SEORANG Gubernur di Kalimantan pada suatu hari kerja menerima
panggilan telepon dari seorang pejabat tinggi di Pusat. Tahu
enggak dari mana saya menelepon ini!" tanya pejabat itu, yang
kemudian menjelaskan bahwa dia sedang dalam perjalanan ke
Serang. Pak Gub jadi bengong sebentar, mengira pejabat itu
berbicara dari kantornya.
Dari mobil? Ya, sejak Januari yang lalu Perum Telekomunikasi
memungkinkannya. Sangat mahal, tentunya. Rp 6.025.000 untuk satu
unit, termasuk biaya alat dan pemasangannya di mobil sampai
berdering.
Fasilitas demikian masih terbatas untuk kendaraan di Jakarta dan
daerah sekitarnya yang berada dalam radius 60 km dari Wisma
Nusantara. Di puncak gedung itu, pesawat penerima dan pemancar
menghubungkan unit di mobil dengan sentral Gambir. Tiap unit
memakai gelombang radio dengan frekwensi sendiri. Ia bisa via
Gambir memanggil dan dipanggil. bekerja seperti telepon otomatis
biasa. Di sini ia memakai 6 angka (digit) dengan kepala 3.
Masih belum banyak terjual nomor telepon mobil ini. Tidak
diketahui berapa persis, tapi mungkin sekitar 150 paling banyak
langganannya. Ternyata jumlah peminat sangat jauh di bawah apa
yang diduga semula.
Perum Telekomunikasi sekedar menyediakan nomor, sedang
pemasarannya diselenggarakan oleh PT Budi Anugerah Sakti,
perusahaan swasta yang dipimpin oleh Marsekal Suwoto Sukendar.
PT BAS ini bekerjasama pula dengan PT INTI, anak perusahaan
Perum Telekomunikasi, sebagai pemasang dan perawat. PT BAS
mengimpor peralatan, sedang PT INTI merakitnya.
Rahasia
"Terus terang," kata seorang pejabat Telekom, "investasi di
bidang (telepon mobil) ini besar sekali. Karena itu pula
pemerintah tidak melakukannya sendiri. Juga ia tidak terlalu
mendesak bagi kepentingan rakyat banyak. Paling hanya untuk
orang-orang tertentu saja."
PT BAS sangat "merahasiakan" identitas para pemakai telepon
mobil ini. Jadi, jangan harap nomornya dijumpai dalam buku
telepon umum.
Kenapa harus dirahasiakan? Jika pemakainya adalah pejabat, ia
mungkin keberatan bila diketahui umum. apalagi jika Rp 6.025.000
itu berasal dari pungli. Jika dipakainya anggaran resmi, mungkin
akan ada pula komisi DPR bertanya apakah urgensinya bagi sang
pejabat memakai telepon mobil semahal itu. Apakah bukan
pemborosan?
Kalangan pengusaha, walaupun mungkin mampu memakainya,
barangkali kuatir pula jika dikeahui kantor pajak. Tapi
pengusaha yang bijaksana biasanya melihat dari segi kebutuhan.
Dalam kondisi bisnis yang agak lamban, terutama sejak krisis
Pertamina, sungguh sukar bagi PT BAS memasarkannya pada kaum
pengusaha. Mereka umumnya pasti tidak tergesa-gesa seperti
Mannix -- bintang serial TV - Yang menggunakan telepon mobil
untuk melancarkan operasinya.
"Daripada menawaran telepon mobil," demikian komentar ir
Siswono, Pres-dir Bangun Cipta Sarana, perusahaan real estate,
"Perum Telekomunikasi lebih baik menghilangkan kemacetan
telepon biasa. Untuk dapat sambungan saja, setengah mati."
Telepon biasa di Jakarta jauh lebih murah: Rp 785.280 (tarif
resmi). Tapi sukar untuk memperolehnya. Harus antri, dan ada
tambahan sekian rupiah. Untuk telepon mobil, anda paling lama
menunggu satu bulan, dan - ini benar-tanpa pungli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini