Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ppn yang tidak adil

Disertasi miyasto,41, mengungkit kelemahan kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan ppn. kenaikan penerimaan pajak lebih banyak ditanggung oleh masyarakat berpendapatan rendah.

1 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengusaha kecil dan masyarakat berpendapatan rendah, ternyata, ikut neningkatkan penerimaan pajak. Disertasi Miyasto tentang PPN. PARA pengambil keputusan bidang perpajakan di Departemen Keuangan, agaknya, perlu membaca disertasi Miyasto. Pada Jumat 17 Mei, Miyasto, 41 tahun, berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude di Universitas Gadjah Mada. Disertasinya berjudul, "Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai: Studi Mengenai Dampak terhadap Harga, Penerimaan, dan Struktur". Dalam karya ilmiah itu, Miyasto mengungkit kelemahan kebijaksanaan Pemerintah dalam pelaksanaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Terutama dalam kaitannya dengan asas keadilan yang selalu dikampanyekan itu. Untuk ikut meningkatkan jumlah penerimaan dari pajak, pada 1983 Pemerintah telah menggeser sistem Pajak Penjualan (PPn) menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Barang Mewah. Lalu, pemberlakuan UU Nomor 28, 1988, memungkinkan perluasan obyek kena pajak. Penerimaan negara pun bertambah menjadi Rp 5,5 trilyun. Tapi, menurut Miyasto pada TEMPO pekan lalu, "Kenaikan penerimaan pajak tersebut secara relatif lebih banyak ditanggung oleh masyarakat berpendapatan rendah." Mengapa? Berdasarkan sistem Pajak Penjualan, terdapat perbedaan tarif pajak yang secara implisit didasarkan pada golongan konsumen menurut tingkat pendapatannya. Sedangkan dalam sistem PPN, semua komoditi dikenai tarif sama, yakni 10%. Dari hasil penelitian Miyasto -dilakukannya sejak 1985 sampai 1988 -- ditemukan hal-hal yang mestinya membuat para pejabat pajak tidak tenang. Perluasan obyek kena PPN, kendati diikuti dengan tarif pajak barang mewah (PPNBM), akan meningkatkan taraf regresivitas PPN. Artinya, akan semakin banyak beban PPN yang harus ditanggung oleh konsumen berpendapatan rendah. "Ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam perpajakan," kata Miyasto. "Sistem perpajakan baru bisa disebut adil kalau progresif, yakni golongan masyarakat berpendapatan tinggi terkena beban pajak lebih banyak dibanding masyarakat berpendapatan rendah." Maka, ia mengusulkan agar Pemerintah tidak memperluas obyek kena pajak. Dalam dunia usaha, pelaksanaan sistem PPN menurut Miyasto juga memiliki kelemahan. Dalam sistem ini, ketetapan beberapa jenis komoditi tidak kena pajak dan ketentuan dalam kredit pajak telah menimbulkan pajak kumulatif. Akibatnya adalah, komoditi kena pajak terkena dampak kenaikan harga lebih besar dari tarif PPN. Menurut perhitungan Miyasto, pengusaha kena pajak yang membeli komoditi tidak kena pajak akan dibebani pajak yang dihitung berdasarkan harga jual dari produk yang dihasilkannya. Kecuali itu, pengusaha tersebut juga harus membayar beban pajak masukan dari pengusaha-pengusaha industri hulunya. "Maka, ia terkena pajak kumulatif," kata Miyasto. Kelompok paling tidak bahagia akibat sistem kredit pajak dan PPN adalah pengusaha kecil. Mereka lazimnya tidak terkena pajak. Akibatnya, mereka tidak berhak memperoleh kredit pajak. Dalam usahanya, mereka pun tidak sama sepenuhnya terbebas dari PPN karena masih dikenai pajak masukan. Sedangkan pengusaha yang kena pajak condong membeli barang untuk kegiatan produksinya yang terkena pajak. Dengan cara itu, kelompok ini akan memperoleh kredit pajak. Tidak mengherankan jika kelompok usaha besar cenderung menjaga hubungan baik dengan mitranya yang besar juga. Selanjutnya, yang besar-besar tumbuh bersama, sementara yang kecil tetap terlupakan dan tetap dibebani pajak masukan (PPN). Mch, Heddy Lugito (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus