Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tikus-tikus wanita di tengah pasar

Komplotan pencopet wanita di pasar pusat kota sukabumi, berhasil ditangkap, mereka beroperasi seperti tikus. (krim)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI tahun 1983 ini para pedagang di Pasar Pusat Kota Sukabumi, Jawa Barat, bernapas lega. "Beurit (tikus) pasar ini sekarang hampir tak ada lagi," kata seorang pedagang kelontong sambil tertawa lebar. Tikus yang dimaksud adalah pencopet dan pencuri, di antaranya sebuah komplotan beranggota enam orang wanita. Komplotan ini dimotori Asih, 25 tahun, ibu rumah tangga, bersama kakaknya, Isom (26 tahun) dan adiknya Isah (13 tahun) serta tiga orang bibinya Odah (22 tahun), Uju (28 tahun) dan Tinu (24 tahun) -- semua bukan nama sebenarnya. Barang atau uang yang diambil, menurut para pedagang memang boleh dibilang tak seberapa. Paling hanya berupa selembar kain atau uang sekian ribu rupiah. Tapi, karena seringnya "tikus-tikus" itu beroperasi, para pedagang akhirnya gelisah juga. Sampai-sampai tiga bulan lalu Danramil 0702 Sukabumi, Capa K. Supriatna, pernah mendapat sepucuk surat kaleng. Isinya menceriterakan keresahan para pedagang karena berkeliarannya "tikus-tikus" tadi. Kepala Keamanan Pasar, Soewito 30 tahun, pun jadi penasaran. Sebenarnya, sebelum surat kaleng muncul, ia dan anak buahnya sudah menangkap beberapa penjahat kelas teri. Adanya surat kaleng membuat Soewito tambah jeli memperhatikan gerak-gerik pengunjung pasar. Hasilnya 30 pencuri dan pencopet berhasil ditangkap dalam empat bulan terakhir. Termasuk di dalamnya komplotan Asih yang tertangkap pertengahan Desember lalu. Komplotan wanita pencopet yang beroperasi sejak lima bulan lalu itu dikenal gesit dan lihai -- tak ubahnya seperti tikus. "Kalau beraksi mereka tenangtenang saja. Tapi bila ketahuan, mereka langsung marah-marah dan berlagak tersinggung dituduh telah mencuri. Kami tak bisa berbuat apa-apa, karena memang barang bukti tak ada -- entah disembunyikan di mana," kata Sueb, pedagang yang pernah kehilangan uang. Tertangkapnya komplotan Asih, semata berkat kejelian mata Soewito dan anak buahnya. Ketika itu hari masih pagi. Pasar yang berseberangan dengan stasiun kereta api, ramai oleh para wanita yang hendak berbelanja. A Hien, pemilik toko "Berkah" didatangi tiga wanita muda yang menawar kain sarung. A Hien tentu senang sepagi itu sudah mau mendapat rezeki. Tawar-menawar masih berlangsung ketika tiga calon pembeli lain, juga wanita, datang dan minta cepat dilayani karena katanya terburu-buru. A Hien pun, berusaha melayani calon pembeli baru itu. Ternyata calon pembeli ini tak jadi membeli, dengan alasan harganya terlalu tinggi. Tapi ketika A Hien berpaling pada calon pembeli yang pertama, ia mendapati kain sarung yang tadi ditawar telah hilang. Secara tak langsung A Hien menuduh calon pembeli yang belakangan. Tapi ia malah digertak, "silakan geledah kantung saya," kata seorang dari tiga wanita itu dengan galaknya. A Hien tak bisa berbuat apa-apa, sebab kantung plastik yang dibawa wanita itu memang kosong. Namun rupanya Soewito sudah siap. Sejak pagi, ia memerintahkan anak buahnya menguntit wanita-wanita itu. Benar juga. Keenam wanita itu, setelah berhasil menggaet kain sarung, ternyata bertemu di Jalan Kapten Harun Kabir, sekitar 300 meter dari toko "Berkah". Mereka pun digerebek. Sekali itu karena ada barang bukti, mereka tak bisa mungkir. Asih mengaku selalu beroperasi bersama komplotannya. Ia yang berwajah lumayan, biasanya bertugas menawar atau mengajak ngobrol si penjaga toko untuk mengalihkan perhatian. Lalu, temannya segera menggaet barang dagangan. Anggota komplotan yang lain, berfungsi semacam tameng, supaya teman yang membawa barang curian bisa meloloskan diri dengan aman. Mereka tak dibawa ke kantor polisi, melainkan ke kantor Danramil 0702. Maka polisi Sukabumi pun merasa dilangkahi. "Semestinya diserahkan dahulu kepada kami, sebab masalah kriminal merupakan wewenang polisi," kata Kapten Pol Oim, Kasi Intel Kepolisian Kotamadya Sukabumi. Namun Danrarmil Capa Supriatna punya alasan kuat turut menangani soal itu. Pertama, katanya, penyerahan dari pihak pasar semata berdasar surat kaleng tempo hari. Kedua kebetulan kawanan Asih bertempat tinggal hanya sekitar 100 meter dari kantor Koramil itu. Tepatnya di Kampung Cisarua Girang, Desa Warnasari, di sebuah rumah seluas ñ 50 m2. Mereka tinggal bersama Nyi Unah, 45 tahun, ibu Asih. Sejak si ayah meninggal tiga tahun lalu, kehidupan keluarga itu cukup berat. Tapi Nyi Unah hampir tak percaya kalau tiga dari empat anaknya telah kedapatan mencuri. Meski terkadang seharian mereka tak di rumah, "mereka anak-anak baik yang tak pernah merepotkan orangtua." Asih sendiri, begitu pula kakaknya Isom, sebenarnya telah bersuami. Hanya nampaknya penghasilan mereka jauh dari cukup. Dan itulah, menurut Capa Supriatna, yang membuat mereka berbuat nekat. Maka, setelah ditahan dua hari dan menyatakan tobat, Asih dan komplotannya dilepas. Mereka hanya diwajibkan melapor ke Koramil tiap pagi atau bila hendak bepergian ke luar rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus