TEKA-TEKI tentang berubahnya kurs rupiah terhadap dollar AS
muncul lagi awal pekan lalu. Kali ini yang bersuara adalah
Menteri Keuangan Ali Wardhana. Tanpa menyebutkan siapa gerangan
sumber yang beranggapan bahwa rupiah kini merosot, Menteri
Keuangan dalam keterangannya kepada pers menolak pendapat
demikian. Sebaliknya, menurut Ali Wardhana, kurs rupiah tetap
stabil dan dipertahankan. Tapi Ali mengakui: "Memang berat
mempertahankan kurs ini."
Kurs rupiah terhadap dollar yang 415 itu -- yang sudah
berlangsung lebih dari 6 tahun mulai tak dipercaya orang lagi
ketika pecah krisis Pertamina tempo hari. Desas-desus santer
terdengar, terutama di kalangan bankir asing, bahwa devaluasi
rupiah akan terjadi di bulan April 1976. Begitu yakinnya
beberapa perusahaan di sini, hingga mereka yang punya hubungan
baik dengan pensuplainya maupun bankirnya di luar negeri,
buru-buru menutup transaksi dollar guna membayar
kewajiban-kewajibannya ke luar negeri.
Namun itu devaluasi yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Dan
beberapa Menteri di lingkungan Ekuin - mulai dari Prof. Widjojo
Nitisastro sampai Radius Prawiro - memastikan devaluasi tak akan
terjadi. Merasa masih was-was, sebagian kaum pengusaha mulai
berspekulasi lagi. Kata mereka: Jangan-jangan itu devaluasi akan
terjadi setelah pemilu 1977. Dan pemilu sudah usai empat bulan
silam, tanpa terjadi angin ribut di seputar kurs rupiah.
Kumat Lagi
Alkisah, angin tentang kurs rupiah yang merosot -- atau dinilai
terlalu tinggi terhadap dollar (overvalued) -- mulai kumat lagi
akhir-akhir ini. Beberapa pengamat ekonomi Indonesia mulai
membanding-bandingkan tingkat inflasi di Indonesia dan di AS. Di
AS inflasinya rata-rata 6% setahun. Di Indonesia, sekalipun
tahun lalu inflasinya hanya 12%, tapi sejak 1971 rata-rata
mencapai 20%. Dengan kata lain, sejak kurs 415 ditetapkan pada
1971, rupiah sudah mengalami depresiasi setinggi 120% sedang
depresiasi dollar hanya 36%. Jadi ada sesuatu yang pincang
dalam paritas ini.
Dari situ pula pengamat ekonomi seperti K. Gunadi, kini tenaga
ahli di Departemen Tenaga Kerja, dalam ulasannya di majalah
Prisma mensinyalir adanya gerakan orang memborong dollar, untuk
ditransfer atau dibelanjakan di luar negeri. Adanya proses
"pengurasan" valuta asing dari Indonesia itu, seperti disebut
Gunadi, juga disinyalir oleh seorang pengamat ekonomi dari
Universitas Gajah Mada yang beranggapan "nilai riil satu dollar
sudah sekitar Rp 800an." Bahkan ada juga yanrg berpendapat sudah
Rp 1.000.
Pincangnya paritas dollar terhadap rupiah memang diakui
pemerintah. "Pemerintah berusaha mempertahankan dan memanipulir
kurs ini," kata Al Wardhana. Untung sektor perdagangan luar
negeri selama ini beroleh angin baik. Surplus neraca pembayaran
sampai Juli kemarin sudah mencapai $ 2,4 milyar: suatu rekor
yang dimungkinkan oleh melimpahnya ekspor selama 1976 dan selama
semester pertama tahun ini (TEMPO, 3 September). Prospek ekspor
selama semester kedua tahun ini mungkin agak mengendor. Tapi itu
bisa diimbangi dengan berkurangnya impor beberapa bahan, karena
sudah bisa dipenuhi dari produksi di dalam negeri.
Pantangan
Maka mudah dipastikan Indonesia akan tetap memiliki cadangan
devisa yang lumayan sampai tahun depan. Pekan lalu Gubernur B.I.
Rachmat Saleh sudah pula memastikannya. "Cadangan devisa
Indonesia sekarang sudah $ 2,5 milyar," kata Rachmat. Menurut
perhitungannya, sampai akhir tahun fiskal ini, yakni akhir Maret
tahun depan, cadangan devisa itu bisa membesar antara $ 2,6 - $
2,7 milyar.
Berpijak dari pulihnya cadangan devisa B.I. -- setelah sempat
digerogoti untuk membayari hutang-hutang jangka pendek Pertamina
waktu itu -- Yusuf Wantah, Dir-Ut PT Bank Arta Pusara yang juga
anggota pengurus Perbanas, mendukung keterangan Wardhana dan
Rachmat Saleh. "Indikasi pokok dari merosot atau tidaknya rupiah
harus dilihat dari neraca pembayaran," kata Wantah. "Dewasa ini
neraca pembayaran kita cukup meyakinkan. Jadi tak ada alasan
kuat untuk beranggapan kurs rupiah kita kini overvalued."
Sefaham dengan bankir itu adalah T. Surjawijaya, anggota direksi
Panin Bank. Dia juga yakin kurs rupiah tak akan didevaluasikan.
Maka Surjawijaya beranggapan ekspor Indonesia yang sekarang ini
"tak perlu distimulir." Biasanya, kebutuhan untuk mendorong
ekspor dijadikan alasan untuk mclakukan tindakan devaluasi.
Selain itu, "suatu tindakan devaluasi akan mendorong harga
barang produksi dalam negeri ke atas," mengingat bahan bakunya
sebagian besar masih tergantung dari impor.
Devaluasi memang berarti menaikkan harga impor, dan itu bisa
menaikkan inflasi. Bisa dipastikan bahwa pemerintah tak akan
berani mengkutikkutik kurs dollar, terutama tahun ini.
Pemerintah diduga akan harus mengimpor beras agak besar untuk
mengimhangi kekurangan produksi dalam negeri akibat kemarau
panjang. Suatu kenaikan harga beras tentu merupakan pantangan.
Pemerintah, yang merasa inflasi 12% sekarang ini sudah terlalu
tinggi, tentunya tak akan melakukan hal yang malahan bisa
mendorong inflasi itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini