Bursa Jakarta masih lesu. Ada sekuritas asing mengirim pulang karyawannya. BURSA saham Jakarta bak cakrawala dengan segaris tipis kemungkinan dan sejumlah ketidakpastian. Sesudah swastanisasi yang pelaksanaannya tak juga tuntas, terbetik rencana otomatisasi bursa. Bahkan sudah ada tiga nama pemasok komputer yang menjanjikan komputerisasi pasar modal, yakni Stratus Computer, OM International, dan Tandem Computer. Swastanisasi rupanya sangat dinantikan oleh sekuritas asing dan yang berpatungan di sini. Ini yang menurut mereka akan banyak menyelamatkan keadaan. Dari situ akan tercipta bursa yang aktif dan tingkat kapitalisasi yang mendekati GDP. Lalu transaksi yang ditangani para pialang tentu meningkat. Dan bagi mereka yang hidup hanya dari fee, situasi demikian akan lebih menguntungkan. Tapi, sebelum sampai ke sana, sebagian sekuritas patungan dengan asing sudah mulai berkunang-kunang melihat perkembangan pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak beranjak jauh dari angka 400, jauh di bawah IHSG masa jaya (1990) yang mencapai 600. Nilai transaksi per hari rata-rata Rp 30-an milyar. Singkatnya, bursa kini lesu darah. Melihat situasi yang mengenaskan ini, sudah ada sekuritas yang memulangkan tenaga ahli asingnya. Maklum, komisi yang diperoleh tidak cukup menutup biaya overhead untuk membayar mereka. Soalnya, selain gaji, harus pula dibayar sewa rumah atau apartemen, berikut mobil dan sopirnya. Pemulangan tenaga asing itu antara lain telah dilakukan oleh Jardine Fleming Nusantara Indonesia (JFNI). Menurut Vice President JFNI Jonathan Chang, JFNI sejak Januari lalu sudah memulangkan dua tenaga asingnya. Dari 60 karyawan JFNI, empat adalah tenaga asing. Jumlah transaksi yang dilakukan JFNI, menurut catatan Bapepam, adalah: Januari Rp 19,2 milyar, Februari sampai Rp 62,3 milyar, Maret Rp 29,3 milyar, dan April Rp 56,7 milyar. Yang disebutkan terakhir merupakan jumlah tertinggi yang dicapai sekuritas asing di sini. Kebetulan, JFNI tidak mengandalkan usahanya di lantai bursa saja. Masih ada penyertaan pembiayaan (cofinance) yang menguntungkan. Kalau tidak, "Overhead cost kami tak akan tertutup," Chang bicara terus terang. Dalam kegiatan di lantai bursa, perbandingan order beli dengan order jual masih 60:40. Nasabahnya 100 orang, 90 di antaranya investor asing. Berbeda dengan JFNI, Carr Dharmala Sekuritas (CDS) pada April lalu menambah enam pegawai baru. Transaksinya tidak setinggi JFNI -hanya Rp 23,3 milyar (Januari), Rp 15 milyar (Februari), dan Rp 21,8 milyar (Maret). Kendati demikian, CDS telah melampaui target. "Biasanya perusahaan sekuritas besar baru untung setelah tiga tahun. Kami sudah memperolehnya pada usia satu setengah tahun," kata senior dealer CDS Erwin Sumardi. Wajarlah kalau ia menambah enam pagawai. Apalagi biaya overhead-nya tidak besar. Karyawannya baru 41 orang, empat di antaranya tenaga asing. Biaya terbesar untuk rekening telepon, mengingat 20 orang nasabahnya berada di luar negeri. Tapi belakangan, order jual banding order beli 70:30. Nomura Indonesia termasuk paling aman karena dalam operasinya tidak pernah bermain untuk memperoleh capital gain. Sekuritas terbesar di Jepang ini lebih mengandalkan komisi 0,5% sebagai pialang. Presdir Nomura Indonesia, Toyakazu Shirahata, mengatakan kepada TEMPO, perusahaannya bahkan menugasi seorang stafnya untuk belajar di Hong Kong dan Singapura. Rupanya, Nomura masih menyimpan optimisme yang besar. Dia yakin, bursa Jakarta punya potensi berkembang pada masa datang. Bahkan JFNI akan memanggil kembali tenaga asing yang dipulangkannya, bila saja pasar bergairah kembali. Tapi harapan perlu disertai kewaspadaan. Soalnya, banyak saham yang beredar di bursa ternyata tidak likuid mengingat perkembangan perusahaannya tidak meyakinkan. Selain itu, menurut Erwin Sumardi, ada saingan dari bursa Muangthai atau Singapura, hingga Indonesia menjadi alternatif terakhir untuk investasi. Mohamad Cholid dan Dwi S. Irawanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini