Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memelototi Wajib Pajak Superkaya

Ditjen Pajak membentuk Satuan Tugas High Wealth Individual (Satgas HWI). Apa saja tantangannya?

4 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta, Kemayoran, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ditjen Pajak membentuk satgas pengawas wajib pajak superkaya.

  • Wajib pajak superkaya berkontribusi besar dalam penerimaan pajak penghasilan orang pribadi.

  • Pembentukan satgas saja dianggap tak cukup untuk meningkatkan kepatuhan.

JAKARTA – Pembentukan satuan tugas khusus untuk mengawasi wajib pajak kaya raya atau high wealth individual (Satgas HWI) dianggap sebagai ikhtiar menggenjot penerimaan pajak di tengah tren perlambatan. Kendati masih tumbuh 17 persen secara tahunan, tren penerimaan tak sekencang tahun lalu. Pada Mei lalu, misalnya, kenaikan tahun ke tahun tercatat hanya 2,9 persen. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Extra effort perlu digalakkan, salah satunya adalah peningkatan pengawasan melalui Satgas HWI," ujar peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, kepada Tempo, kemarin. Ia mengatakan selama ini struktur penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sangat bergantung pada penerimaan pajak orang kaya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai gambaran, kata Fajry, jumlah orang berpenghasilan lebih dari Rp 500 juta per tahun hanya 1,59 persen dari jumlah total wajib pajak orang pribadi. Namun mereka berkontribusi hingga 64,65 persen dalam penerimaan PPh orang pribadi. Hal ini terlihat pada surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Karena itu, ia menilai, upaya pengawasan HWI dapat menjaga penerimaan pajak penghasilan secara signifikan.

Di sisi lain, ia melihat para orang kaya tersebut biasanya memiliki pegawai profesional yang dapat mengelola kewajiban pajaknya, serta memiliki akses kepemilikan aset di luar negeri. Dengan demikian, risiko adanya tax planning—atau rekayasa keuangan agar beban pajak mereka rendah—dan pengaburan kepemilikan aset menjadi lebih tinggi. 

Aktivitas pelayanan pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Sudirman, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Data Automatic Exchange of Information (AEOI) pada 2018 menunjukkan ada Rp 670 triliun aset keuangan di luar negeri yang belum dilaporkan. Aset tersebut belum termasuk aset yang bentuknya bukan uang, seperti properti, barang seni bernilai tinggi, dan perhiasan mewah. Menurut Fajry, sebagian aset tersebut sudah masuk program pengungkapan sukarela, tapi ada juga yang belum. "Hal ini menunjukkan adanya risiko kepatuhan wajib pajak HWI." Dengan adanya satgas ini, diharapkan pengawasan bisa dilakukan lebih mudah dan mengurangi risiko penyalahgunaan kewenangan.

Sebelumnya, pembentukan Satgas HWI disampaikan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo. Ia menjelaskan, pembentukan tim tersebut merupakan bagian dari program kerja komite kepatuhan yang dimulai tahun ini. Ke depan, Direktorat Jenderal Pajak juga akan menggunakan komite kepatuhan sebagai alat untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum. "Sekaligus melakukan pelayanan dan penyuluhan kepada wajib pajak."

Suryo juga menyebutkan pembentukan satgas ini adalah upaya lanjutan untuk menjaring penerimaan dari orang superkaya di Tanah Air. Sebelumnya, pemerintah menerapkan lapisan tarif progresif anyar PPh bagi kaum superkaya yang mulai berlaku pada 1 Januari 2023. Ketentuan tersebut termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan aturan turunannya. Wajib pajak dengan penerimaan lebih dari Rp 5 miliar setahun dikenai tarif tertinggi, yakni 35 persen. 

Ditjen Pajak memprediksi 1.119 wajib pajak akan terkena dampak penambahan lapisan tarif baru ini. Jumlah itu merepresentasikan 0,03 persen wajib pajak orang pribadi non-karyawan. Jumlahnya juga berpotensi meningkat karena baru mencakup sebagian jumlah wajib pajak kategori HWI di Indonesia.

"Harapannya, jumlah kekayaan akan berbanding lurus dengan penghasilan karena yang menjadi dasar penerimaan pajak adalah penghasilan kena pajak," demikian pernyataan Ditjen Pajak di laman resminya. Jika 1.119 wajib pajak memberikan kontribusi sebesar 14,28 persen dari rata-rata total penerimaan PPh orang pribadi dalam lima tahun terakhir, pemerintah yakin penerimaan pajak akan semakin meningkat. 

Petugas pajak merapikan berkas di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Menteng Dua, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Tak Langsung Meningkatkan Penerimaan

Direktur Penelitian dan Penasihat Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji, menganggap langkah pemerintah memberikan perhatian lebih pada kepatuhan pajak individu superkaya sudah tepat. Saat ini pun, kata dia, secara global terdapat tren optimalisasi kepatuhan dan penerimaan pajak orang kaya. "Hal ini terlihat dari banyaknya pembentukan unit pajak khusus kelompok HWI, pengenaan pajak kekayaan demi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, hingga koordinasi global melawan offshore tax evasion yang mayoritas dilakukan orang superkaya."

Di samping itu, menurut dia, satgas ini diperlukan karena adanya perbedaan karakteristik HWI dengan wajib pajak orang pribadi lainnya. Wajib pajak superkaya umumnya memiliki penghasilan dari berbagai sumber dengan struktur bisnis yang kompleks; investasi di berbagai negara, termasuk tax haven; akses kekuatan sosial-politik, hingga kemampuan melakukan perencanaan pajak yang agresif. 

Bawono berujar perhatian pada HWI akan menjamin keadilan sistem perpajakan sekaligus mengurangi ketimpangan. Apalagi Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan orang kaya dan superkaya yang pesat, ketimpangan aset yang terus melebar, serta adanya pola akumulasi kekayaan antar-generasi. "Ada juga indikasi tak maksimalnya penerimaan PPh Pasal 25/29 orang pribadi (non-karyawan) yang secara rata-rata hanya berkontribusi 1 persen dari total penerimaan pajak."

Meski demikian, ia mewanti-wanti agar pengkategorian HWI dilakukan dengan hati-hati. Sebagai contoh, seseorang yang hartanya bertambah kerap disangka memperoleh tambahan penghasilan. Padahal bisa saja hal itu terjadi karena adanya kekayaan yang diwariskan keluarga. Upaya menyisir kelompok HWI pun menghadapi tantangan besar di tengah banyaknya praktik mengaburkan kepemilikan aset. Mengacu pada praktik pengaburan secara internasional, otoritas pajak di berbagai negara biasanya mengkategorikan HWI dengan melihat salah satu atau beberapa indikator, seperti penghasilan, aset, jabatan, atau pengendalian atas perusahaan besar.

Bawono menilai keberadaan Satgas HWI tidak serta-merta akan mengungkit penerimaan pajak, kendati potensinya besar. "Penerimaan pajak kelompok HWI akan meningkat seiring dengan keberhasilan integrasi NIK/NPWP, implementasi kewajiban beneficial owner, dan implementasi compliance risk management dengan dukungan core tax system," kata dia. 

CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus