DI Porto Santo, Portugal, pesawat Boeing 737 British Airways nyaris tak bisa berangkat. Entah kenapa, tiba-tiba kartu kredit sang penerbang untuk membeli bahan bakar ditolak (kartu kredit ini mirip kartu yang digtltnakan wartawan, untuk memperoleh harga khusus dan fasilitas kredit dalam pengiriman teleks). Ternyata ini salah paham biasa. Pihak penyedia bahan bakar sebelumnya sudah diberi tahu, agar mengisikan bahan bakar ke Boeing 737 milik British Airways. Padahal, pesawat yang membutuhkan bahan bakar itu adalah pesawat Caledonian Airways, yang dioperasikan oleh British Airways. Tanpa basa-basi, penerbang mengumumkan masalahnya kepada para penumpang yang sudah rapi di tempat duduk. Serta merta mereka menawarkan uang pinjaman untuk membeli bahan bakar. Seorang di antaranya bahkan menyumbangkan uang tunai 1.000 dolar AS. Tangki bahan bakar pun akhirnya diisi, berkat uang pinjaman dari beberapa penumpang. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, penerbang mempersilakan para penumpang melihat-lihat ke dek penerbang. Ini dilakukan agar mereka tidak bosan duduk menunggu, sementara pengisian bahan-bakar dilakukan. Terbukti, Saudara, interaksi yang bagus antara awak pesawat dan penumpang membuat banyak masalah bisa diatasi dengan baik. Di Amerika Serikat, dalam sebuah penerbangan pendek, penerbangnya sempat melawak begini "Sesuai dengan peraturan FAA, dalam penerbangan pendek ini Anda tidak diperkenankan merokok. Tetapi bila Anda tak tahan, silakan merokok di luar." Para penumpang, yang sebagian belum melek benar pagi itu, langsung tertawa cerah. Sebuah awal yang menyenangkan. Garuda Indonesia tampak berusaha keras mengatasi masalah keterlambatan yang nyaris akut. Ketika M. Soeparno masih menjabat Direktur Niaga, saya pernah menyampaikan kepadanya guntingan artikel tentang bagaimana Jan Carlszon membenahi Scandinavian Air System dan mengatasi soal jam karet. Maka, saya pun tak terlalu heran ketika melihat M. Soeparno sebagai Direktur Utama sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta pukul enalo pagi. Ia ikut mengejar penumpang yang berjalan santai, mengingatkan mereka supaya bergegas, karena pesawat sudah akan berangkat. Memang, masih banyak hal yang menghambat Garuda Indonesia untuk bisa tepat waktu -- baik karena masalah internal maupun eksternal. Komputer, misalnya, belum menyentuh seluruh aspek ticketing Garuda Indonesia. Pada shuttle service terpadat -- Semarang dan Surabaya -- hampir selalu kelihatan barisan antre yang bergerak lamban. Soalnya, tiap karcis masih harus ditulis tangan oleh petugasnya. Nama penumpang ditulis dua kali, di struk kiri dan struk kanan. Bila penumpang membayar dengan Visa -- apalagi Amex -- prosedurnya makan waktu lebih lama. Komputerisasi tentu akan mempercepat dan memperpendek antre. Dan itu berarti waktu pemberangkatan dapat lebih dijamin ketepatannya. Tapi, untuk tepat waktu, 'kan tak perlu harus menunggu komputer? Apalagi kalau anggarannya memang belum ada. Saya kira, sikap petugas di belakang loket juga menentukan. Di bandara Juanda Surabaya, misalnya, saya sering melihat bagaimana petugasnya buang-buang waktu dengan bergurau dl antara sesamanya, sementara penumpang terpaksa antre dengan tegang. Tapi di loket jurusan Semarang di Cengkareng, saya melihat petugas-petugas bekerja sigap. Seorang petugas, Tina Sukmabayu, malah perlu mendapat acungan jempol. Tulisan tangannya yang bagus tidak mengurani kesigapannya. Ia juga penuh perhatian kepada frequent travellers. Di tangan Tina, saya hampir selalu mendapat kursi di deret terdepan, untuk tujuan Semarang. Shuttle service Singapura-Kuala Lumpur mungkin bisa dicontoh. Tiket bisa Anda beli kapan saja, tanpa antre. Hanya saja, tiket itu belum memastikan seat Anda pada suatu penerbangan tertentu. Bahkan nama Anda harus Anda tulis sendiri di atas tiket itu lantas Anda antre untuk check in pada penerbangan yang Anda kehendaki, dan memperoleh nomor tempat duduk. Di Taiwan, penerbangan shuttle domestik lebih "mengerikan" penanganannya. Rata-rata mereka menyelesaikan boarding dalam waktu lima menit sebelum tinggal landas. Padahal, di pintu dilakukan pemeriksaan identitas (paspor, ID) untuk menyertai tiket. Pintu pesawat bahkan sudah ditutup sebelum semua penumpang duduk di tempatnya -- ini melanggar peraturan keselamatan FAA -- dan pesawat sudah dikebut menuju landas pacu. Efisien, memang. Tapi ada unsur keselamatan yang dikorbankan. Dan yang seperti itu tak perlu ditiru, bukan? Keterlambatan pemberangkatan pesawat memang juga bisa disebabkan oleh penumpang. Dulu R.A.J. Lumenta sering mengeluh karena pesawat sudah mau berangkat, tetapi ibu pejabat masih di salon. Penumpang pun sering mondar-mandir, sehingga menghalangi jalan bagi penumpang lain yang mencari tempat duduknya. Kita bukan bangsa yang tak dapat diatur, bukan? Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini