Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tertahannya Minyak untuk Timor Leste

Pertamina mengekspor bahan bakar minyak jenis subsidi dengan harga pasar setiap tahun ke Timor Leste. Bea dan Cukai mendadak menahannya.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir tiga pekan, lima truk milik PT Pertamina yang bergerak menuju Republik Demokratik Timor Leste tertahan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Kupang. Petugas pabean menemukan bahan bakar minyak bersubsidi jenis Premium diberi nama Pertamax Reguler. Petugas menahan karena menilai ekspor Premium dilarang dalam Peraturan Presiden Nomor 15, yang terbit pada 7 Februari lalu. "Nama tidak sesuai dengan barangnya," kata Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Hendri Darnadi pekan lalu.

Penahanan juga dikenakan pada enam kapal Pertamina yang mengangkut BBM jenis Premium, solar, dan minyak tanah pada Januari-April lalu. Kapal tersebut mengangkut Premium 7.378 kiloliter, solar 433 kiloliter, dan minyak tanah 4.409 kiloliter. Alasan penahanan persis sama: pelanggaran peraturan presiden.

Sumber Tempo mengatakan pengiriman BBM ke Timor Leste rawan dipolitisasi. Dalam peraturan presiden yang baru tidak diatur ketentuan mengenai ekspor BBM berjenis sama dengan BBM bersubsidi. Sedangkan pada ketentuan lama, yaitu Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005, ekspor BBM bersubsidi diatur oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Energi. "Apalagi di beberapa daerah terjadi antrean BBM bersubsidi," katanya.

Belakangan Hendri mengirim surat ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono, menanyakan izin ekspor BBM jenis subsidi ini. Agung membalas surat dan memerintahkan Hendri mengizinkan truk Pertamina melintasi perbatasan. Tiga hari kemudian lima truk Pertamina di Atapupu dan enam kapal yang melintas di Atambua dilepas petugas Bea dan Cukai. Kepala Sub-Direktorat Penindakan Kantor Pusat Bea dan Cukai Untung Purwoko, yang mewakili Agung, menegaskan, BBM Pertamina telah dilepas dan diperbolehkan mengirim kembali. "Kami hanya menjalankan ketentuan dari Kementerian Perdagangan," katanya.

Surat Agung merujuk pada rekomendasi Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dedy Saleh. Rekomendasi itu menyebutkan BBM milik Pertamina untuk Timor Leste tidak dikenai larangan ekspor. Rekomendasi, Dedy menambahkan, berdasarkan pertemuan yang dihadiri perwakilan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas, serta Deputi IV Badan Intelijen Negara. "Semua menyetujui surat persetujuan ekspor," kata Dedy.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo mengatakan penilaian BBM untuk Timor Leste bukan BBM bersubsidi karena mempertimbangkan aspek kerja sama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste. "Ada perjanjian kita (pemerintah) akan membantu Timor Leste," katanya melalui pesan pendek.

Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun menegaskan, BBM yang dikirim ke Timor Leste bukan hanya Premium, solar, dan minyak tanah, tapi juga jenis nonsubsidi, seperti avtur dan Pertamax. Harga jual BBM ekspor berpedoman pada harga pasar internasional. "Premium kami jual dengan harga pasar yang tidak jauh dari harga Pertamax," katanya.

Alokasi BBM untuk Timor Leste, Harun menambahkan, juga dipisahkan dari alokasi BBM bersubsidi. Pada 2003-2004 laba yang diraih dari ekspor BBM ke Timor Leste mencapai Rp 50 miliar. "Sekarang pasti naik," katanya.

Pengiriman BBM ke Timor Leste berlangsung sejak negara yang merdeka pada 1999 itu masih bagian dari Indonesia. Pertamina, Harun menambahkan, merupakan satu-satunya badan usaha milik negara yang berhasil mempertahankan asetnya. "BUMN lain sudah dinasionalisasi," katanya. Saat ini Pertamina memiliki depo dengan kapasitas 6.000 kiloliter.

Harun mengakui bisnis di Timor Leste tumbuh pesat dan men­ja­di alasan untuk mempertahankan aset tersebut. "Kami tidak ingin menjualnya." Harun menilai jika tidak ada pengiriman justru berpotensi dinasionalisa­si. "Membangun depo di luar negeri tidak­ mudah, kita harus mengapresiasi kawan-kawan yang bertahan di sana," katanya. Harun kecewa terhadap sikap petugas Bea dan Cukai yang tiba-tiba menahan truk dan tangki Pertamina. "Selama ini tidak ada persoalan," katanya.

Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus