MEMASUKI tahun 1983 ini para pedagang di Pasar Pusat Kota
Sukabumi, Jawa Barat, bernapas lega. "Beurit (tikus) pasar ini
sekarang hampir tak ada lagi," kata seorang pedagang kelontong
sambil tertawa lebar. Tikus yang dimaksud adalah pencopet dan
pencuri, di antaranya sebuah komplotan beranggota enam orang
wanita. Komplotan ini dimotori Asih, 25 tahun, ibu rumah tangga,
bersama kakaknya, Isom (26 tahun) dan adiknya Isah (13 tahun)
serta tiga orang bibinya Odah (22 tahun), Uju (28 tahun) dan
Tinu (24 tahun) -- semua bukan nama sebenarnya.
Barang atau uang yang diambil, menurut para pedagang memang
boleh dibilang tak seberapa. Paling hanya berupa selembar kain
atau uang sekian ribu rupiah. Tapi, karena seringnya
"tikus-tikus" itu beroperasi, para pedagang akhirnya gelisah
juga.
Sampai-sampai tiga bulan lalu Danramil 0702 Sukabumi, Capa K.
Supriatna, pernah mendapat sepucuk surat kaleng. Isinya
menceriterakan keresahan para pedagang karena berkeliarannya
"tikus-tikus" tadi.
Kepala Keamanan Pasar, Soewito 30 tahun, pun jadi penasaran.
Sebenarnya, sebelum surat kaleng muncul, ia dan anak buahnya
sudah menangkap beberapa penjahat kelas teri. Adanya surat
kaleng membuat Soewito tambah jeli memperhatikan gerak-gerik
pengunjung pasar. Hasilnya 30 pencuri dan pencopet berhasil
ditangkap dalam empat bulan terakhir. Termasuk di dalamnya
komplotan Asih yang tertangkap pertengahan Desember lalu.
Komplotan wanita pencopet yang beroperasi sejak lima bulan lalu
itu dikenal gesit dan lihai -- tak ubahnya seperti tikus. "Kalau
beraksi mereka tenangtenang saja. Tapi bila ketahuan, mereka
langsung marah-marah dan berlagak tersinggung dituduh telah
mencuri. Kami tak bisa berbuat apa-apa, karena memang barang
bukti tak ada -- entah disembunyikan di mana," kata Sueb,
pedagang yang pernah kehilangan uang.
Tertangkapnya komplotan Asih, semata berkat kejelian mata
Soewito dan anak buahnya. Ketika itu hari masih pagi. Pasar yang
berseberangan dengan stasiun kereta api, ramai oleh para wanita
yang hendak berbelanja. A Hien, pemilik toko "Berkah" didatangi
tiga wanita muda yang menawar kain sarung. A Hien tentu senang
sepagi itu sudah mau mendapat rezeki.
Tawar-menawar masih berlangsung ketika tiga calon pembeli lain,
juga wanita, datang dan minta cepat dilayani karena katanya
terburu-buru. A Hien pun, berusaha melayani calon pembeli baru
itu. Ternyata calon pembeli ini tak jadi membeli, dengan alasan
harganya terlalu tinggi. Tapi ketika A Hien berpaling pada calon
pembeli yang pertama, ia mendapati kain sarung yang tadi ditawar
telah hilang. Secara tak langsung A Hien menuduh calon pembeli
yang belakangan. Tapi ia malah digertak, "silakan geledah
kantung saya," kata seorang dari tiga wanita itu dengan
galaknya. A Hien tak bisa berbuat apa-apa, sebab kantung plastik
yang dibawa wanita itu memang kosong.
Namun rupanya Soewito sudah siap. Sejak pagi, ia memerintahkan
anak buahnya menguntit wanita-wanita itu. Benar juga. Keenam
wanita itu, setelah berhasil menggaet kain sarung, ternyata
bertemu di Jalan Kapten Harun Kabir, sekitar 300 meter dari toko
"Berkah". Mereka pun digerebek. Sekali itu karena ada barang
bukti, mereka tak bisa mungkir.
Asih mengaku selalu beroperasi bersama komplotannya. Ia yang
berwajah lumayan, biasanya bertugas menawar atau mengajak
ngobrol si penjaga toko untuk mengalihkan perhatian. Lalu,
temannya segera menggaet barang dagangan. Anggota komplotan yang
lain, berfungsi semacam tameng, supaya teman yang membawa barang
curian bisa meloloskan diri dengan aman.
Mereka tak dibawa ke kantor polisi, melainkan ke kantor Danramil
0702. Maka polisi Sukabumi pun merasa dilangkahi. "Semestinya
diserahkan dahulu kepada kami, sebab masalah kriminal merupakan
wewenang polisi," kata Kapten Pol Oim, Kasi Intel Kepolisian
Kotamadya Sukabumi. Namun Danrarmil Capa Supriatna punya alasan
kuat turut menangani soal itu. Pertama, katanya, penyerahan dari
pihak pasar semata berdasar surat kaleng tempo hari. Kedua
kebetulan kawanan Asih bertempat tinggal hanya sekitar 100 meter
dari kantor Koramil itu.
Tepatnya di Kampung Cisarua Girang, Desa Warnasari, di sebuah
rumah seluas ñ 50 m2. Mereka tinggal bersama Nyi Unah, 45 tahun,
ibu Asih. Sejak si ayah meninggal tiga tahun lalu, kehidupan
keluarga itu cukup berat. Tapi Nyi Unah hampir tak percaya kalau
tiga dari empat anaknya telah kedapatan mencuri. Meski terkadang
seharian mereka tak di rumah, "mereka anak-anak baik yang tak
pernah merepotkan orangtua."
Asih sendiri, begitu pula kakaknya Isom, sebenarnya telah
bersuami. Hanya nampaknya penghasilan mereka jauh dari cukup.
Dan itulah, menurut Capa Supriatna, yang membuat mereka berbuat
nekat. Maka, setelah ditahan dua hari dan menyatakan tobat, Asih
dan komplotannya dilepas. Mereka hanya diwajibkan melapor ke
Koramil tiap pagi atau bila hendak bepergian ke luar rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini