Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 76 ton pupuk itu akhirnya batal naik kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis dua pekan lalu. Dimuat dalam empat kontainer berkapasitas 20 kaki, bubuk urea itu dikemas dalam 1.520 karung. Masing-masing berisi 50 kilogram. Di tiap karung jelas tertera tulisan ”Pupuk Kujang Cikampek”, dengan spesifikasi jenis urea prill yang mengandung 46 persen nitrogen.
Terdaftar sebagai komoditas yang disubsidi oleh anggaran negara dan diawasi peredarannya, butiran penyubur tanah itu hendak diselundupkan ke Malaysia. Dua pelaku yang ditahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencoba mengelabui petugas dengan menyatakan isi kontainer itu berupa 6.000 kantong Jatropha Seed Press Cake atau biji buah jarak yang sudah diperas.
Belum diketahui persis siapa calon penerima pupuk itu. Aparat menduga urea itu hendak dikirim ke perkebunan sawit, yang banyak terdapat di negeri jiran. ”Pupuk urea bersubsidi dilarang untuk diekspor,” kata juru bicara Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, Agus Rofiudin. ”Tindakan itu merugikan negara dan rakyat Indonesia.”
Jatah subsidi pupuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan pada tahun ini saja dialokasikan Rp 13,96 triliun, dengan volume 8,5 juta ton. Angka itu sudah diturunkan dari anggaran awal di APBN yang jumlahnya Rp 16,94 triliun, untuk 10,53 juta ton pupuk.
Besaran subsidi itulah yang selama bertahun-tahun ditengarai menjadi incaran berbagai pihak untuk diselewengkan. Kasus di Tanjung Priok itu adalah salah satu dari beragam modus yang diungkap dan ditangani sampai ke proses hukum. ”Sudah banyak sekali laporan yang disampaikan, tapi jarang yang ditangkap,” kata Siswono Yudohusodo, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, yang membawahkan masalah pertanian, Jumat pekan lalu. ”Pupuk bersubsidi kita itu banyak ditemukan di perkebunan di Malaysia.”
Mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini menuding tindakan penyelewengan pupuk dengan berbagai modus itu berlangsung dengan melibatkan aparat penegak hukum. Ia bahkan mengaku memiliki rekaman video yang diambil di lokasi pengoplosan dan pengemasan ulang pupuk subsidi di sebuah wilayah di Jawa Tengah. Karung-karung baru itu seolah-olah berisi pupuk untuk industri perkebunan dan untuk tujuan ekspor, yang harganya jauh lebih tinggi. ”Ada polisi yang terekam berada di lokasi itu,” katanya.
Dalam beberapa kasus, polisi sebenarnya juga telah unjuk gigi. Pada pekan terakhir Desember tahun lalu, misalnya, Kepolisian Resor Depok, Jawa Barat, menggulung jaringan besar pengemas ulang pupuk bersubsidi itu. ”Total seluruh pupuk yang disita lebih dari 1.000 ton,” kata Kepala Polres Depok Komisaris Besar Mulyadi Kaharni, ketika itu.
Toh, Siswono berkeras bahwa para pelaku di berbagai daerah lain seperti tak terjamah, terutama para pemain besar di belakang layar. Dia mengaku heran tindakan yang sangat kasatmata itu bebas terjadi. ”Aparatnya justru seperti melindungi. Pupuk subsidi itu warnanya pink, kalau mau, mudah sekali menemukannya di perkebunan-perkebunan besar.”
Tak ada angka pasti berapa besar jatah subsidi buat petani yang diselewengkan sebelum sampai tujuan. Laporan terbaru dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) setidaknya bisa jadi rujukan perkiraan. Bekerja sama dengan lembaga donor yang dibiayai Amerika Serikat (USAID), organisasi nonpemerintah itu mengadakan audit sosial terhadap distribusi pupuk bersubsidi di 10 kota sepanjang tahun lalu, yakni Bandung Barat, Solo, Gresik, Pekalongan, Lombok Barat, Jeneponto, Aceh, Semarang, Serang, dan Jayapura.
Hasilnya, mereka menemukan terjadinya penyelewengan parah dengan beragam cara di 7 dari 10 kota yang diteliti, mulai gudang produsen, tingkat distributor, pengecer, sampai gabungan kelompok tani yang nakal mengakali Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), atau bahkan kelompok tani fiktif (lihat: ”Terbangnya Pupuk Bersubsidi”).
Penyelewengan sebetulnya juga terjadi di tiga daerah lain, yakni Semarang, Solo, dan Pekalongan, tapi tak keterlaluan. ”Modus paling banyak adalah penjualan di atas harga eceran tertinggi (HET),” kata Muhammad Fahazza, yang mengetuai tim audit, Senin dua pekan lalu.
Seperti halnya Siswono, tim ini menemukan penyimpangan yang sudah berjalan bertahun-tahun dan kuat diduga sengaja dibiarkan oleh para pemangku kebijakan. ”Ini by design,” ujarnya.
Dia menjelaskan, alokasi subsidi disalurkan dalam beberapa tahap. Yang pertama adalah transfer dana pemerintah ke PT Pupuk Indonesia Persero (dulu PT Pupuk Sriwidjaja atau Pusri), perusahaan negara sebagai induk yang membawahkan lima produsen pupuk: Petrokimia Gresik, Pupuk Kujang Cikampek, Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Iskandar Muda, dan Pupuk Sriwidjaja Palembang. Transfer duit itu merupakan subsidi gas sebagai bahan baku utama pupuk kimia, seperti urea, NPK, dan ZA.
Subsidi berikutnya ada di lini kedua, yakni ongkos distribusi dari produsen ke gudang. Hal yang sama diberikan pada lini selanjutnya di tingkat distributor, hingga lini keempat atau yang terakhir, ketika pupuk disalurkan pengecer ke petani. Tim audit melihat penyimpangan itu terjadi di semua lini.
Zaenal Soedjais, mantan Direktur Utama Pusri, yang sekarang mengetuai Dewan Pupuk Indonesia, mengakui kebenaran temuan tim itu. Ia mengatakan produsen memilih langsung distributor tanpa melalui tender terbuka. Akibatnya, banyak pejabat eksekutif dan legislatif serta aparat keamanan yang kerap menitipkan rekanan atau koleganya agar bisa menjadi distributor. ”Ketika mendaftar, mereka kerap menyertakan rekomendasi anggota Dewan, pejabat Kementerian Pertanian atau Perdagangan, dan orang BUMN sendiri,” katanya.
Aturan dan sanksi untuk distributor yang jelas-jelas buruk, misalnya menyelewengkan pupuk, sering tak bisa ditegakkan. Jumlah distributor pun membengkak. Sepuluh tahun lalu, kata Soedjais, tercatat sekitar 3.000 distributor pupuk di seluruh Indonesia. Kebanyakan koperasi unit desa (KUD). Sekarang distributor didominasi oleh swasta. ”Jumlahnya sudah 12 ribu-an. Pengawasan terhadap mereka hanya pura-pura.”
Telepon penting itu diterima Zaenal Soedjais pada suatu pagi. Ketika itu, dia menjadi Presiden Direktur PT Asean Aceh Fertilizer (1995-Juni 2001). Di seberang sana terdengar suara Hartarto Sastrosoenarto, yang kala itu jadi Menteri Koordinator Bidang Produksi dan Distribusi di kabinet terakhir Orde Baru.
Hartarto menelepon Soedjais karena sebelumnya dia dihubungi Presiden Soeharto, yang bicara dengan nada marah. ”Pak Harto menanyakan kenapa pupuk di suatu daerah bisa mahal, dan minta segera dicarikan solusinya,” Soedjais bercerita.
Selidik punya selidik, mereka akhirnya tahu apa yang membuat Presiden berang. ”Ternyata Pak Harto baru saja membaca berita kecil di koran mengenai pupuk mahal di sebuah daerah,” katanya. ”Sekarang pejabat malah menyalahkan medianya.”
Dugaan penyelewengan seperti terungkap dalam penelitian PATTIRO dan sinyalemen Soedjais ditampik produsen dan para pejabat yang mengurusi distribusi pupuk bersubsidi. Ada pula yang lebih suka mengarahkan jari telunjuk ke tempat lain.
”Tidak ada masalah dalam distribusi pupuk bersubsidi di Surakarta,” kata Kepala Dinas Pertanian Surakarta Weni Ekayanti. ”Selama ini sudah ada pengawasan dari KP3 (Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida).”
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo juga membantah anggapan tentang banyaknya distributor titipan anggota Dewan atau pejabat kementerian. ”Keluhan yang disampaikan kepada kami adalah seringnya data RDKK dari kelompok tani yang tidak valid.”
Presiden Direktur PT Pupuk Indonesia Arifin Tasrif mengatakan syarat untuk jadi distributor terpilih antara lain harus mempunyai sarana gudang dan transportasi, kantor pegawai, serta jaringan kios. Mereka harus pula mengantongi rekomendasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
”Bukan berdasarkan katebelece atau titipan, tapi performa. Harus punya pengalaman sebagai penyalur pupuk selama dua musim dan benar-benar menguasai wilayahnya,” Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Koeshartono menambahkan. ”Kami ada survei sendiri tentang performa distributor yang kami tunjuk. Kalau tidak percaya, bisa dilihat kekuatan jaringan distributor di lapangan.”
Koeshartono menjamin pengawasnya selalu berjaga. Jika mendapati distributor nakal, mereka akan bertindak dengan teguran, skorsing, hingga pemberhentian. ”Kalau ada pengalihan distribusi pupuk ke wilayah yang bukan seharusnya, misalnya ke perkebunan, bisa diberi hukuman hingga pemberhentian hak distribusi.”
Kemungkinan kenakalan, menurut Koeshartono, bukan pada tingkat distributor, tapi spekulan yang bekerja sama dengan menampung pembelian pupuk yang dipesan petani. ”Spekulan bisa saja membeli dua karung dari tiap petani, lalu dikumpulkan dan dijual kembali,” katanya. ”Mereka inilah yang mungkin terlihat seperti distributor karena punya pupuk dalam jumlah banyak, sehingga ada yang bilang jumlahnya sampai 12 ribu.”
Padahal, dia melanjutkan, jumlah distributor resmi yang terdaftar adalah 2.485 buah. Perinciannya, Petrokimia Gresik membawahkan 1.155 distributor, Pupuk Kujang punya 207, Pupuk Kaltim 456, Pupuk Iskandar Muda 188, dan Pupuk Sriwidjaja dengan 479 distributor.
Kendati masih ada kelangkaan dan penyimpangan di sana-sini, Koeshartono meyakini sistem distribusi yang berlaku saat ini lebih baik daripada model koperasi unit desa, seperti diceritakan Soedjais. ”KUD tidak dibina, permodalannya tidak memungkinkan. Lagi pula lewat KUD pun tidak tertutup kemungkinan ada penyelewengan,” ujarnya.
Lepas dari tuding-menuding itu, pada akhirnya petanilah yang menanggung rugi. ”Kami tidak peduli di mana penyimpangan itu terjadi,” kata Supardi Sulaiman, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan di Pringsewu, Lampung. ”Yang pasti, saat petani butuh, pupuk sering tak ada di pasar. Kalaupun ada, jumlahnya tak cukup, sehingga kami terpaksa membeli dengan harga lebih tinggi dari HET,” katanya.
Y. Tomi Aryanto, Akbar Tri Kurniawan, Eka Utami Aprilia
Perkembangan Subsidi Pupuk
Tahun Anggaran | Nilai subsidi (Rp miliar) | Volume (ribu ton) |
2006 | 3.165,7 | 5.674,0 |
2007 | 6.260,5 | 6.353,0 |
2008 | 15.181,5 | 6.891,0 |
2009 | 18.329,0 | 7.612,5 |
2010 | 18,410,9 | 7.355,0 |
2011 | 18.803,0 | 9.753,9 |
APBN 2012 | 16.944,0 | 10.528,9 |
APBN-P 2012 | 13.958,6 | 8.500,0 |
Keterangan:
September ini, Menteri Pertanian Suswono melaporkan ke Dewan Perwakilan Rakyat bahwa jatah subsidi tahun ini sudah habis dan mengajukan penambahan Rp 3 triliun untuk alokasi musim tanam Oktober, November, sampai Desember.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo