Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melepas Saham Lelah Menanti

Pemilik asing AAF hengkang. Kerja sama operasi tak banyak membantu.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAH bak menunggu Godot, Malaysia, Thailand, dan Singapura akhirnya memastikan hengkang dari PT Asean Aceh Fertilizer (AAF). Tiga negara pemegang 27 persen saham pabrik pupuk itu tampaknya kehilangan kesabaran menghadapi pabrik yang sudah jadi onggokan besi sejak dua tahun lalu itu karena tak juga beroleh bahan baku gas.

Keputusan itu terungkap dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB), Jumat dua pekan lalu. “Mereka mau menjual sahamnya,” kata Direktur Utama AAF, Rauf Purnama.

PT Pupuk Sriwijaya, sebagai 60 per-sen pemegang saham AAF mewakili pemerintah Indonesia, dipastikan tak tertarik membeli kepemilikan tiga ne-gara itu. Selain karena pabrik sudah tak beroperasi, Sriwijaya juga tak punya cukup dana.

Menteri Negara BUMN, Sugiharto, sebelumnya juga sudah mendengar keinginan negara tetangga itu. Ia meng-akui, “Bagi mereka, memang tak ada value added memegang saham AAF.” Namun, pemerintah juga harus berpikir dua kali bila ditawari membeli saham itu. Soalnya, pabrik pupuk yang dibangun pada 1979 dengan semangat ASEAN itu masih punya utang.

Menurut Rauf, AAF berutang kepada Pertamina sekitar US$ 3,7 juta dan kepada pemerintah US$ 15 juta. Keuangan perusahaan ini pun hanya cukup untuk membiayai pemeliharaan pabrik dan gaji karyawan hingga bulan depan. “Itu pun dihitung dengan gaji kar-yawan dibayar 70 persen,” kata Rauf.

Dalam RUPSLB itu, para pemegang saham sepakat meminta kepasti-an pemerintah Indonesia soal nasib pabrik berkapasitas 570 ribu metrik ton ini. “Dilikuidasi atau tidak,” kata Rauf, meskipun pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya menganulir keputusan pemerintah Megawati yang sudah memastikan penutupan AAF.

Upaya penyelamatan, antara lain, di-lakukan melalui kerja sama operasi dengan sesama pabrik pupuk di Tanah Rencong, Pupuk Iskandar Muda (PIM). Namun, apa daya, kesulitan mencari gas, yang juga menerpa PIM, membuat opsi ini tak banyak membantu. Satu kargo gas yang dipasok dari ladang gas Arun hanya bisa dinikmati PIM. “Secara ekonomis, gas ini tak bisa dibagi ke AAF,” kata tenaga ahli Menteri Negara BUMN, Sunarsip.

Sugiharto juga belum bisa memastikan gas bagi AAF. “Masalah ini harus dibahas dengan pemegang saham lain,” katanya. Padahal, pemegang saham lain sudah tak tahan berlama-lama di AAF. Menurut Ketua Serikat Pekerja AAF, Marwan Yahya, Filipina, yang mengantongi 13 persen saham AAF, sebetulnya juga ingin menjual sahamnya. Namun wakil pemegang saham negara ini belum mendapat keputusan dari pemerintahnya.

Tak tahan terombang-ambing, kata Marwan, para pekerja AAF akan me-nempuh jalur hukum bila hingga Agustus pemerintah tak juga mengambil keputusan. “Kami tidak mempersoal-kan pabrik ditutup,” ujarnya. Asal pesangon 1.400 karyawan AAF, sekitar Rp 340 miliar, dipenuhi. Apalagi, audit terhadap aset pabrik ini sudah rampung. Pabrik AAF ditaksir Rp 320 mili-ar bila dilikuidasi atau Rp 420 miliar bila tetap dipertahankan.

Menurut Rauf, bila pemerintah tak mau menutup AAF, harus ada dana sekitar US$ 400 ribu-500 ribu per bulan untuk pemeliharaan pabrik dan membayar gaji karyawan. Anggota Komisi Industri DPR, Ahmad Farhan Hamid, juga tak habis pikir, betapa Aceh yang kaya gas tak bisa menyelamatkan industri pupuknya sendiri.

Suplai gas Arun saat ini tak ba-nyak membantu karena disedot lewat komitmen ekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Padahal kebutuhan gas AAF hanya 4 persen dari ekspor gas Arun yang dikelola ExxonMobil Oil Indonesia. Tak jauh dari Arun, lapangan gas Blok A, yang ditemukan pada 1961, hingga kini tak juga bisa dimanfaatkan karena perdebatan bagi hasil dengan kontraktor asing.

“Ini kesalahan strategi energi kita,” kata Farhan. Sebagian besar ladang gas nasional dikuasai asing. Tak aneh bila Direktur Utama PIM, Hidayat Nyak Man, terpaksa harus bertandang ke Qatar mencari gas. Sebab, gas dari Arun untuk pabriknya hanya cukup sampai tanggal 20-an Agustus nanti.

Taufik Kamil, Tito Sianipar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus