Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menuju Terigu Aneka Rupa

Pabrik terigu baru merupakan pintu masuk yang diincar US Wheat. Dua pabrik dituduh sekadar mengemas.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA terigu tampaknya ba-kal memasuki babak baru. Em-pat per-usa-haan telah mengan-tongi izin Badan Koordinasi Pe-na-nam-an Modal (BKPM) seba-gai produ-sen terigu. Kehadiran pemain ba-ru ini diperkirakan akan mempertajam persaingan.

Keempat pemain baru itu adalah PT Purnomo Sejati, PT Asia Raya, PT Fugui Flour and Grain, serta PT Kwala Intan New Grain. Total kapasitas pro-duksi keempatnya 670 ribu ton per tahun—setara dengan 15 persen kapasitas produksi para pemain lama di industri ini.

Penambahan kapasitas sebesar itu seharusnya tak terlalu mengganggu pe-main lama. Namun, pagi-pagi Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) sudah melontarkan rasa khawatirnya.

Aptindo saat ini beranggotakan empat pabrikan terigu, yakni Bogasari Flour Mills, Berdikari Sari Utama, Sri-boga Raturaya, dan Panganmas Inti Per-sada (yang dulu bernama Citrasari Flour Mills). Dalih pertama mereka adalah soal kapasitas produksi yang berlebih.

Kendati saat ini produksi Aptindo baru 4 juta ton, para anggota Aptindo meng-klaim kapasitas terpasang mere-ka telah mencapai 7 juta ton per t-ahun. Anggota Aptindo tak sepenuhnya tan-cap gas karena konsumsi terigu di da-lam negeri paling pol 4,5 juta ton.

Kapasitas terpasang diperkirakan baru akan terpakai seluruhnya satu de-kade mendatang. ”Apakah industri terigu harus dibiarkan tumbuh secara tidak sehat?” kata Ratna Sari Loppies, Direktur Eksekutif Aptindo.

Selain dipasok oleh empat produsen lokal, pasar dalam negeri juga diguyur terigu impor. Aptindo memperkirakan, 15 persen kebutuhan terigu nasional di-pasok dari negeri seberang. ”Bersaing dengan terigu impor sulit, karena ba-nyak produsen luar negeri yang mendumping harga terigu mereka,” ujar Ratna.

Tuduhan dumping ini pernah diaju--kan oleh Aptindo ke Komisi An-ti-Dumping Indonesia. Aptindo me-ne-nga--rai dumping itulah penyebab me-lonjaknya angka impor terigu. Se-pan-jang kuartal pertama tahun ini, Aptindo menyebut impor terigu telah mencapai 176 ribu ton.

Kenaikan ini luar biasa bila diban-dingkan dengan tahun lalu, yang hanya 98 ribu ton. Terigu itu datang dari berbagai penjuru dunia: Cina, Sri Lanka, Emirat Arab, Turki, hingga Argentina.

Aptindo semakin tak nyaman karena tiga dari empat wajah baru itu berkumpul di Jawa, tempat tiga anggota Aptindo—Bogasari, Panganmas, dan Sri-boga—beroperasi. Purnomo dan Asia akan berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur. Fugui, yang disebut milik perusahaan asal Hong Kong, membangun pabriknya juga di Jawa Timur, tepatnya di Gresik. Hanya Kwala Intan yang be-rada di luar Jawa, yaitu di Asahan, Su-matera Utara.

”Saya tak peduli akan kehadiran me-reka,” kata Fransiscus Welirang, Ketua Aptindo. ”Aptindo juga tidak per-nah mengkhawatirkan pendirian pabrik baru.” Pernyataan itu muncul setelah sikap defensif Aptindo disorot beberapa pihak.

Akhir bulan lalu, Aptindo sempat mem--pertanyakan pemberian izin untuk empat pabrik terigu baru ke BKPM. Gugatan itu terdengar berlebihan karena pabrik terigu tidak termasuk dalam daftar negatif investasi. ”Jadi, untuk apa saya halangi?” ujar Ketua BKPM, M. Lutfi.

Bagi Aptindo sendiri, gugatan itu bak senjata makan tuan. Aptindo malah dituduh bergaya kartel dengan mencoba menghambat masuknya pelaku lain.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyatakan pendirian pabrik terigu baru masih wajar. ”Ini seperti usaha bersama membatasi produksi, mengendalikan harga,” kata Didik J. Rachbini, anggota Komisi VI DPR, seperti dikutip sebuah koran nasional.

Yang paling tertohok dengan tuding-an tak sedap itu tentulah Bogasari, mi-lik Grup Salim. Selain menguasai pang-sa terigu terbesar di dalam nege-ri—sekitar 70 persen—Bogasari juga ter--gabung dengan produsen di sektor hilir. Bogasari merupakan anak per-usahaan Indofood Sukses Makmur.

Layaknya sang anak, Indofood juga kampiun di industrinya, yaitu mi instan dan berbagai makanan olahan lain, termasuk biskuit. Untuk mi instan, Indofood menggenggam tak kurang dari 80 persen pangsa pasar dalam negeri.

Tudingan balik tentang upaya kartel membuat Aptindo tak lagi menyoal pemberian izin. ”Aptindo hanya ber-usaha membela perusahaan kecil,” kata Ratnasari. ”Bogasari sendiri tak pernah menyatakan keberatan.” Perusahaan kecil yang dimaksud Ratna adalah Pang-an-mas, Sriboga, dan Berdikari.

Dua perusahaan yang disebut perta-ma memang memiliki pangsa terkecil di pasar terigu lokal. Tahun lalu, ma-sing-masing mendapat sekitar 4 per-sen. Berdikari, yang berlokasi di Ma-kassar, memiliki posisi yang lebih bagus dibanding kedua perusahaan itu. Tahun lalu Berdikari menguasai 12 persen pasar terigu lokal.

”Perusahaan-perusahaan itu masih memiliki beban utang,” ujar Ratna. Yang ditakutkan Ratna adalah ketiga pe-main lama ini akan terengah-engah ji-ka para pabrikan terigu mulai meng-gu--nakan jurus harga murah untuk bersaing.

Isu persaingan yang tak seimbang ini muncul karena Aptindo menenga-rai sejumlah pemain baru hanya menjadi tukang kemas. Dua pabrikan ba-ru yang diragukan kesungguhannya ada-lah Purnomo dan Asia Raya. ”Nilai in-ves--tasi yang mereka cantumkan itu apa tak habis untuk tanah dan bangunan?” tanya Ratna.

Dalam data BKPM, Asia Raya di-se-but menanamkan modal Rp 10 miliar, dan Purnomo menyiapkan uang Rp 24 miliar. Asia Raya dan Purnomo dimili-ki orang-orang yang sama.

Sang pemilik, yang kebetulan bernama sama dengan perusahaannya, Purnomo, selama ini dikenal sebagai importir terigu. ”Kalau mesin yang dibeli memang berkapasitas kecil, masak harganya harus dibandingkan dengan mesin Bogasari?” ujar seorang teman bisnis Purnomo, yang menolak nama-nya dikutip.

Sumber Tempo itu yakin, Purnomo me-mang serius membangun pabrik teri-gu. Di atas kertas, membuka pabrik terigu memang tak semudah mengemas ulang. Pabrikan terigu harus memutar otak menghitung kurs dolar dan harga gandum yang fluktuatif. Pabrikan juga harus punya kocek yang tebal untuk mem-biayai impor gandum.

Tetapi pabrikan terigu juga memiliki nilai lebih dibanding importir. Jangan lupa, selama ini pemerintah mengenakan bea masuk 5 persen untuk terigu. Im-por gandum, yang merupakan bahan utama terigu, tak dibebani bea masuk.

Iming-iming untuk banting setir men-jadi pabrikan bertambah karena teknologi menggiling gandum menjadi terigu tidak canggih-canggih amat. ”Tak sulit mencari mesinnya,” ujar sum-ber Tempo.

Pasokan gandum juga tak menjadi soal rumit. Ada belasan negara yang kebelet melempar gandum produksi-nya ke Indonesia. Para produsen terigu saat ini, termasuk Bogasari sang kampiun, mengambil sebagian besar bahan bakunya dari Australia.

US Wheat, lengan pemerintah Ame-rika dalam penjualan gandum, sempat mampir ke Jakarta, dua pekan lalu. Mark Samson, perwakilan lembaga itu, menyatakan negaranya berambisi kembali menjadi pemasok gandum ter-besar ke Indonesia. Pabrik-pabrik terigu baru merupakan pintu masuk yang diincar US Wheat.

Masalah pembeli? Gampang. Sejak la--rangan impor terigu dihapuskan oleh ke-sepakatan antara Dana Moneter In-ter--nasional dan pemerintah Indonesia, le-bih dari 20 pabrik mi instan ber-diri. Me-reka tentu pasar yang potensial, di samping produsen biskuit ataupun pem-buat pe-nga-nan basah seper-ti kue dan mi.

Itu sebabnya para produsen mi instan, di luar Indofood tentunya, bersorak girang dengan keluarnya izin pen-dirian pabrik terigu baru. Para pro-dusen mi instan, yang bersama sejum-lah produsen biskuit bernaung di ba-wah payung Asosiasi Produsen Pangan Indonesia (Aspipin) itu, malahan bi-sa dibilang ikut memotori pendirian pa-brik-pabrik baru. Asia Raya dan Pur-nomo Sejati dimiliki oleh anggota As-pipin.

Isu pendirian pabrik baru ini menjadi ajang pro-kontra yang kesekian antara Aspipin, yang baru berdiri sekitar lima tahun lalu, dan Aptindo, yang telah lama bercokol sebagai pemain terigu.

Aspipin dan Aptindo pernah berse-be-rangan posisi dalam menyikapi terigu impor. Sementara Aptindo berteriak-teriak tentang banjir terigu impor, dan mengadukan soal dumping ke Komite Anti-Dumping (KADI), Aspipin justru mengeluhkan rumitnya proses impor terigu.

Aspipin mendukung pendirian pabrik terigu baru karena mereka yakin akan menguntungkan konsumen. ”Kehadir-an pemain baru ini akan mengubah industri terigu dalam negeri yang selama ini seller’s market,” ujar Budiyanto, Ketua Aspipin. Dengan logika pasar, penambahan pasokan mau tak mau akan menekan harga.

Produsen terigu juga akan lebih kreatif menghadapi pasar yang kompetitif. Jenis terigu yang diproduksi juga akan lebih beragam. Selama ini, Indonesia hanya mengenal dua jenis terigu: untuk mi dan biskuit. ”Mereknya memang banyak, tetapi spesifikasinya ya itu-itu saja,” ujar Budiyanto terbahak. Padahal, di luar negeri, seperti di Jepang, spesifikasi terigu sangat be-ra-gam, hingga puluhan jenis.

Thomas Hadiwinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus