ASRAN Pulungan amat disegani penduduk. Ia pedagang hasil bumi
yang cukup berhasil di desa itu. Ia kepala SD Desa Sabajulu dan
karena itu penduduk tak segan-segan bergotong-royong mengerjakan
ladang dan kebunnya. Tapi awal Januari 1983 ini, ia berhadapan
dengan majelis hakim di Lubuk Sikaping. Ia dituduh telah
memperkosa paling sedikit 20 orang murid wanitanya sejak 1974.
Kasus yang mengguncangkan penduduk Desa Sabajulu (Kecamatan
Sungai Beramas, Pasaman, Sum-Bar -- di perbatasan Sumatera Barat
dan Sumatera Utara) itu, terungkap setelah seorang korban
bernama Marni (bukan nama sebenarnya) mengadu kepada
orangtuanya. Ayah Marni, Hasibuan yang juga tokoh terkemuka di
desa itu, melaporkan kejadian itu kepada polisi. Asran pun
ditahan.
Marni yang berkulit kuning dan bertubuh gempal mengaku digauli
kepala sekolahnya sejak masih duduk di kelas II SD tahun 1978.
Ketika itu, kata Marni, ia baru sekedar "bermesraan". Hubungan
yang layaknya dilakukan suami istri, menurut gadis kecil itu,
terjadi sejak ia duduk di kelas IV. Sejak itu berulang kali
Asran memanggil Marni ke kantornya, tempat hubungan gelap itu
dilakukan. Sampai akhirnya Marni menolak ajakan gurunya itu,
Oktober lalu. Karena penolakan itu, Asran menjadi berang dan
menampar muridnya itu. Sampai di rumah Marni sambil menangis
mengungkapkan semua pengalamannya kepada orangtuanya.
Dari cerita Marni inilah semua perbuatan Asran terungkap.
Ternyata menurut sumber TEMPO, sejak tahun 1974 Asran
"menggarap" murid-muridnya sedikitnya, katanya ada 20 murid yang
jadi korban. Banyak korban, menurut sumber itu, menutup mulut,
"karena malu, apalagi sekarang ada yang sudah berumah tangga,"
katanya. Sebab itu polisi Air Bangis baru menemukan 7 orang
murid yang dikatakan telah jadi korban perbuatan Asran. "Tapi
pengakuan 7 orang anak itu sudah cukup untuk bukti di
pengadilan," kata Dansek Kepolisian Sungai Beramas, Capa Ponio.
Ketujuh orang murid yang sekarang masih duduk di bangku SD itu
sudah diperiksa dokter Puskesmas kecamatan. Hasilnya, 6 orang
ternyata telah rusak "kegadisannya". Seorang lainnya, hanya
mengalami goresan pada vagina, diduga karena berhasil meronta
dan melepaskan diri dari cengkeraman Asran.
Pengalaman ketujuh murid itu juga pernah dirasakan murid-murid
wanita sebelumnya. Salah seorang di antaranya bernama Lilis
(bukan nama sebenarnya). Lilis, 15 tahun, dan sekarang sudah di
SLTA, mengaku digarap Asran ketika duduk di kelas VI SD desanya.
Suatu hari, tutur Lilis, ia dipanggil menghadap kepala sekolah
di kantornya. Tanpa curiga anak itu masuk ke kantor sekolah yang
juga dijadikan perpustakaan. Tapi baru saja ia berada di dalam,
Asran buru-buru mengunci pintu. "Jangan berteriak, kau harus
turuti perintah Bapak," kata Lilis menirukan gertak Asran ketika
itu.
Lilis kemudian diperintahkan Asran membuka pakaian. Karena
takut, ia mematuhinya. Di bangku panjang yang ada di ruangan
kantor itu, Lilis mengaku kehilangan perawannya. Begitu
perbuatan itu selesai, kata Lilis, ia diperintahkan berpakaian
dan kembali ke kelasnya. Beberapa hari kemudian, Lilis dipanggil
lagi. Berulang kali perbuatan itu terjadi tanpa seorang pun
tahu. Sebab Lilis juga takut menceritakan kepada orangtuanya.
Keadaan Desa Sabajulu yang terpencil dan kehidupan 500 jiwa
penduduk desa yang sederhana itu juga menjadi penyebab
tertutupnya perbuatan Asran selama bertahun-tahun. Sekitar 400
km dari Padang dan 10 km dari Tapanuli Selatan, Sabajulu belum
pernah diinjak kendaraan bermotor, sampai saat ini. Penduduk
desa yang sehari-hari berbahasa Mandahiling itu setiap hari
bekerja di ladang atau mencari hasil hutan. Setiap pagi penduduk
dewasa berpisah dengan anaknya di pintu rumah. Orangtua pergi
mencari nafkah, sementara anaknya pergi bersekolah. Bila malam
tiba, barulah mereka berkumpul kembali. Sebab itu tidak banyak
waktu anak-anak bertemu orangtuanya Termasuk anak-anak yang jadi
korban Asran.
Asran, 35 tahun, ayah dari lima orang anak, adalah putra asli
desa itu. Nasibnya lebih baik dari penduduk lainnya, karena
berhasil menamatkan SPG di Talu, sebuah kota kecil di Kabupaten
Pasaman, tahun 1968. Ia diangkat sebagai guru di desanya dan
kemudian menjadi kepala sekolah tahun 1971. Sebab itu Asran
semula adalah seorang pemuda yang jadi kebanggaan penduduk
desanya. Apalagi ia dipandang sebagai orang yang paling berada
di desa itu karena bisnis hasil buminya cukup sukses.
Tapi kebanggaan itu mulai sirna, ketika ketahuan Asran suka
"menggauli" istri penduduk yang ditinggal suaminya, pada malam
hari. Setelah diadakan "rembuk desa" tahun 1974, pemuka
masyarakat mengadukan Asran ke Kakandep P&K Air Bangis, ibukota
Kecamatan Sungai Beramas. Penduduk meminta agar Asran
dipindahkan dari Sabajulu. Namun pengaduan itu ternyata tidak
mendapat tanggapan, sampai terbongkarnya kasus yang dikatakan
sebagai pemerkosaan terhadap murid-muridnya itu.
Polisi yang mengusut kasus ini menahan Asran 27 November lalu.
Tapi 10 hari kemudian, guru itu dikenakan tahanan rumah berkat
jaminan Kakandep P&K Air Bangis, Thamrin Pulungan yang semarga
dengan Asran. Jaminan yang diberikan Thamrin itu sempat membuat
kaget Kepala Dinas Departemen P&K Pasaman, Moh. Aroes Malik, SH.
"Perbuatan Asran itu amat memalukan," kata Aroes Malik. Menurut
pejabat P&K kabupaten ini, ia sudah mengusulkan kepada Kanwil
P&K agar Asran dipecat begitu selesai persidangan pengadilan.
Danres Pasaman, Letkol. Pol. Utik Setia pekan lalu langsung
memerintahkan bawahannya agar menahan Asran kembali sampai ada
keputusan pengdilan. "Biar dia tahu perbuatannya terkutuk,"
kata Utik.
Baik Asran maupun Thamrin mengelak ketika ditemui Fachrul Rasyid
dari TEMPO. Tapi penduduk Sabajulu sekarang mengaku lega. Sebab
sejak kasus ini terbongkar, menurut beberapa orang penduduk,
gangguan harimau yang selama 5 tahun ini mengancam penduduk,
tiba-tiba menghilang. "Sejak Asran ditangkap tidak ada lagi
orang yang melihat harimau di pinggir desa ini," ujar seorang
penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini