Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Kan Berani Mengutik Dolar

Devaluasi rupiah diisukan akan terjadi april 1976. menkeu, menyatakan kurs rupiah yang 415 terhadap dolar tetap dipertahankan. pemerintah tak akan berani mengubah kurs dollar tahun ini.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA-TEKI tentang berubahnya kurs rupiah terhadap dollar AS muncul lagi awal pekan lalu. Kali ini yang bersuara adalah Menteri Keuangan Ali Wardhana. Tanpa menyebutkan siapa gerangan sumber yang beranggapan bahwa rupiah kini merosot, Menteri Keuangan dalam keterangannya kepada pers menolak pendapat demikian. Sebaliknya, menurut Ali Wardhana, kurs rupiah tetap stabil dan dipertahankan. Tapi Ali mengakui: "Memang berat mempertahankan kurs ini." Kurs rupiah terhadap dollar yang 415 itu -- yang sudah berlangsung lebih dari 6 tahun mulai tak dipercaya orang lagi ketika pecah krisis Pertamina tempo hari. Desas-desus santer terdengar, terutama di kalangan bankir asing, bahwa devaluasi rupiah akan terjadi di bulan April 1976. Begitu yakinnya beberapa perusahaan di sini, hingga mereka yang punya hubungan baik dengan pensuplainya maupun bankirnya di luar negeri, buru-buru menutup transaksi dollar guna membayar kewajiban-kewajibannya ke luar negeri. Namun itu devaluasi yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Dan beberapa Menteri di lingkungan Ekuin - mulai dari Prof. Widjojo Nitisastro sampai Radius Prawiro - memastikan devaluasi tak akan terjadi. Merasa masih was-was, sebagian kaum pengusaha mulai berspekulasi lagi. Kata mereka: Jangan-jangan itu devaluasi akan terjadi setelah pemilu 1977. Dan pemilu sudah usai empat bulan silam, tanpa terjadi angin ribut di seputar kurs rupiah. Kumat Lagi Alkisah, angin tentang kurs rupiah yang merosot -- atau dinilai terlalu tinggi terhadap dollar (overvalued) -- mulai kumat lagi akhir-akhir ini. Beberapa pengamat ekonomi Indonesia mulai membanding-bandingkan tingkat inflasi di Indonesia dan di AS. Di AS inflasinya rata-rata 6% setahun. Di Indonesia, sekalipun tahun lalu inflasinya hanya 12%, tapi sejak 1971 rata-rata mencapai 20%. Dengan kata lain, sejak kurs 415 ditetapkan pada 1971, rupiah sudah mengalami depresiasi setinggi 120% sedang depresiasi dollar hanya 36%. Jadi ada sesuatu yang pincang dalam paritas ini. Dari situ pula pengamat ekonomi seperti K. Gunadi, kini tenaga ahli di Departemen Tenaga Kerja, dalam ulasannya di majalah Prisma mensinyalir adanya gerakan orang memborong dollar, untuk ditransfer atau dibelanjakan di luar negeri. Adanya proses "pengurasan" valuta asing dari Indonesia itu, seperti disebut Gunadi, juga disinyalir oleh seorang pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada yang beranggapan "nilai riil satu dollar sudah sekitar Rp 800an." Bahkan ada juga yanrg berpendapat sudah Rp 1.000. Pincangnya paritas dollar terhadap rupiah memang diakui pemerintah. "Pemerintah berusaha mempertahankan dan memanipulir kurs ini," kata Al Wardhana. Untung sektor perdagangan luar negeri selama ini beroleh angin baik. Surplus neraca pembayaran sampai Juli kemarin sudah mencapai $ 2,4 milyar: suatu rekor yang dimungkinkan oleh melimpahnya ekspor selama 1976 dan selama semester pertama tahun ini (TEMPO, 3 September). Prospek ekspor selama semester kedua tahun ini mungkin agak mengendor. Tapi itu bisa diimbangi dengan berkurangnya impor beberapa bahan, karena sudah bisa dipenuhi dari produksi di dalam negeri. Pantangan Maka mudah dipastikan Indonesia akan tetap memiliki cadangan devisa yang lumayan sampai tahun depan. Pekan lalu Gubernur B.I. Rachmat Saleh sudah pula memastikannya. "Cadangan devisa Indonesia sekarang sudah $ 2,5 milyar," kata Rachmat. Menurut perhitungannya, sampai akhir tahun fiskal ini, yakni akhir Maret tahun depan, cadangan devisa itu bisa membesar antara $ 2,6 - $ 2,7 milyar. Berpijak dari pulihnya cadangan devisa B.I. -- setelah sempat digerogoti untuk membayari hutang-hutang jangka pendek Pertamina waktu itu -- Yusuf Wantah, Dir-Ut PT Bank Arta Pusara yang juga anggota pengurus Perbanas, mendukung keterangan Wardhana dan Rachmat Saleh. "Indikasi pokok dari merosot atau tidaknya rupiah harus dilihat dari neraca pembayaran," kata Wantah. "Dewasa ini neraca pembayaran kita cukup meyakinkan. Jadi tak ada alasan kuat untuk beranggapan kurs rupiah kita kini overvalued." Sefaham dengan bankir itu adalah T. Surjawijaya, anggota direksi Panin Bank. Dia juga yakin kurs rupiah tak akan didevaluasikan. Maka Surjawijaya beranggapan ekspor Indonesia yang sekarang ini "tak perlu distimulir." Biasanya, kebutuhan untuk mendorong ekspor dijadikan alasan untuk mclakukan tindakan devaluasi. Selain itu, "suatu tindakan devaluasi akan mendorong harga barang produksi dalam negeri ke atas," mengingat bahan bakunya sebagian besar masih tergantung dari impor. Devaluasi memang berarti menaikkan harga impor, dan itu bisa menaikkan inflasi. Bisa dipastikan bahwa pemerintah tak akan berani mengkutikkutik kurs dollar, terutama tahun ini. Pemerintah diduga akan harus mengimpor beras agak besar untuk mengimhangi kekurangan produksi dalam negeri akibat kemarau panjang. Suatu kenaikan harga beras tentu merupakan pantangan. Pemerintah, yang merasa inflasi 12% sekarang ini sudah terlalu tinggi, tentunya tak akan melakukan hal yang malahan bisa mendorong inflasi itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus