Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Batik, Shanghai, dan Wayang Beber

Perancang Edward Hutabarat meluncurkan sebuah buku fesyen yang lain daripada yang lain. Menampilkan foto peragawati Isabel Yahya yang bisa dibeber sampai bermeter-meter.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isabel Yahya melenggang di sebuah sudut Kota Shanghai. Tubuh model itu terbungkus kimono bermotif batik Cirebon rancangan Edward Hutabarat. Jalan itu tampak panas dan sepi. Sedikit orang yang lalu-lalang. Seorang polisi tampak berdiri mengamati langkah Isabel.

Bila ada seorang desainer yang ingin menampilkan gaun-gaun rancangannyadalam sebuah buku yang unik, itulah Edward Hutabarat. Dalam dunia mode, Edward dikenal sebagai perancang batik yang kreatif. Sebagaimana perancang lainnya yang membuat buku, buku yang diluncurkannya itu tentunya luks. Tapi yang membuatnya beda adalah ia begitu berani dalam kreasi desain.

Buku itu dikemas dalam sebuah kotak hitam. Di sampul depannya tertera Part One Edward Hutabarat, menandakan bahwa buku ini akan disusul dengan edisi selanjutnya. Bila tutup kotak dibuka, kita akan melihat lembar-lembar halaman bu-ku seperti prakarya yang ditumpuk rapi. Dan yang mengejutkan, bila ditarik bisa membentang sampai 13 meter.

Dan di atas bentangan halaman demi halaman itu, kita dapat ”mengikuti” ayunan langkah peragawati Isabel Yahya menembus sudut-sudut tua Shanghai, gang-gang sempit penuh lampion merah, plaza-plaza, galeri barang antik, perpustakaan lama, panggung pementasan shaolin, jalan yang penuh sepeda, lintasan jalan tol, hingga The Silk City.

Melalui bidikan fotografer Davy Linggar, Isabel bagai kapstok yang berjalan menelusuri paradoks-paradoks Shanghai. Shanghai metropolis yang gemerlap sekaligus Shanghai yang kuno. Shanghai yang padat sekaligus Shanghai yang sepi. Isabel mengenakan batik bermotif Laweyan, Pekalongan, Cirebon, dan Yogyakarta. Di tangan Edward, batik menjadi busana modern yang bisa tampil global.

Bila Shanghai menjadi pilihan lokasi Edward Hutabarat, itu karena menurut dia ada pengaruh Cina dalam batik Indonesia. Dari mana dirinya lalu memiliki ide menampilkan buku dengan format bisa dibentangkan panjang itu? ”Saya ambil dari konsep wayang beber, yang digulung dan dibentangkan,” ujarnya.

Tidak hanya berhenti di situ. Yang juga berani dan patut dipuji dari buku ini adalah permainan komposisinya. Foto Isabel sering ditampilkan tidak utuh. Bagai tempelan perca-perca foto, lintasan fragmen-fragmen. Bidang-bidang halaman sering dengan porsi kosong yang besar. Jadinya buku itu sama sekali tak seperti sebuah buku yang menjual produk, melainkan sebuah ”art book” murni.

Desain grafis yang ditangani oleh Henricus Linggawidjaja ini hasil dari dis-kusi dengan Edward selama dua bulan. ”Ini sebuah kebebasan ekspresi, tanpa memikirkan untung-rugi,” Edward menjelaskan. Obsesinya adalah memperkenalkan batik Indonesia dalam sebuah buku desain gaya optik entertainmen yang berani dan segar.

Selain bisa dibentangkan, buku ini memiliki sisi bolak-balik. Sementara sisi muka menampilkan foto-foto Isabel di Shanghai, sisi belakangnya menampilkan hasil pengelanaan Edward Hutabarat, Isabel, dan Davy Linggar ke sudut-sudut Sumba Barat, Pulau Komodo, Bima, dan berbagai pelosok Nusantara lain. Di situ kita dapat melihat foto Isabel bersandar di tiang kapal tradisional, di hamparan laut bebas, dengan rencengan kalung kulit mutiara dan belitan-belitan kain—kreasi Edward—di tubuhnya. Atau foto Isabel mengenakan selendang sutra yang tertiup angin di sebuah padang rumput.

Cara Davy Linggar menampilkan Isabel, atau bila memotret segala aksesori bikinan Edward seperti kipas pandan, tusuk konde perak, gelang kulit mutiara, kancing, manik-manik, terasa tidak konvensional. Ada kalanya aksesori itu digeletakkan sendiri di sebuah sabana yang luas. Foto Davy Linggar cenderung minim cahaya serta sering mengeksplorasi siluet. Jepretannya juga kerap dilakukan dari sudut-sudut yang ”tak lazim”, menjadikannya tidak jatuh berselera moi indie.

Part 1 ini dibuat untuk konsumsi internasional. Kerja sama dilakukan Edward dengan toko buku Kinokuniya. Secara serentak, awal Desember ini Kinokuniya akan menerbitkan ke seluruh cabang di luar negeri seperti Thailand, Australia, dan Malaysia. Edward Hutabarat mengakui, untuk proyek ini ia menerima sponsor Jakarta Auction sebesar Rp 300 juta. Buku ini sendiri dijual seharga Rp 750 ribu. Namun, pembuatan Part 2 dan Part 3 diakuinya masih belum terpikirkan.

”Saya tak pernah berangkat dari rencana,” tuturnya.

Evieta Fadjar P., SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus