Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBERKAS dokumen hinggap di meja direksi PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) saat rapat umum pemegang saham, 10 Juni lalu. Pengirimnya komisaris RNI, di an-taranya Andung Nitimihardja, ko-mi-saris utama nonaktif yang kini Menteri Perindustrian.
Isinya, tanggapan atas hasil audit ki-nerja dan keuangan 2004. Menurut ko-misaris, ada indikasi penyimpangan da-lam proyek impor raw sugar, atau gula kristal mentah, pada 2003. Mestinya, proyek itu bisa untung Rp 10,9 miliar.
Sebaliknya, kegiatan ini membuat per-usahaan pelat merah itu tekor Rp 24,6 miliar. Antara lain karena ada-nya per-ubahan perjanjian dengan investor yang ditunjuk tanpa melalui tender, se-hingga menimbulkan beban Rp 15,8 mi-liar.
”Tim impor gula lalai dan tidak hati-hati dalam membuat perjanjian kon-trak,” demikian tertulis dalam do-ku--men itu. Tim tidak memasukkan per-syaratan icumsa (warna gula). Pe-nen--tuan rendemen (kadar gula dalam te-bu) juga tidak mengacu pada tingkat historik.
Ada pula temuan lain dugaan penye-lewengan penjualan tanah dan bangun-an milik Pabrik Gula Rajawali II—anak perusahaan RNI—di Majalengka, Jawa Barat, seluas 151 ribu meter per-segi. Persetujuan transaksi justru datang dari Rama Prihandana, mantan Komisaris Utama Rajawali II, bukan dari Togar G. Marpaung, yang sebetulnya menjabat komisaris utama.
Menurut komisaris RNI, surat perse-tujuan itu sebenarnya tidak sah, dan me-langgar anggaran dasar pendirian per-usahaan. Harga jualnya pun hanya Rp 10,8 miliar. Jauh di bawah surat pem-beritahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB), yang menyebutkan nilai aset itu Rp 14,7 mi-li-ar.
Rekomendasi wakil pemerintah di per-usahaan perdagangan berbasis agro-industri, farmasi, dan alat kesehatan itu meminta Menteri Negara BUMN se-laku pemegang saham melakukan audit investigasi. ”Perlu mendapatkan penyelidikan lebih dalam untuk menilai kewajaran transaksi kegiatan impor gula dan harga jual tanah itu,” ujar komisaris RNI.
Sekretaris Korporasi RNI, Supangat, membantah adanya penyelewengan da-lam perubahan perjanjian kontrak. Pergantian ini justru untuk menekan angka ketekoran menjadi hanya Rp 15,8 mili-ar. Sebab, perjanjian awal ren-demen di-sepakati 92 persen. Kenyataannya, tinggal 82 persen. ”Kalau tidak diubah, kita bisa rugi Rp 17,5 miliar,” katanya.
Supangat membenarkan, kerugian juga timbul akibat tidak dimasukkannya icumsa dalam persyaratan jual-beli. Namun, klausul ini sengaja tidak di--cantumkan untuk menekan harga beli raw sugar dari US$ 223 menjadi US$ 197 per ton. Ternyata, malah menjadi bumerang. Ketika gula datang, war-nanya di atas standar sehingga rendemen turun. Nilai jualnya pun turun.
Soal persetujuan penjualan tanah, kata Supangat, auditor kurang cermat sehingga komisaris ikut-ikutan salah menilai. Rama Prihandana—juga menjabat Direktur Utama RNI—memang Komisaris Utama Rajawali II. Dia ditunjuk menggantikan Togar G. Marpa-ung pada 15 April 2004.
Supangat menambahkan, harga jual lebih rendah karena memang tanah dan bangunannya tidak seluas yang di-sebutkan dalam SPPT PBB. Luas aset di surat itu masih tercatat 17,7 hektare, padahal tinggal 15,8 hektare. Tapi, harga jualnya Rp 67 ribu per meter persegi, atau di atas nilai jual obyek pajak Rp 64 ribu per meter persegi.
Kasus-kasus berbau korupsi di tubuh RNI, menurut Menteri Negara BUMN Sugiharto, sudah dilimpahkan ke Ko-mi-si Pemberantasan Korupsi (KPK). "Apa-lagi KPK sudah mendapatkan te-mu-an," kata dia. Namun, asas praduga tidak bersalah tetap dikedepankan dalam pemeriksaan sejumlah transaksi di bekas perusahaan milik pengusaha keturunan Cina asal Semarang ini.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK, Junino Jahja, mengatakan pihaknya baru menangani dugaan penyelewengan di perusahaan beraset Rp 2,8 trili-un ini terkait kasus penjualan tanah di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. ”Masih dalam proses telaah,” ujarnya. Jadi, belum ada satu pihak pun yang dimintai keterangan.
Stepanus S. Kurniawan, Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo