Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kepala Sekolah Dan Murid-Murid Wanitanya

Kepala sekolah SD desa sabajulu, asran, dituduh memperkosa murid-murid wanitanya, sejak th 1974, bulan januari '83, disidangkan, dengan tuduhan telah memperkosa paling sedikit 20 murid wanitanya. (krim)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASRAN Pulungan amat disegani penduduk. Ia pedagang hasil bumi yang cukup berhasil di desa itu. Ia kepala SD Desa Sabajulu dan karena itu penduduk tak segan-segan bergotong-royong mengerjakan ladang dan kebunnya. Tapi awal Januari 1983 ini, ia berhadapan dengan majelis hakim di Lubuk Sikaping. Ia dituduh telah memperkosa paling sedikit 20 orang murid wanitanya sejak 1974. Kasus yang mengguncangkan penduduk Desa Sabajulu (Kecamatan Sungai Beramas, Pasaman, Sum-Bar -- di perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara) itu, terungkap setelah seorang korban bernama Marni (bukan nama sebenarnya) mengadu kepada orangtuanya. Ayah Marni, Hasibuan yang juga tokoh terkemuka di desa itu, melaporkan kejadian itu kepada polisi. Asran pun ditahan. Marni yang berkulit kuning dan bertubuh gempal mengaku digauli kepala sekolahnya sejak masih duduk di kelas II SD tahun 1978. Ketika itu, kata Marni, ia baru sekedar "bermesraan". Hubungan yang layaknya dilakukan suami istri, menurut gadis kecil itu, terjadi sejak ia duduk di kelas IV. Sejak itu berulang kali Asran memanggil Marni ke kantornya, tempat hubungan gelap itu dilakukan. Sampai akhirnya Marni menolak ajakan gurunya itu, Oktober lalu. Karena penolakan itu, Asran menjadi berang dan menampar muridnya itu. Sampai di rumah Marni sambil menangis mengungkapkan semua pengalamannya kepada orangtuanya. Dari cerita Marni inilah semua perbuatan Asran terungkap. Ternyata menurut sumber TEMPO, sejak tahun 1974 Asran "menggarap" murid-muridnya sedikitnya, katanya ada 20 murid yang jadi korban. Banyak korban, menurut sumber itu, menutup mulut, "karena malu, apalagi sekarang ada yang sudah berumah tangga," katanya. Sebab itu polisi Air Bangis baru menemukan 7 orang murid yang dikatakan telah jadi korban perbuatan Asran. "Tapi pengakuan 7 orang anak itu sudah cukup untuk bukti di pengadilan," kata Dansek Kepolisian Sungai Beramas, Capa Ponio. Ketujuh orang murid yang sekarang masih duduk di bangku SD itu sudah diperiksa dokter Puskesmas kecamatan. Hasilnya, 6 orang ternyata telah rusak "kegadisannya". Seorang lainnya, hanya mengalami goresan pada vagina, diduga karena berhasil meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman Asran. Pengalaman ketujuh murid itu juga pernah dirasakan murid-murid wanita sebelumnya. Salah seorang di antaranya bernama Lilis (bukan nama sebenarnya). Lilis, 15 tahun, dan sekarang sudah di SLTA, mengaku digarap Asran ketika duduk di kelas VI SD desanya. Suatu hari, tutur Lilis, ia dipanggil menghadap kepala sekolah di kantornya. Tanpa curiga anak itu masuk ke kantor sekolah yang juga dijadikan perpustakaan. Tapi baru saja ia berada di dalam, Asran buru-buru mengunci pintu. "Jangan berteriak, kau harus turuti perintah Bapak," kata Lilis menirukan gertak Asran ketika itu. Lilis kemudian diperintahkan Asran membuka pakaian. Karena takut, ia mematuhinya. Di bangku panjang yang ada di ruangan kantor itu, Lilis mengaku kehilangan perawannya. Begitu perbuatan itu selesai, kata Lilis, ia diperintahkan berpakaian dan kembali ke kelasnya. Beberapa hari kemudian, Lilis dipanggil lagi. Berulang kali perbuatan itu terjadi tanpa seorang pun tahu. Sebab Lilis juga takut menceritakan kepada orangtuanya. Keadaan Desa Sabajulu yang terpencil dan kehidupan 500 jiwa penduduk desa yang sederhana itu juga menjadi penyebab tertutupnya perbuatan Asran selama bertahun-tahun. Sekitar 400 km dari Padang dan 10 km dari Tapanuli Selatan, Sabajulu belum pernah diinjak kendaraan bermotor, sampai saat ini. Penduduk desa yang sehari-hari berbahasa Mandahiling itu setiap hari bekerja di ladang atau mencari hasil hutan. Setiap pagi penduduk dewasa berpisah dengan anaknya di pintu rumah. Orangtua pergi mencari nafkah, sementara anaknya pergi bersekolah. Bila malam tiba, barulah mereka berkumpul kembali. Sebab itu tidak banyak waktu anak-anak bertemu orangtuanya Termasuk anak-anak yang jadi korban Asran. Asran, 35 tahun, ayah dari lima orang anak, adalah putra asli desa itu. Nasibnya lebih baik dari penduduk lainnya, karena berhasil menamatkan SPG di Talu, sebuah kota kecil di Kabupaten Pasaman, tahun 1968. Ia diangkat sebagai guru di desanya dan kemudian menjadi kepala sekolah tahun 1971. Sebab itu Asran semula adalah seorang pemuda yang jadi kebanggaan penduduk desanya. Apalagi ia dipandang sebagai orang yang paling berada di desa itu karena bisnis hasil buminya cukup sukses. Tapi kebanggaan itu mulai sirna, ketika ketahuan Asran suka "menggauli" istri penduduk yang ditinggal suaminya, pada malam hari. Setelah diadakan "rembuk desa" tahun 1974, pemuka masyarakat mengadukan Asran ke Kakandep P&K Air Bangis, ibukota Kecamatan Sungai Beramas. Penduduk meminta agar Asran dipindahkan dari Sabajulu. Namun pengaduan itu ternyata tidak mendapat tanggapan, sampai terbongkarnya kasus yang dikatakan sebagai pemerkosaan terhadap murid-muridnya itu. Polisi yang mengusut kasus ini menahan Asran 27 November lalu. Tapi 10 hari kemudian, guru itu dikenakan tahanan rumah berkat jaminan Kakandep P&K Air Bangis, Thamrin Pulungan yang semarga dengan Asran. Jaminan yang diberikan Thamrin itu sempat membuat kaget Kepala Dinas Departemen P&K Pasaman, Moh. Aroes Malik, SH. "Perbuatan Asran itu amat memalukan," kata Aroes Malik. Menurut pejabat P&K kabupaten ini, ia sudah mengusulkan kepada Kanwil P&K agar Asran dipecat begitu selesai persidangan pengadilan. Danres Pasaman, Letkol. Pol. Utik Setia pekan lalu langsung memerintahkan bawahannya agar menahan Asran kembali sampai ada keputusan pengdilan. "Biar dia tahu perbuatannya terkutuk," kata Utik. Baik Asran maupun Thamrin mengelak ketika ditemui Fachrul Rasyid dari TEMPO. Tapi penduduk Sabajulu sekarang mengaku lega. Sebab sejak kasus ini terbongkar, menurut beberapa orang penduduk, gangguan harimau yang selama 5 tahun ini mengancam penduduk, tiba-tiba menghilang. "Sejak Asran ditangkap tidak ada lagi orang yang melihat harimau di pinggir desa ini," ujar seorang penduduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus