun menyadari bahwa telah mengalami penipuan, kemudian melaporkan kepada pihak kepolisian," ujar Himawan.
Dalam kasus ini, kata Brigjen Pol. Himawan, ditetapkan enam orang tersangka. Tiga orang di antaranya berinisial AN, MSD, dan WZ yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang telah ditangkap dan ditahan. Mereka berperan sebagai pembuat rekening dan perusahaan nominee.
"Tersangka WZ bekerja atas perintah seseorang berinisial LWC yang merupakan warga negara Malaysia," ujarnya.
Tersangka LWC, kata dia, merupakan salah satu dari tiga tersangka lainnya yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Dua tersangka lainnya adalah WNI berinisial SR dan AW.
"Penyidik telah mengeluarkan DPO terhadap dua pelaku WNI dan terhadap pelaku warga negara asing. Penyidik juga telah berkoordinasi dengan stakeholder lain untuk melakukan penerbitan red notice Interpol," ucapnya.
Saat ini, penyidik telah memblokir 67 rekening bank yang diduga merupakan penampungan hasil kegiatan dan menyita uang sebesar Rp1.532.583.568,00.
Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.