Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIOS mungil berukuran 12 meter persegi itu berlokasi di pinggir jalan Desa Cipangeran, Saguling, Bandung Barat, Jawa Barat. Pemiliknya, Tarsah, tinggal di rumah di belakang kios. Pria paruh baya itu dikenal warga desa sebagai penjual pupuk bersubsidi jenis urea, ZA, NPK, dan SP-36.
Setahun Tarsah bisa menjual rata-rata 50 ton pupuk dengan keuntungan Rp 400 per kilogram. Semua pupuk dijual di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Pupuk itu, menurut Tarsah, diperoleh dari kiriman saudaranya yang bekerja sebagai penyuluh pertanian di desa lain. Harga yang diperoleh ada yang lebih murah, ada pula yang sesuai dengan HET. Dia tidak mengetahui bahwa harga pupuk ditetapkan oleh pemerintah.
”Saya menjual dengan harga lebih tinggi agar ada keuntungan,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Lokasi desa yang berada di lereng bukit di atas Waduk Saguling dengan jalan yang terjal berbatu menjadi pertimbangan Tarsah menetapkan harga. Meski datangnya kerap telat, pupuk buatan PT Petrokimia dan PT Kujang itu ludes karena memang dibutuhkan petani.
Awan Gunawan, Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Cipangeran, mengatakan tidak pernah membeli pupuk menurut HET. ”Hampir tidak ada harga yang sesuai dengan ketetapan pemerintah,” katanya. Awan tak mempersoalkan penyelewengan tersebut. ”Yang penting pupuk ada,” ujarnya.
Modus lain dalam penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi terjadi pada saat penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Dokumen RDKK digunakan sebagai penyusun kebutuhan pupuk bersubsisi oleh Kementerian Pertanian. RDKK harus diisi oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang dikumpulkan oleh petugas penyuluh pertanian tingkat kabupaten dan diteruskan ke pemerintah pusat.
Kenyataannya, Awan menambahkan, RDKK tidak pernah disusun sendiri oleh Gapoktan. Nama petani, jumlah lahan sawah, dan kebutuhan pupuk tidak pernah diisi oleh Awan. ”Saya hanya memberikan tanda tangan. Saya tidak tahu diisi apa oleh penyuluh,” katanya. Tahun ini kebutuhan pupuk bersubsidi 10,528 juta ton dengan jumlah subsidi Rp 16,9 triliun.
Muhammad Fahazza, ketua tim audit sosial pupuk Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dan United States Agency for International Development (USAID) mengatakan penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi kunci penyelewengan pupuk bersubsidi.
Dari penelitian dan survei, tim itu menemukan penyelewengan pupuk bersubsidi di 7 dari 10 kota yang diteliti. Audit yang digelar pada pertengahan 2011 itu menemukan penyelewengan, antara lain, pupuk dijual di atas HET, pupuk dioplos, dan kelangkaan pupuk ketika petani membutuhkan. ”Hampir tidak ada penyaluran pupuk yang ideal. Dari 10 kota yang kami teliti, 7 kota sangat parah,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tim menemukan jatah pupuk yang diterima pengecer lebih kecil daripada usulan dalam RDKK. ”Sisa jatah diduga kuat disalurkan ke lokasi lain,” kata Sukri Alvaro, anggota tim. Bahkan, di beberapa pengecer, pupuk bersubsidi dioplos dengan bahan lain sehingga kualitasnya buruk.
Salah satu cara mendapat sisa pupuk bersubsidi, Sukri menambahkan, adalah menyusun RDKK fiktif. Misalnya yang terjadi di Desa Gili Genting, Sekotong, Lombok Barat. Di sana RDKK fiktif disusun oleh Gapoktan fiktif. Motif membentuk Gapoktan fiktif adalah mendapatkan jatah bantuan dana Rp 100 juta per Gapoktan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2010.
Dalam proposal, dana bantuan itu bakal digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi. Kenyataannya, pupuk tak dibeli, dan dana bantuan digunakan untuk kebutuhan lain. ”Akibatnya, jatah pupuk untuk Gapoktan fiktif ini dijual bebas oleh distributor dan pengecer,” katanya.
Penyelewengan juga ditemukan Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA). Winarno Tohir, Ketua KTNA, mengatakan penyaluran pupuk bersubsidi banyak yang tidak tepat sasaran karena lebih mengedepankan prinsip bisnis.
Muhammad Rahwini, pengurus KTNA Jawa Timur, mengatakan penyelewengan pupuk dimulai dari distributor. Dia pernah bersaksi dalam penyidikan kepolisian Jember mengenai distributor yang tertangkap karena menyalurkan pupuk bersubsidi di luar wilayahnya. ”Namun proses hukumnya berhenti,” katanya. Rahwini jelas kecewa lantaran terhentinya proses hukum itu, sementara praktek jahat terus berlangsung.
Untuk menutupi praktek nakalnya, distributor biasa menggunakan tangan pengusaha lain. Pengusaha itu diberi kewenangan menyalurkan pupuk dengan komitmen bayaran Rp 10 per kilogram. Rahwini meyakini pengusaha ini tidak menjual pupuk ke petani yang terdaftar, tapi ke perusahaan perkebunan yang tergolong perusahaan pelat merah. ”Saya menyaksikannya sendiri,” katanya. Praktek nakal ini tidak terlihat dalam laporan penyaluran yang dibuat sesuai dengan RDKK.
Kusyanto, Ketua KTNA Riau, mengatakan praktek penyelewengan di daerahnya bahkan melibatkan pegawai dinas pertanian. Kusyanto, yang pernah menjadi pengecer pupuk, mengakui kerap memberi uang pelicin agar mendapat jatah pupuk. ”Kalau tidak diberi, berkasnya tidak ditandatangani,” katanya.
Zaenal Soedjais, mantan Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja, menilai penyelewengan bersumber pada jumlah distributor yang terus membengkak. Data Dewan Pupuk Indonesia menyebutkan jumlah distributor mencapai 12 ribu, naik dari jumlah 3.000 pada sepuluh tahun silam.
Pembengkakan jumlah pengecer itu disebabkan gurihnya keuntungan penyaluran pupuk bersubsidi. Soedjais mengatakan untuk menjadi distributor kerap kali dibutuhkan restu pejabat Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Dewan Perwakilan Rakyat, dan BUMN itu sendiri. ”Aturannya terbuka. Tapi, tanpa katabelece, tidak mungkin jadi distributor,” katanya.
Sumardjo Gatot Irianto, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, membantah adanya penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi. Dia mengatakan pupuk dijual di atas acuan karena ada tambahan ongkos pengiriman ke petani.
Adapun Koeshartono, Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia, mengakui terjadinya penyelewengan. Namun penyimpangan itu disebutnya dimulai dari tingkat petani. Koeshartono menduga ada petani yang sengaja menjual pupuk bersubsidi ke pengecer spekulan. Setelah pupuk terkumpul, oleh pengecer spekulan dijual kembali. ”Pengecer inilah yang terlihat seolah-olah distributor,” katanya.
Fahazza menghitung, praktek penyelewengan pupuk bersubsidi membuat ongkos produksi petani membengkak 10 persen. Perbaikan sistem sulit diharapkan karena petani tidak memiliki akses untuk menyampaikan protes. ”Tidak ada mekanisme komplain yang baku,” katanya.
Akbar Tri Kurniawan, Eka Utami Aprilia
Jumlah Kebutuhan Pupuk dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi 2012
Jumlah Distributor PT Pupuk Indonesia (Persero): 2.485
Jumlah Kios PT Pupuk Indonesia (Persero): 54.531
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo