Dengan RUU baru, bank pemerintah boleh mencari modal sendiri, dana pensiun tak boleh untuk kegiatan bisnis properti dan pegawai bebas memilih perusahaan asuransi. KALAU Menteri Keuangan Sumarlin sudah berbicara di Rapat Paripurna DPR, pengamat moneter dalam negeri memang layak waspada. Tak terkecuali pada pertemuan Jumat pekan silam, yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Soerjadi. Hari itu, Sumarlin menjelaskan satu paket RUU menyangkut perbankan, perasuransian, dana pensiun, dan tentang pajak peng- hasilan (perubahan atas UU Nomor 7/1983). Semuanya berkaitan langsung dengan upaya pengerahan dan pengelolaan dana masyarakat, yang pada ujungnya ikut menentukan daya tahan ekonomi nasional. Rupanya, pemerintah sudah menyadari bahwa sektor keuangan dan perbankan dalam negeri masih perlu diperkuat demi menghadapi tuntutan pertumbuhan dalam negeri dan era globalisasi. Perbankan, misalnya, sampai saat ini oleh para pelaku ekonomi masih dianggap belum cukup tangguh, meskipun sudah ditopang oleh sejumlah deregulasi (dari Deregulasi 1983 sampai Pakto 1988) dan kebijaksanaan yang kemudian mengiringinya. Dari segi permodalan, hukum, sampai tingkat profesionalitas personelnya, masih mengandung sejumlah kekurangan. Fakta-faktanya antara lain bisa disimak pada hasil riset Capital Information Service (CIS), satu lembaga penilai perbankan internasional yang datang ke sini beberapa pekan silam. CIS bekerja untuk kepentingan ratusan bank di Eropa, AS, dan Jepang, yang ingin tahu apa risikonya jika berhubungan dengan bank di Indonesia. Dalam penilaian CIS, modal bank-bank pemerintah kendati sudah ditambah dengan pelbagai jenis cadangan, termasuk laba yang ditahan, masih terlalu kecil. Akibatnya, leverage (dampak penggunaan utang terhadap modal sendiri) yang semakin kecil mestinya semakin bagus, sangat tinggi- rata-rata 48 kali, sementara pada bank-bank devisa swasta rata-rata hanya 15 kali. Melalui RUU baru itu, bank pemerintah tampaknya akan memperoleh banyak manfaat. Mereka sekarang dimungkinkan lebih leluasa bergerak, terutama dalam upaya menambah modal. Apalagi jika hendak memenuhi tuntutan Bank for International Settlements (BIS), yang mewajibkan agar pada akhir 1993 nanti semua bank memiliki CAR (capital adequacy ratio, kecukupan modal terhadap aset berisiko) minimal 8%. Kini, bank pemerintah rata- rata baru memiliki CAR di bawah 4%. Jika tidak ada perubahan undang-undang, kata seorang bankir pemerintah, agar target itu bisa dicapai, pemerintah harus menyediakan dana segar Rp 14 trilyun untuk menyuntik bank-bank miliknya, dalam bentuk penyertaan modal pemerintah. Karena hanya itu kemungkinannya, sesuai dengan undang-undang lama. Selama ini, putaran aset bank pemerintah sudah trilyunan rupiah, kendati modal sendiri cuma sebesar Rp 200 juta sampai Rp 500 juta. Kini, karena RUU menyebutkan hanya ada dua jenis bank- bank umum dan bank perkreditan rakyat- bank-bank pemerintah bisa tergolong dan berlaku seperti perseroan swasta. Kata Sumarlin, untuk menambah permodalan, bank pemerintah bisa mengeluarkan surat utang (obligasi) atau menjual sahamnya di bursa efek. Lebih radikal lagi, 49% dari sahamnya yang sudah go public juga boleh dibeli oleh perorangan atau lembaga asing. "Pokoknya, tak ada masalah lagi bagi bank pemerintah untuk meningkatkan modal," ucap Direktur BI Urusan Pengawasan Bank, Binhadi. Ketentuan semacam itu akan memberikan keleluasaan bagi bank pemerintah terjun ke arena persaingan yang lebih keras melawan bank-bank swasta. Itu tak bisa dielakkan. Kata Wakil Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII) Hidayat Tjandradjaja kepada TEMPO, "Dengan demikian, semua orang akan bisa menilai, apakah benar bankir di bank-bank pemerintah lebih jago daripada bankir swasta." Soalnya, masih banyak dugaan, mereka bisa membesarkan bank milik pemerintah lantaran memperoleh banyak fasilitas. Dalam pengumpulan dana, misalnya, dengan mudah mereka bisa memperolehnya. Misalnya, sebagai pelaksana penyaluran dana dari bantuan Bank Dunia, kadang-kadang bantuan itu bisa saja disimpan di bank mereka sampai jangka waktu lima tahun. Bahkan belakangan, kabarnya, ada permintaan agar bantuan itu di-roll over sampai 20 tahun. Dana tersebut akan dianggap sebagai subordinated loan (pinjaman dari pemegang saham, yakni pemerintah) dengan bunga sangat rendah. Adapun bagi perbankan swasta, RUU Perbankan ini relatif tidak memberikan banyak kemungkinan baru. Kecuali menyangkut kepemilikan maksimal 49% dari saham yang go public oleh pihak asing itu, dan ancaman sanksi pidana yang tegas bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola- misalnya dalam bentuk pemalsuan pembukuan transaksi atau rekening bank, dan penyalahgunaan wewenang sebagai komisaris, direksi, atau pegawai bank. Selama ini, pelanggaran semacam itu tak diatur sedikit pun dalam undang-undang perbankan yang ada. Tapi kini, seperti kasus Dicky Iskandar Di Nata dari Bank Duta, yang akhirnya dikenai tuduhan korupsi itu, misalnya, jika awal September nanti DPR setuju pada RUU Perbankan yang disodorkan Sumarlin, manipulasi semacam Dicky akan langsung terancam kena sanksi pidana. Mohamad Cholid dan Bambang Aji (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini