Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANI sedang berkonsentrasi merampungkan pekerjaan kantor, Senin lalu, ketika tiba-tiba pet, lampu padam. Beruntung sebagian pekerjaan di personal computer-nya "selamat" berkat bantuan alat Uninterruptible Power Supply (UPS). Tapi itu cuma untuk lima menit. Selanjutnya hanyalah kegelapan.
Perusahaan Listrik Negara sebenarnya memadamkan setrum untuk kawasan Jakarta Pusat dan sekitarnya sekitar satu jam saja. Tapi di kantor Yani, masalah itu berbuntut panjang. "Kipas server untuk SMS jebol," kata Wawan, Manajer Teknologi Informasi perusahaan penerbitan tersebut.
Persoalan byar-pet listrik PLN ini sudah lama meresahkan konsumen. Bukan hanya di Jawa. Di sejumlah wilayah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan, malah lebih parah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro tak membantah lemahnya kemampuan pasok setrum perusahaan pelat merah itu. Persoalannya, cash flow perseroan babak-belur. Ini juga masalah jadul.
Sudah bertahun-tahun rapor PLN merah. Perusahaan negara ini selalu merugi sejak krisis 1997. Alasannya, dari sisi hulu-penyediaan energi primer harus mengikuti mekanisme harga pasar. Sementara itu, dari sisi hilir-harga listrik-diatur pemerintah. Belakangan, kantong PLN makin bolong. Gara-garanya, proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt yang dicanangkan pemerintah ngadat.
Pembiayaan dari perbankan Cina ternyata tidak semulus yang diperkirakan. Ini membikin sindikasi perbank an nasional yang sudah berkomitmen membantu ketar-ketir juga untuk mencairkan pinjaman. PLN pun terpaksa merogoh kocek internal untuk menjalankan pekerjaan awal proyek.
Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Rudiantara mengatakan PLN masih harus mencari pinjaman US$ 1,5-2 miliar. Utang itu akan dipakai untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap Adipala, Tanjung Awar-awar, Teluk Sirih, Pangkalan Susu, dan Lampung. "Keuangan PLN morat-marit," kata Purnomo seusai sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pengesahan Undang-Undang Ketenagalistrikan, di Jakarta, Selasa lalu.
Tekanan finansial ini membuat manajemen harus memutar otak agar perusahaan bisa bertahan. Kabarnya, perseroan sampai menyunat ongkos operasional beberapa pembangkit hingga 50 persen. Penurunan biaya pengadaan energi primer tersebut tentu saja berdampak pada kelancaran aliran setrum. Sumber Tempo mengatakan kondisi ini telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Manajemen melaporkan kinerja ke uangan yang selalu minus itu kepada Menteri Keuangan Sri Mul yani Indrawati dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil. Intinya, PLN mengusulkan kenaikan tarif dasar listrik dan margin tahun depan. Gayung bersambut, pemerintah mengangguk setuju. Menteri Keuangan akan me nimbang tiga faktor, yakni daya beli dan kesejahteraan masyarakat, pemulihan ekonomi, dan kesehatan neraca. "Mana yang lebih pas," katanya seusai rapat kerja dengan panitia anggaran di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Menurut Sekretaris Kementerian Negara BUMN Said Didu, menyehatkan neraca perseroan penting agar PLN bisa meningkatkan besaran pinjaman yang bisa diambil (plafon utang). Ada tiga pendekatan untuk menyelamatkan kocek PLN, yakni menambah margin, mempercepat carry over subsidi, dan meninjau tarif listrik.
PLN telah membikin simulasi tarif baru, mulai kenaikan 10, 20, hingga 30 persen. Sumber Tempo mengatakan rapat dengar pendapat Dewan dengan PLN mengerucut pada angka kenaikan rata-rata 20 persen. Dasarnya, kesanggupan pemerintah mengeluarkan dana subsidi.
Dua pekan lalu, pemerintah dan Panitia Anggaran menetapkan subsidi listrik Rp 37,8 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, turun dari usul awal Rp 44,4 triliun. Perinciannya, subsidi tahun berjalan Rp 35,3 triliun dan carry over tahun 2009 ke 2010 Rp 2,5 miliar.
Anggota Komisi Pertambangan dan Energi, Tjatur Sapto Edy, mengatakan kenaikan tarif sebaiknya tidak dipukul rata 20 persen. Kelompok pelanggan 450 VA, misalnya, kalau bisa tidak usah dinaikkan. Alternatifnya disubsidi silang dengan menaikkan kelas R2 (daya 2.200-6.600) dan konsumen R3 (di atas 6.600 VA).
Tjatur juga mengusulkan harga untuk konsumen komersial, seperti hotel, dilepas sama sekali. Adapun industri bisa dibantu sebagian untuk melin dungi tenaga kerja. Tarif sekarang ini, kata dia, tidak adil. "Masak hotel seperti Ritz Carlton disubsidi? Pelanggan kelas ini sudah saatnya disapih."
Seakan bersambut, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Jacobus Purwono mengatakan pelanggan kelas 450 dan 900 akan terus diurus pemerintah hingga beberapa tahun ke depan. Kelompok industri akan dievaluasi. "Sedang di-exercise."
Yang pasti, menurut Tjatur, bulan ini juga persoalan tarif listrik ini akan diputuskan bersama Dewan. Syaratnya, bila pemerintah bisa menyodorkan angka-angka simulasinya segera. "Mungkin pekan depan. Kalau mereka tidak mengajukan, ya enggak naik," kata Tjatur.
TARIF dasar listrik yang saat ini dipakai mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 2003 berlaku sejak 2004. Di situ pemerintah hanya memberikan subsidi kepada kelompok-kelompok konsumen tertentu, misalnya rumah tangga R1 (daya 450 sampai 220 VA).
Namun, pada 2005 pemerintah memperluas kebijakan subsidi. Lonjakan harga minyak mentah dunia pada Oktober mengakibatkan pembelian bahan bakar minyak untuk pembangkit PLN menggunakan harga nonsubsidi. Sebelumnya, PLN mendapatkan harga diskon. Biaya pokok produksi listrik pun melambung. Pemerintah lalu menanggung gap antara biaya produksi dan patokan harga Keppres 2004. Dengan demikian, kenaikan volume penjualan setrum membuat subsidi makin bengkak.
Kini, ketika harga minyak melambung sampai di kisaran US$ 70 per barel, semua konsumen menikmati subsidi pemerintah. Padahal sebelumnya hanya pelanggan 900 VA ke bawah. Tak hanya membuat subsidi membengkak, kenaikan harga minyak ini otomatis mengerek kenaikan harga gas dan batu bara. Buntutnya, ongkos operasional PLN pun naik.
Akibatnya, kerugian PLN makin tinggi. Ekuitas juga kian tergerus. Modal perseroan turun dari Rp 142 triliun pada 2004, tinggal Rp 127 triliun tahun lalu. Inilah yang membikin per usahaan letoi, tak mampu berinvestasi. Pembiayaan belanja modal diperoleh dari utang, terutama skema Subsidiary Loan Agreement (penerusan utang).
Indikator buruknya rapor PLN juga tampak dari rasio utang terhadap mo dal yang terus meningkat, sehingga menurunkan financing leverage. Kemampuan memenuhi kewajiban terus merosot. Tahun ini-dengan proyek 10 ribu megawatt diperkirakan utang PLN mencapai Rp 145,7 triliun. Perseroan juga meminta penjadwalan utang kepada Pertamina Rp 5 triliun, selama lima tahun, dari total utang Rp 12,3 triliun per Juni 2009.
Rapat panitia anggaran juga menye tujui pemberian margin lima persen. Saat ini PLN cuma memperoleh margin dua persen dari biaya pokok produksi. Dengan angka itu, nilai consolidated interest coverage ratio alias CICR cuma 1,89 tahun ini, dan 1,78 pada 2010. CICR adalah batas rasio keuangan untuk masuk ke pasar obligasi asing, yakni mi nimum 2.
Perusahaan listrik itu juga harus menjaga debt service coverage ratio pada posisi 1,5. Rasio itu terkait dengan pinjaman PLN dari lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Jika tidak memenuhi angka tersebut, PLN akan dinyatakan gagal bayar.
Konsekuensi gagal bayar, antara lain jaminan pemerintah atas proyek percepatan 10 ribu megawatt harus dicairkan. PLN juga mesti mempercepat pembayaran kepada para pemegang obligasi, dan utang lain. Kalau kena penalti, kata Tjatur, bisa-bisa PLN harus membayar Rp 60 triliun.
Itu sebabnya, PLN membutuhkan margin minimal lima persen supaya tidak gagal bayar. Dengan margin itu, nilai CICR menjadi 2,20 tahun ini dan 2,05 tahun depan. Intinya, Tjatur menambahkan, supaya rapor tidak merah menyala. "Rapor merah kan enggak naik."
PLN rupanya sudah berhitung, pemerintah tak akan rugi memberikan margin lima persen. Sebab, dengan mo dal itu, perusahaan akan mengantongi laba bersih Rp 3,16 triliun tahun ini dan Rp 4,55 triliun tahun depan. Menurut Rudiantara, setiap margin satu persen akan menghasilkan laba bersih Rp 1,4 triliun dan PLN bisa mencari pinjaman di atas Rp 5 triliun. Bandingkan dengan margin dua persen yang justru akan membikin neraca minus.
Kementerian BUMN dan PLN sebenarnya meminta margin delapan persen. Dengan modal ini, perseroan bisa memperbesar kapasitas pinjaman sekaligus meningkatkan investasi. Tapi anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Suharso Manoarfa, mengatakan anggaran negara terbatas. Toh, Komisi Energi akhirnya sepakat delapan persen. "Ini untuk pancingan," kata Tjatur, "karena dengan tambahan tiga persen, bisa mendatangkan utangan Rp 40 triliun."
Prinsipnya, Tjatur menambahkan, kenaikan tarif diperlukan untuk menyehatkan likuiditas. Penambahan ekuitas melalui penyertaan modal negara yang tiap tahun dilakukan pemerintah juga menjadi pilihan. Yang pen ting, PLN tidak menjadi korban proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap kedua nanti. Pemerintah sudah berancang-ancang dengan menawarkannya kepada pemodal dalam Investor Summit beberapa waktu lalu.
Retno Sulistyowati, Sorta Tobing, Rieka Rahadiana
Simulasi Pengurangan Subsidi Tahun 2010 (Rp Triliun)
Skenario Kenaikan | 10% | 20% | 30% | |
Usul awal subsidi dengan margin | 5% | 52,4 | 52,4 | 52,4 |
Perubahan batas bawah tarif nonsubsidi | (3,1) | (3,1) | (3,1) | |
Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik | (9,1) | (18,2) | (27,3) | |
Dengan margin | 8% | 4,2 | 4,2 | 4,2 |
Subsidi baru 2010 | 44,4 | 35,3 | 26,2 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo