Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergerus Laba Gerai Kelontong Modern

Sejumlah gerai 7-Eleven tutup dan direlokasi. Penjualan ambruk karena larangan minuman beralkohol.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERAI 7-Eleven di Jalan Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu kini kosong. Dinding kacanya ditutupi plastik hitam. "Sudah tutup sejak Maret lalu," kata Roy, juru parkir di bangunan berkelir kuning gading itu, Rabu dua pekan lalu.

Lima tahun Roy menjaga lahan parkir, kesibukannya turun drastis satu bulan belakangan ini. Sejak 7-Eleven tutup, jumlah pengunjung yang datang memarkir kendaraan di sana langsung berkurang. Itu sebabnya, Roy bersama rekan-rekannya lebih banyak duduk-duduk di selasar gedung.

Toko di kawasan Universitas Bina Nusantara ini memulai kontrak pada 2011. Setelah lima tahun, pada 20 Maret lalu, sewanya habis. Karena tak ada kecocokan harga, kontrak tak diperbarui. Selain itu, kata Roy, "7-Eleven ingin menyewa satu lantai di bawah. Tapi pemilik mewajibkan sewa dua lantai."

Tidak cuma di Rawa Belong, penutupan gerai 7-Eleven juga terjadi di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Tempo, yang menyambangi salah satu lokasi yang menjadi pusat berkumpul anak muda itu, menemukan gedung sudah kosong. Pada Selasa dua pekan lalu, rantai dan gembok melilit gagang pintu kaca bangunan seluas hampir 120 meter persegi itu. Melongok ke dalam, kondisinya sangat berantakan. Puing bangunan berserakan.

Menurut Harun, juru parkir di lokasi tersebut, penutupan lapak 7-Eleven di sana sudah berlangsung sejak tahun lalu. Gara-garanya, jumlah pengunjung menyusut drastis. "Hanya ramai pada akhir pekan, seperti malam Minggu," kata Harun, yang sudah tujuh tahun menguasai parkir di wilayah tersebut. Untuk merangkul lebih banyak konsumen, gerai tersebut direlokasi ke dekat Stasiun Tebet sejak tahun lalu.

Selama ini, salah satu alasan konsumen datang ke 7-Eleven adalah minuman beralkohol. Muhammad Azmi, karyawan swasta di Jakarta Selatan, mengatakan gemar berkumpul dengan teman-temannya sepulang kerja di 7-Eleven untuk minum bir. "Tapi sudah lama kami tidak nongkrong karena sudah tidak ada minuman lagi," kata pria 30 tahun ini.

Begitu juga Mahendra Adi. Karyawan swasta di sebuah perusahaan media di Jakarta Utara ini mengaku sudah jarang menyambangi convenience store asal Amerika Serikat itu. Sebab, minimarket yang merangkap tempat nongkrong tersebut tak lagi menjual minuman beralkohol. "Biasanya kalau ke sana karena saya membeli bir sekaligus camilan," kata pria 26 tahun ini saat ditemui pada Kamis dua pekan lalu. "Tapi sekarang, kalau butuh camilan, mampir saja di warung terdekat."

Sudah satu tahun pemerintah melarang penjualan minuman beralkohol di bawah 5 persen, termasuk bir, di minimarket. Selama ini penjualan minuman beralkohol turut menopang pendapatan convenience store semacam 7-Eleven, Circle K, dan Lawson. Pelarangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol.

Berdasarkan catatan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo), kontribusi penjualan minuman beralkohol terhadap pendapatan retail sebesar 15-20 persen. Tapi di beberapa daerah, kata Ketua Umum Aprindo, Roy Nicolas Mandey, permintaannya cukup tinggi dan menyumbang omzet lebih besar. "Penjualan minuman beralkohol seperti bir membawa multiplier effect bagi penjualan produk lain, seperti kacang, makanan ringan, dan roti," ujar Roy, Kamis pekan lalu.

Roy mengakui pelarangan minuman beralkohol menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya kinerja peretail beberapa waktu ini. Akibat pemberlakuan larangan penjualan minuman beralkohol tersebut, pada paruh pertama 2015, kinerja penjualan industri retail sempat anjlok di kisaran 15-16 persen. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, angka penjualan di sektor retail hanya tumbuh tak lebih dari 3 persen. "Sudah tertekan pelemahan ekonomi sepanjang 2015, pemerintah bikin kebijakan pelarangan penjualan minuman beralkohol, yang sampai hari ini belum bisa kami pahami," katanya.

Menurut dia, beleid pemerintah ini justru membuka peluang munculnya pelanggaran. Roy beberapa kali mendapat laporan dari pelaku usaha minimarket di daerah. Meski minimarket sudah tak menjual minuman beralkohol, konsumen sering mendatangi lapak hanya untuk meminjam teras sebagai tempat kongko sambil menenggak minuman oplosan. "Kalau yang beredar produk black market begitu, bukankah lebih baik kami saja yang jualan? Pajaknya bisa kami kontribusikan ke negara, industri juga terselamatkan," katanya.

Pengelola gerai 7-Eleven, PT Modern Internasional Tbk, tak membantah atau membenarkan penutupan sejumlah toko karena lesunya penjualan yang disebabkan oleh pelarangan perdagangan minuman beralkohol. Menurut Head of Corporate Communication PT Modern Internasional Tbk Neneng Sri Mulyati, sejak awal fokus bisnis 7-Eleven adalah makanan dan minuman segar. "Seperti nasi jago dan sejumlah produk andalan, misalnya Bigbite, bakery, fresh coffee, dan Slurpee," katanya melalui pesan pendek, Kamis pekan lalu.

Mengenai relokasi sejumlah gerai 7-Eleven, Neneng mengatakan itu hal biasa. Sebab, gaya hidup dan kebutuhan konsumen di setiap lokasi selalu berubah. Lagi pula, menurut Neneng, pemindahan gerai ke area perkantoran, apartemen, dan pusat belanja yang lebih kecil sejalan dengan rencana perusahaan menekan belanja modal dan biaya operasi menjadi lebih hemat. "Ini strategi kami untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas gerai 7-Eleven," katanya.

Berbeda dengan 7-Eleven, jawaban lebih lugas datang dari Lawson. Jaringan waralaba toko kelontong asal Jepang ini mengeluh, sejak pemberlakuan larangan penjualan minuman beralkohol pada April tahun lalu, gerai mereka di Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, mengalami penurunan pendapatan. "Secara income terimbas karena jumlah pengunjung turun," kata Kepala Toko Lawson Pejompongan, Aris Pramular, saat ditemui pada Selasa dua pekan lalu. Tapi ia menolak menyebutkan besaran penurunan.

Meski mengalami penurunan kinerja, convenience store yang menggandeng perjanjian lisensi dengan PT Midi Utama Indonesia Tbk dari Alfa Group pada 2011 ini tak sampai menutup gerai. Sebab, lokasi toko ini cukup strategis, yakni di antara jalur pergi dan pulang kantor, sehingga masih bisa menggaet konsumen.

Manajemen, kata Aris, juga bersiasat untuk terus menjaga minat pelanggan. Dalam salah satu poster yang terpasang di rak makanan, minimarket ini selalu menawarkan potongan Rp 2.000 untuk beberapa jenis makanan cepat saji setiap tanggal 19 dan 24. "Kami lakukan sejak 2015 dan hasilnya pengunjung suka," ujarnya. Promosi lain yang digemari adalah paket hemat harga Rp 20 ribu untuk sejumlah makanan.

Di kota lain, gerai kelontong modern Circle-K juga bersiasat agar bisa bertahan. Real Estate Coordinator Circle K Yogyakarta Prasetyo mengatakan belum ada satu pun gerai yang ditutup. Sebab, Circle-K menawarkan produk-produk lain yang lebih segar dan lengkap dengan harga bersaing.

Ayu Prima Sandi, Friski Riana (Jakarta), Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus